Pandemi Sadarkan bahwa Kebudayaan Bisa Topang Pangan dan Kesehatan
Kebudayaan menjadi sumber daya yang sangat berharga dan penting dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Pengoptimalan kebudayaan bisa menyentuh aspek pangan dan kesehatan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebudayaan dapat menjadi salah satu sumber daya yang sangat berharga dan penting dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Sebab, kebudayaan tidak hanya berorientasi pada kesenian, tetapi juga menyangkut aspek pangan dan kesehatan.
Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid dalam diskusi daring bertajuk ”Optimisme Pascapandemi: Kepemimpinan, Kebudayaan, dan Keberlanjutan”, Selasa (28/7/2020).
Hilmar mengungkapkan, aspek kebudayaan dalam pengembangan pangan dan kesehatan kurang mendapatkan perhatian di masyarakat. Mayoritas menilai bahwa kebudayaan tidak memiliki nilai ekonomis dan tidak berlandaskan ilmu pengetahuan.
Orang cenderung menganggap (kebudayaan) milik masa lalu sedangkan kita memiliki tuntutan masa depan.
”Orang cenderung menganggap (kebudayaan) milik masa lalu, sedangkan kita memiliki tuntutan masa depan. Kemudian datanglah Covid-19 dan menghentikan laju pembangunan. Dari sinilah waktu yang tepat untuk kita menengok khazanah dan tradisi lokal khususnya pangan,” ujarnya.
Menurut Hilmar, akibat adanya pandemi Covid-19, saat ini sudah mulai terlihat perubahan pola pikir pembangunan dari modernisasi beralih kembali ke tradisional. Salah satu contohnya, masyarakat mulai mencari kembali kebutuhan pangannya tidak dari supermarket, tetapi dari lingkungan atau alam sekitar.
”Sumber daya kebudayaan yang kita miliki masih harus dikombinasikan dengan sains dan teknologi. Jadi poinnya tidak mempertentangkan antara sains dan kearifan lokal, tetapi justru melihat kontribusinya satu sama lain,” tuturnya.
Selain itu, Hilmar juga sepakat bahwa pengelolaan hutan kembali ke nilai tradisional dan budaya seperti dikelola oleh masyarakat adat. Sebab, dibandingkan menggunakan pendekatan modernisasi, masyarakat adat akan jauh lebih bijak mengelola hutan karena mereka memiliki pengetahuan dan praktik pengelolaan yang sudah berlangsung selama ratusan tahun.
Saat ini, Indonesia juga telah memiliki aturan untuk menjadikan kebudayaan sebagai salah satu aspek pembangunan berkelanjutan, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Namun, pada praktiknya, Hilmar memandang realisasi UU tersebut masih belum optimal.
Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah 1999-2001 Erna Witoelar menjelaskan, pembangunan berkelanjutan memiliki tujuan yang universal atau saling berhubungan antara satu aspek dan aspek lainnya. Pembangunan ini memelihara keterpaduan pilar lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial.
Dalam konteks pangan ataupun kehutanan, ia pun mendorong agar pembangunan melibatkan masyarakat dengan pengelolaan yang tidak merusak alam. ”Program restorasi juga bisa memberikan potensi ekonomi bagi masyarakat. Jadi dalam pembangunan berkelanjutan jangan hanya salah satu pihak yang dilibatkan,” katanya.