Perempuan di Pusaran Konflik Rentan Jadi Korban Kekerasan
Konflik yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia tidak jauh dari kehidupan perempuan. Bahkan, perempuan sering menjadi pihak yang dikorbankan. Perlu ada perhatian khusus pemerintah untuk melindungi para perempuan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA.
Perempuan dan anak-anak korban penggusuran paksa dari hutan adat Pubabu di Timor Tengah Selatan, Senin (24/8/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Perempuan sering berada dalam pusaran konflik dan menjadi bagian dari kelompok rentan ketika terjadi konflik sosial ataupun pasca- konflik. Oleh karena itu, kepentingan perempuan harus menjadi prioritas pada masa mitigasi konflik. Jangan sampai perempuan kembali terjebak dalam berbagai bentuk dan modus kejahatan, atau menjadi korban kekerasan setelah konflik berlalu.
”Jika dalam penanganan konflik dan pascakonflik tidak didasari dengan memperhatikan kelompok rentan, terutama perempuan, hal ini akan menimbulkan permasalahan-permasalahan lainnya,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati saat menjadi pembicara kunci secara daring pada Konferensi Internasional ”Building Grounded & Sustainable Peace: Women’s Experience in Post Conflict Situations and the Realm of Radicalism”, Kamis (26/11/2020).
Pada konferensi yang diselenggarakan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Bintang Darmawati Membawakan materi dengan judul ”Pengalaman Perempuan Indonesia dalam Membangun Perdamaian: Prestasi, Tantangan, dan Memajukan Agenda”.
Sebagai kelompok rentan, perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus dan spesifik yang harus dipenuhi dalam kondisi apa pun.
Menteri PPPA mengingatkan, sudah sepatutnya segala bentuk upaya dan program yang dijalankan pada saat konflik dan pascakonflik mengedepankan kebutuhan-kebutuhan spesifik perempuan dan didasari oleh kesetaraan jender. ”Sebagai kelompok rentan, perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus dan spesifik yang harus dipenuhi dalam kondisi apa pun,” ujar Bintang.
Ia mencontohkan konflik yang terjadi di Aceh yang meninggalkan berbagai permasalahan. Selain masuknya pengaruh narkoba yang mendorong anak-anak menjadi kurir narkoba, terjadi pula tindak pidana perdagangan orang, terutama anak-anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dan korban pornografi anak.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Marta (35), ibu rumah tangga Pubabu-Besipae dengan dua anak balitanya, sedang tidur di tenda darurat, Jumat (21/8/2020) malam, di Pubabu-Besipae setelah rumah mereka dibongkar paksa petugas satpol PP dan aparat keamanan setempat.
Jaminan rasa aman
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menegaskan, upaya pemulihan bagi perempuan korban konflik dan mendukung kepemimpinan perempuan dalam membangun perdamaian merupakan langkah strategis untuk mendukung pemenuhan hak konstitusional, terutama pada jaminan atas rasa aman, kehidupan yang bermartabat, dan bebas dari diskriminasi atas dasar apa pun.
Di Indonesia, dalam perjalanan 22 tahun reformasi, kita terus bergumul dengan persoalan konflik. Daerah operasi militer di masa Orde Baru terus menghadapi situasi yang belum aman.
”Lima belas tahun perdamaian Aceh, masih menyisakan banyak pertanyaan mengenai pemulihan korban, sementara tingkat kekerasan di Papua masih sangat memprihatinkan. Juga persoalan di perbatasan Timor Barat yang terkait dengan ekses pengungsian pada masa referendum 1999. Berbagai upaya pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu juga belum menemukan titik terang,” tutur Andy.
Tak hanya itu, masih ada daerah yang segera menghadapi situasi konflik antarkelompok masyarakat berbasis agama ataupun etnis di tengah masa transisi politik Indonesia. Potensi konflik tersebut terus laten hidup di dalam masyarakat, terutama akan mencuat kembali ketika ada peristiwa kontestasi politik di daerah, seperti pemilihan kepala daerah.
Bahkan, perempuan juga berada dalam pusaran konflik sumber daya alam dan agraria yang terus meningkat hingga kini. Sepanjang 2003 hingga 2020 saja, Komnas Perempuan menerima 57 laporan mengenai konflik antara masyarakat dan pemerintah/perusahaan berkaitan dengan sengketa lahan untuk kepentingan pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan infrastruktur.
Pada konferensi tersebut, Gubernur Lemhanas Letnan Jenderal TNI (Purn) Agus Widjojo dalam paparannya tentang ”Membangun Kembali Kehidupan, Mempertahankan Perdamaian: Kontribusi Berarti Perempuan dalam Membangun Ketahanan Nasional dan Solidaritas Global” menegaskan bahwa menciptakan sebuah kebijakan yang mendukung peran perempuan dalam proses pembangunan adalah suatu kepastian agar perempuan dapat menikmati hak asasinya.
Hal tersebut menjadi bagian dari komitmen internasional dan prasyarat untuk kerja sama yang lebih luas dalam pembangunan, demokrasi, perdamaian, dan keamanan. Sebab, pemberdayaan perempuan akan menjadi pilar utama dalam mendukung tujuan pembangunan.
”Kesetaraan perempuan bukanlah masalah moril dan bukanlah masalah kemanusiaan, melainkan lebih condong pada masalah keadilan. Oleh karena itu, memberikan hak yang sama terhadap perempuan dalam proses pembangunan merupakan keniscayaan jika pembangunan ingin bergerak maju, stabil, dan aman,” kata Agus.