Ketika ”The Power of Kepepet” Muncul di Tengah Pandemi
Di balik ancaman dan ketakutan akibat pandemi Covid-19, kepedulian untuk saling membantu bermunculan dari sejumlah sukarelawan. Di sinilah muncul ”the power of kepepet”.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
DOKUMEN PRIBADI/ANNE AVANTIE
Perancang busana Anne Avantie saat mengecek jaket pelindung diri yang sudah selesai dijahit.
Selalu ada cara untuk bangkit. Menyerah dengan keadaan hanya akan memperburuk keadaan dan membuat seseorang semakin terpuruk. Keyakinan itulah yang membuat perancang busana Anne Avantie (54) banting setir saat bisnis terpuruk di masa pandemi Covid-19. Selama dua bulan nonstop dia menjahit alat pelindung diri untuk tenaga medis dan mengirimkan secara gratis ke rumah sakit-rumah sakit yang membutuhkan.
Akhir Maret 2020, seorang suster di Rumah Sakit (RS) Elisabeth, Semarang, Jawa Tengah, memberi tahu bahwa RS kehabisan alat pelindung diri (APD). Anne langsung meminta semua karyawannya mulai menjahit APD dalam bentuk jaket pelindung diri (JPD) berdasarkan contoh yang dikirim suster ke rumahnya. ”Saya bilang ke staf, kita akan buat APD, beli bahan, segera jahit dengan melihat contoh. Setelah jadi, kami posting pengumuman ke Instagram,” kata Anne kepada Kompas, Senin (25/5/2020).
Di akun media sosial, Anne mengunggah kalimat ”Peduli APD Yayasan Anne Avantie. Saya tidak menjual tetapi saya menyumbang dengan segala keterbatasan sarana untuk memproduksi baju APD bagi pahlawan kemanusiaan yang mempertaruhkan nyawa untuk bertarung melawan wabah Corona”.
Syaratnya, kirim surel ke anneavantie@yahoo.com tentang permohonan kebutuhan baju APD disertai surat resmi dari RS. Lalu, di akhir unggahan tersebut, Anne menambahkan kalimat ”tidak melayani perorangan dan tidak diperjualbelikan”. Namun, jika ada yang tersentuh dan ingin berdonasi, Anne siap menyalurkan bantuan tersebut.
Dia juga menyatakan bahwa dirinya hanya penjahit, bukan pabrik, sehingga produksi APD terbatas. Kendati demikian, dia berharap langkahnya bisa diikuti oleh penjahit-penjahit atau garmen. ”Postingan saya yang menulis tidak perjualbelikan APD, tetapi untuk sumbangkan ke RS, justru jadi viral. Karena setelah itu ada ribuan surat berdatangan ke kami,” kata Anne.
Sejak 22 Maret, JPD untuk tenaga medis mulai dikirim, terutama di RS-RS di daerah zona merah Covid-19. Setelah surat diverifikasi, Anne langsung mengirimkan APD. Pengiriman dilakukan setiap sore. ”Awalnya hanya 200 APD, lama-lama menjadi 500, terus 1.000. Lalu ada garmen membantu sehingga kami bisa kirim sampai 2.000 APD per hari,” kata Anne.
Belakangan, sejumlah pihak, baik perusahaan swasta maupun perusahaan BUMN, pun bergabung. Bahkan, ketika bahan baku pembuatan APD mulai menipis, dukungan dari berbagai pihak pun berdatangan.
Untuk berdonasi, pihak pemberi donasi cukup mengirimkan dana, kemudian pengiriman dilakukan oleh Yayasan Anne Avantie. Donasi Rp 1 juta, misalnya, sama dengan menyumbang 20 APD. Namun, kenyataannya tidak hanya 20 APD, tetapi jumlah yang dikirim 100 APD.
Belakangan, pengiriman APD dibantu oleh perusahaan pengiriman barang JNE. Biaya pengiriman pun gratis. Saat penerbangan reguler berhenti, bantuan APD terus berlanjut, melalui penerbangan Hercules. APD untuk RS di daerah yang dituju dititipkan pesawat Hercules, menyesuaikan dengan jadwal. ”Kami bisa bertahan 60 hari. Tiap hari nonstop kami kirim APD dari Sabang sampai Papua,” ujar Anne.
Tidak hanya menjahit APD untuk tenaga medis, Anne pun menjahit APD bagi para rohaniwan yang melayani para korban pandemi Covid-19.
DOKUMEN PRIBADI/ANNE AVANTIE
Alat pelindung diri berbentuk Jaket pelindung diri yang dijahit perancang busana Anne Avantie.
Diri sendiri harus kuat
Saat diundang menjadi pembicara dalam seri ke-2 diskusi webinar ”Designer Talk: Semasa Pandemi, Bagaimana Gaya Hidup Mode Tetap di Depan” yang digelar Indonesian Gastronomy Association (IGA), Rabu (20/5/2020), Anne mengungkapkan, keputusan menjahit APD buat tenaga medis justru muncul di saat bisnisnya terpuruk.
”Saya menutup semua pameran di pusat perbelanjaan. Kami punya Pasar Tiban di Grand Indonesia, Jakarta. Biasanya tiap bulan pameran kami pindah-pindah di beberapa kota, keliling berbagi inspirasi ke daerah. Semua itu dibatalkan dan praktis tidak ada penghasilan,” ujar Anne.
Saat terpuruk, setiap orang sebenarnya memiliki kekuatan besar, bahkan di luar logika manusia. Kuncinya cuma satu, untuk bangkit dan menolong orang lain, diri sendiri harus kuat lebih dulu. Anne mengibaratkan, saat ini, semua orang seakan berada di kapal pecah dan harus menyelamatkan diri dan orang lain.
”Kalau kita mau tolong orang lain, harus cari pegangan, cari pecahan kayu yang bisa diraih, supaya kita ada kekuatan pegangan. Jadi, kita harus kuat dulu, setelah itu kita bisa menolong orang lain. Jangan hanya meratap, tetapi harus bangkit, pasti akan muncul the power of kepepet (kekuatan dalam sulit) seperti saya. Siapa yang menyangka, saya akan menjahit APD,” tutur Anne yang memberi penguatan kepada sejumlah perempuan pengelola usaha yang terpuruk menghadapi krisis saat ini.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Warga mengenakan masker saat berbelanja mainan anak-anak di Pasar Asemka, Jakarta Barat, Senin (25/5/2020). Pada libur hari kedua Lebaran, warga memadati Pasar Asemka untuk berbelanja mainan anak-anak.
Produksi masker dan aksi sosial
Lenny Agustin, perancang busana pengantin, yang juga pengurus Indonesian Fashion Chamber (IFC), juga mengungkapkan bagaimana menyiasati kondisi pandemi saat ini. Di saat tidak ada pesanan busana pengantin, Lenny tidak diam saja. Dia kemudian memproduksi masker dengan motif-motif menarik.
”Sekarang ini, kan, saatnya lagi sedih, tetapi kita enggak boleh sedih. Sekarang, masker itu menjadi gaya hidup baru di fashion. Saya menjual hampir 1.000 masker, sekitar 30 persen dari hasilnya saya salurkan kepada masyarakat, serta membagikan masker gratis ataupun membagikan makanan kepada masyarakat yang terkena dampaknya,” kata Lenny yang bersama perancang lain melelang produk mode, kemudian hasilnya disumbangkan.
Di tengah situasi pandemi saat ini, Nita Azhar, perancang busana batik Indonesia, yang juga pemilik butik Soga Kultura di Yogyakarta, malah membuka dapur umum, menggalang dana, dan menyiapkan makanan sehat untuk para tenaga medis dan masyarakat yang terdampak Covid-19.
Dia juga berkolaborasi dengan komunitas seniman di daerahnya, baik seni rupa, tari, maupun seni peran lain, di antaranya Didik Nini Thowok dan Miroto. Mereka menggelar pertunjukan kolaborasi mode, koreografi tari, musik, dan seni instalasi. Untuk persiapan acaranya, Nita dan para seniman memesan kostum yang akan digunakan kepada penjahit. ”Kami tetap berusaha untuk eksis di dunia fashion, berkolaborasi dengan para seniman,” ucapnya.
Apa yang dilakukan para perempuan perancang busana tersebut hanyalah sebagian kecil dari kisah-kisah perempuan tangguh di Tanah Air yang tidak menyerah begitu saja terhadap krisis. Mereka berusaha mencari dan menemukan berbagai jalan sehingga bisa bertahan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Seperti Anne, mereka juga percaya, the power of kepepet akan selalu muncul dalam situasi sesulit apa pun.