Perlindungan Perempuan dan Noktah Pendidikan Sulawesi Tenggara
Siswi-siswa dan alumni kembali melakukan aksi menuntut Kepsek SMAN 9 Kendari dicopot dari jabatannya. Yang bersangkutan diduga kuat pernah terlibat kasus asusila. Pengangkatan itu jadi cermin buruk pendidikan di Sultra.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·6 menit baca
Sebagaimana pendidikan semestinya, institusi tidak hanya mengajarkan mata pelajaran semata, tetapi juga menghadirkan kenyamanan serta keamanan pada pelajar. Di Kendari, Sulawesi Tenggara, siswa, bersama alumni, menuntut kepala sekolah mereka diganti karena pernah terkait kasus asusila. Wajah pendidikan tecermin kusut di daerah ini.
Tergesa, Adelia Tungka (17), mengikuti mobil komando yang mengarah ke kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sulawesi Tenggara. Siswi kelas XII SMAN 9 Kendari masuk ke rombongan puluhan peserta aksi, ikut berdemonstrasi bersama rekan-rekannya di Kendari, Senin (23/11/2020).
Aksi kali ini merupakan lanjutan dari aksi-aksi sebelumnya. Terhitung, telah tiga kali ia dan rekan-rekannya kembali melakukan aksi dengan tuntutan sama, yaitu menuntut Kepala SMA Negeri 9 Kendari AS diganti sesegera mungkin.
Datang berboncengan dengan teman sekelasnya, Zaumy (16), Adelia yang juga Ketua OSIS SMA Negeri 9 Kendari bergabung dengan para peserta aksi. Mereka lalu bersama-sama melakukan orasi di jalan sebelum mendatangi kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Sultra.
”Ini sudah tiga kali kami aksi. Tuntutannya cuma satu agar kepala sekolah kami segera dicopot dari jabatannya. Kami selaku murid tidak setuju dengan pengangkatan kepala sekolah baru ini karena pernah ada kasus asusila 2017 lalu,” tutur Adelia.
Ia menjelaskan, guru, terlebih kepala sekolah, merupakan sosok yang menjadi orang tua para siswa saat di sekolah. Mereka adalah panutan yang memberi ilmu, juga menjadi orang yang melindungi siswa serupa anak kandung sendiri.
Akan tetapi, Adelia melanjutkan, hal itu dipertanyakan jika sosok pendidik yang diangkat menjadi kepala sekolah pernah terjerat kasus asusila. ”Kami tidak nyaman dan tentu tidak ingin menjadi korban lagi,” ujarnya.
Zaumy, rekan sekelasnya, menyampaikan, dirinya dan 900 pelajar lain di sekolahnya adalah generasi pelanjut yang harus mendapatkan kenyamanan dan keamanan saat belajar. Akan tetapi, saat ini pelajar tidak tenang karena ada oknum yang diduga kuat pernah terlibat kasus pelecehan seksual sebelumnya.
Oleh karena itu, ia dan rekan-rekannya sepakat untuk turun aksi dan meminta kepada Dinas Dikbud Sultra agar mendengar suara mereka. Ia mengaku menyisihkan waktu di sela belajar daring agar bisa menyuarakan tuntutan para siswa.
”Hari ini ada tugas, tapi nanti dikumpul hari Rabu. Pulang dari sini baru saya kerja, yang penting bisa suarakan aksi dulu,” ujarnya.
Koordinator aksi, Andriansyah Husein, yang juga alumnus SMA Negeri 9 Kendari, menjelaskan, aksi ini merupakan lanjutan dari aksi-aksi sebelumnya terkait pengangkatan AS sebagai Kepala SMA Negeri 9 Kendari, Oktober lalu. Saat dilakukan serah terima jabatan, pihaknya telah melakukan aksi menuntut agar pengangkatan tersebut dibatalkan karena yang bersangkutan pernah terlibat kasus asusila sebelumnya.
Seperti diketahui dari media massa dan dikonfirmasi ke beberapa sumber, Andriansyah menjelaskan, AS pernah menjabat Kepala Sekolah Keberbakatan Olahraga (SKO) Sultra. Pada medio 2017, kata Andriansyah, AS diketahui melakukan tindakan pelecehan seksual kepada murid.
”Dia masukkan murid ke ruangannya, lalu lampu dimatikan selama 20 menit. Alasannya waktu itu hanya lap keringat muridnya. Apa urusannya kepala sekolah lap keringat murid perempuannya. Dari laporan yang kami terima, korbannya tidak hanya satu, tetapi lebih dari 10 orang,” ujarnya.
Dari kejadian itu, tambah Andriansyah, AS lalu disidang oleh instansi terkait. Setelahnya, kasus itu diselesaikan secara proses adat Tolaki, yang disebut Peohala. Prosesi adat ini ditempuh dengan pelaku membayar denda kepada korbannya.
Dari proses tersebut, AS lalu dicopot dari jabatannya dan dipindahkan sebagai guru di SMA Negeri 7 Kendari. Hal tersebut sudah menjadi alasan kuat bahwa AS pernah terlibat kasus pelecehan seksual terhadap sejumlah murid perempuan.
”Kenapa sekarang diangkat lagi menjadi kepsek di SMAN 9 Kendari? Kami menunggu keputusan dari Kepala Dinas Pendidikan Sultra Asrun Lio, tapi sampai sekarang belum ada tindak lanjut,” kata Andriansyah.
Menurut Asrun, pihaknya memahami tuntutan pelajar dan berusaha mencari jalan terbaik. Pemanggilan terhadap AS, koordinasi dengan Dinas Permberdayaan Perempuan dan Anak, telah dilakukan.
Akan tetapi, ia beralasan tidak adanya bukti hukum dari kasus sebelumnya menjadi sulit untuk menurunkan seseorang dari jabatannya. Terlebih lagi, AS telah melaporkan peserta aksi ke polisi dengan tuntutan pencemaran nama baik dari demo yang dilakukan sebelumnya.
”Tidak mudah membatalkan SK Gubernur karena salah satu pertimbangannya itu harus memenuhi unsur hukum. Dari proses laporan yang dilayangkan AS ke polisi, kami berharap situasinya bisa terang benderang sehingga jika memang terbukti pernah melakukan tuduhan yang disangkakan, kami langsung mencopot saat itu juga,” terangnya.
Asrun melanjutkan, proses adat Peohala yang dulu telah dilakukan serta pencopotan dari jabatan Kepala SKO tidak cukup kuat untuk menjadi dasar pencopotan. Selama berkarier di SMA Negeri 7 Kendari, ia tidak pernah dilaporkan untuk kasus serupa.
”Korban juga tidak ada yang melapor di polisi. Jadi, kalau semuanya disamaratakan, karier orang akan mati kalau begitu.”
Direspons DPRD Sultra
Tidak puas dengan jawaban Asrun, massa melanjutkan aksi di DRPD Sultra. Mereka bertemu dengan Komisi IV DPRD Sultra yang membidangi pendidikan. Mereka menduga Dinas Dikbud Sultra sengaja tidak ingin mencopot oknum tersebut.
Setelah mendengarkan penjelasan perwakilan massa, Ketua Komisi IV DPRD Sultra La Ode Prebi Rifai berjanji akan melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan oknum terkait, Diknas Sultra, dan BKD Sultra. Hal ini untuk mengetahui jelas duduk perkara sekaligus bisa mengambil langkah tegas dari persoalan yang terjadi.
”Paling lambat Rabu mendatang RDP kami laksanakan. Kami berharap teman-teman bisa hadir dan mendengarkan penjelasan dari rapat tersebut,” ucap Prebi.
Yustina Fendrita, Direktur Yayasan Lambu Ina, yang konsen ke pendampingan korban kekerasan seksual di daerah kepulauan Sultra menyampaikan, institusi pendidikan sering kali memang tidak mendukung penegakan keadilan terhadap korban, juga perlindungan terhadap pelajar lainnya. Perlindungan tersebut berbagai jenis, mulai dari kurikulum, teknis pelaporan, fasilitas, hingga hukuman terhadap pelaku.
Hal ini terus berpotensi melanggengkan impunitas terhadap pelaku, dan membuat korban semakin tidak berdaya. korban juga sering kali diasingkan, dan tidak diberi ruang untuk pulih dan berkembang. Pengangkatan terduga pelaku untuk menjabat kembali menunjukkan cermin buruk pendidikan yang tidak mendukung pemulihan terhadap korban dan perlinduungan secara menyeluruh. Semua ini berkelindan dalam buruknya wajah pendidikan dalam isu perlindungan perempuan dan anak dari ancaman kekerasan seksual.
”Tahun ini saja kami menangani empat kasus pelecehan seksual di beberapa daerah. Semuanya dilakukan oleh oknum pengajar. Hukuman juga tidak tegas terhadap pelaku,” tambahnya. ”Oleh karena itu, di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), hal itu sudah kami masukkan. Utamanya hukuman tambahan terhadap orang yang memiliki kedudukan dan menjadi pelaku. Kami harapkan agar segera disahkan. Hari ini pleno di Badan Legislasi DPR RI.”
Adelia berharap tuntutan mereka bisa didengar dan menjadi pembelajaran bagi semua pihak ke depannya. ”Kami ingin belajar dengan tenang, nyaman, sekaligus terlindungi. Kami tidak ingin ada korban dari perilaku seperti itu,” tutupnya. Ia ingin segera pulang ke rumah menyelesaikan tugas yang tersisa.