Sapardi Djoko Damono Menggenapi Janjinya: ”Saya Ingin Menulis Terus-menerus sampai Mati”
Ketika menengok ke belakang, terlihat bagaimana sastrawan besar almarhum Sapardi Djoko Damono memiliki konsistensi dan energi luar biasa dalam berkarya. Janjinya untuk terus berkarya ia genapi hingga hari terakhirnya.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
”Saya ingin menulis terus-menerus sampai mati,” demikian kata sastrawan Sapardi Djoko Damono tiga tahun lalu, 22 Maret 2017, saat merayakan ulang tahunnya ke-77 di Bentara Budaya Jakarta. Kata-kata itu ia genapi hingga embusan napas terakhirnya, Minggu (19/7/2020) kemarin.
Meski umurnya telah genap delapan dasawarsa, Sapardi tak mau kalah dengan generasi muda yang kini dikaruniai kemudahan untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan melalui internet. ”Saya terus ingin mencipta dan mencipta lagi,” ucapnya.
Hingga usia lanjut, karya-karya sastranya berulang kali mendapatkan penghargaan. Orang-orang banyak yang bilang, kok, kamu lagi? Kamu lagi? Ia memang tidak mau kalah dengan anak-anak muda. Ia betul-betul belajar dengan internet seperti mereka.
Sejak 2009 hingga sekarang, Sapardi banyak menerbitkan sendiri buku-bukunya. Lebih dari 20 buku ia cetak, ia desain, dan ia terbitkan sendiri tanpa dibantu satu pegawai pun. Untuk menjualnya, ia menggandeng anak-anak muda yang memiliki toko-toko daring.
Dulu saya benar-benar harus mencari buku karena memang jarang sekali referensi. Sekarang, orang tinggal mencarinya di internet.
”Dulu saya benar-benar harus mencari buku karena memang jarang sekali referensi. Sekarang, orang tinggal mencarinya di internet. Anak-anak muda sekarang harus betul-betul memanfaatkan segala informasi, pengetahuan, tata cara, dan apa pun yang ada di internet karena ini diperlukan sastra,” paparnya.
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS (BAY)
Sapardi Djoko Damono (tengah), Darwis Triadi (kiri), dan Vera Anggraini memotong tumpeng pada peluncuran buku Perempuan yang Tak Bisa Dieja, di Museum Nasional, Jakarta,20 Februari 2020.
Komunikasi imajiner
Sapardi memiliki cara unik untuk menulis cerpen ataupun puisi. Setiap kali menulis, ia membayangkan ada sebuah dialog imajiner antara dirinya dan tokoh-tokoh dalam novelnya. Karena itulah, muncul ide gila lahirnya penyair fiktif bernama Raden Sarwono Hadi dengan buku kumpulan puisi berjudul Sajak-sajak untuk Pingkan.
”Mereka tak mau diarahkan. Setiap kali habis mengetik di komputer, saya mesti mencetaknya lalu mengoreksi, mencetaknya lalu dibaca kembali agar ada kompromi. Tokoh-tokoh ini tidak bisa dikendalikan,” katanya.
Sapardi seperti melepaskan tokoh-tokoh dalam novelnya untuk mencari sendiri cerita masing-masing. Ia tidak mengarahkan agar alur cerita berakhir di mana atau seperti apa, tetapi membiarkannya mengalir.
Buku kumpulan puisi Sajak-sajak untuk Pingkan menjadi satu bagian yang tak terpisahkan dengan novel ketiga trilogi Hujan Bulan Juni, Yang Fana Adalah Waktu. Di bagian belakang buku itu terselip Sajak-sajak untuk Pingkan yang ditulis Raden Sarwono Hadi, peneliti sebuah universitas negeri ternama di Indonesia. Konon kabarnya, sajak-sajak itu terinspirasi dari kisah cinta Sarwono yang tidak jelas ending-nya dengan seorang perempuan yang berbeda latar belakang budaya.
Sapardi menyebut kumpulan puisi karya Sarwono itu sebagai cerita carangan atau cerita yang dikembangkan dari pakem seperti yang banyak terjadi pada kisah pewayangan. ”Pingkan juga mau diterbitkan buku puisi karena dia punya catatan harian ketika pacaran dengan Sarwono. Demikianlah, novel-novel itu melahirkan karya-karya baru atau cerita carangan,” ujar Sapardi saat peluncuran novel ketiga trilogi Hujan Bulan Juni berjudul Yang Fana Adalah Waktu, 16 Maret 2018, empat hari sebelum ulang tahunnya ke-78.
Semakin produktif
Penyair Joko Pinurbo sangat kagum dengan kreativitas Sapardi yang tak mengenal usia. Di umur lanjut, Sapardi justru semakin produktif dan konsisten berkarya.
”Energi kreatifnya tetap terpelihara dengan baik. Dia punya disiplin yang tinggi terhadap dirinya sendiri. Kalau banyak pengarang merasa karyanya belum berhasil, sebetulnya masih panjang waktu untuk menguji ketekunannya,” kata Joko yang akrab disapa Jokpin.
Menurut dia, puisi-puisi Sapardi memiliki permainan logika dan bahasa yang ringan dan cair, tetapi reflektif dan kontemplatif. Sapardi bisa mengolah peristiwa sehari-hari menjadi sesuatu yang membuat orang tercenung dan merenung; membuat orang bisa berhenti dari keriuhan dunia untuk bisa mengendapkan diri.
Sapardi adalah sebuah potret pencilan dari generasi lama yang mau belajar di tengah perubahan zaman. Kemauannya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi zaman membuat intuisi sastranya berlipat ganda, bahkan sampai dengan hari-hari terakhirnya.
Tiga tahun lalu, Sapardi mengungkapkan, ia menyimpan harapan besar terhadap generasi muda sekarang. Dengan kelimpahan informasi yang ada, karya-karya sastra masa kini harus lebih baik daripada para pendahulunya.