Media massa berperan penting terhadap pencegahan kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak. Oleh karena itu, organisasi media perlu memahami etika pemberitaan, termasuk penyebutan istilah.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
Kompas/Hendra A Setyawan
Mural kampanye perlindungan anak tergambar di tembok rumah warga di kawasan Cinere, Depok, Jawa Barat, Senin (20/7/2020). Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, jumlah pelaku kekerasan pada anak dari kalangan orangtua dan anggota keluarga meningkat setiap tahun. Selama Januari-14 Juni 2020, di masa pandemi Covid-19, terdapat 735 orangtua dan anggota keluarga yang melakukan kekerasan terhadap anak.
JAKARTA, KOMPAS — Dalam satu dekade terakhir, pemberitaan pencegahan dan penghapusan eksploitasi ataupun kekerasan seksual kepada anak di media berjibaku dengan kebaruan istilah. Hal ini seiring dengan makin berkembangnya ragam praktik eksploitasi ataupun kekerasan.
Dalam buku Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual disebutkan sejumlah istilah baru. Sebagai contoh, grooming dan sexting. Kedua istilah ini berkembang seiring maraknya eksploitasi dan kekerasan seksual kepada anak di ruang virtual.
Program Manager ECPAT Indonesia Andy Ardian menjelaskan, grooming merupakan proses membangun relasi dengan seorang anak melalui internet atau teknologi digital lain untuk memfasilitasi kontak seksual secara daring atau luring dengan anak itu. Adapun sexting didefinisikan sebagai pembuatan gambar seksual sendiri atau penciptaan dan penerusan gambar telanjang ataupun nyaris telanjang melalui ponsel. Dua aktivitas itu bisa memicu pemerasan untuk mendapatkan imbalan.
Ada pula istilah live streaming kekerasan seksual pada anak. Itu merujuk pada tayangan materi kekerasan seksual pada anak di pemutar konten beraliran langsung (streaming).
Namun, ada sejumlah istilah diganti karena terjadi penafsiran berbeda di masyarakat. Istilah pornografi anak, misalnya, diganti dengan materi kekerasan ataupun eksploitasi seksual kepada anak.
Obyek kejahatan
”Dengan menyebut materi kekerasan ataupun eksploitasi seksual pada anak, harapannya masyarakat paham bahwa ada bukti kejahatan. Anak dijadikan obyek atau subyek kejahatan seksual yang divisualkan,” ujar Andy dalam ”E-Learning Series Media Ramah Anak”, Selasa (25/8/2020), di Jakarta.
Andy mencontohkan istilah prostitusi anak muncul di media massa. Belakangan, pemakaian istilah ini dinilai tak tepat, lalu diganti dengan eksploitasi anak untuk prostitusi. Itu bertujuan memberi pemahaman utuh kepada masyarakat bahwa anak dimanipulasi pikirannya oleh pelaku kejahatan seksual demi mempertahankan bisnis.
”Penyebutan jadi makin panjang. Namun, itu bertujuan agar masyarakat makin paham pentingnya konteks pencegahan eksploitasi ataupun kekerasan seksual kepada anak,” katanya.
Dengan menyebut materi kekerasan ataupun eksploitasi seksual pada anak, harapannya masyarakat paham bahwa ada bukti kejahatan.
Buku Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual diadopsi Kelompok Kerja Antarlembaga di Luksemburg pada 28 Januari 2016. Buku panduan ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia cetakan pertama pada Januari 2019. Panduan itu telah digunakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
KOMPAS/KRISTI DWI UTAMI
Anak-anak membawa poster tentang bahaya media sosial dalam kampanye melawan kekerasan terhadap anak, Kamis (23/7/2020), di Kota Tegal, Jawa Tengah. Kampanye tersebut dilakukan dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional.
Koordinator Riset ECPAT Indonesia Deden Ramadani memandang, di luar situasi itu, ditemukan pemberitaan belum berpihak pada perlindungan anak. Contohnya, informasi spesifik anak sebagai korban kekerasan ataupun eksploitasi seksual. Realitas ini menambah risiko tumbuh kembang anak.
”Kami juga menemukan media massa kerap keliru menetapkan kategori kasus. Misalnya, kasus eksploitasi anak untuk prostitusi disebut pencabulan anak,” ungkapnya. Hal itu diduga akibat rendahnya kesadaran jurnalis dan editor dalam menentukan judul serta isi berita ramah terhadap anak. Ada kemungkinan pula jurnalis belum memahami istilah terkait praktik kekerasan ataupun eksploitasi beserta maknanya.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan mengatakan, ada panduan meliput dan memberitakan kasus pengabaian hak anak. Namun, masih ada pemberitaan keliru, misalnya penulisan identitas anak sebagai korban kekerasan ataupun eksploitasi seksual. Hal itu menambah dampak buruk kepada hak anak. ”Belum lagi menyangkut etika saat peliputan kasus. Ada yang belum paham kode etik,” ujarnya.
Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indra Gunawan menyebut Konvensi Hak Anak mengakui peran penting media. Pihaknya menyerukan agar media melindungi hak anak. ”Pemberitaan yang menambah eksploitasi anak perlu dihindari,” katanya.