Wabah, Kesempatan untuk Menguji Solidaritas dan Kemanusiaan
Anggapan bahwa wabah atau pandemi merupakan siksaan Tuhan terhadap umatnya sama sekali tidak produktif. Pandemi yang sudah terjadi sebelum zaman nabi dan rasul selalu memberikan manfaat di balik setiap persoalannya.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
Tersebarnya penyakit pada daerah yang luas dan dialami banyak orang, atau yang dikenal dengan istilah wabah, sudah muncul sejak sebelum zaman nabi dan rasul, serta berkembang seiring peradaban manusia. Wabah sebaiknya tidak semata-mata dianggap sebagai kutukan, melainkan kesempatan untuk menguji solidaritas dan kemanusiaan.
Guru Besar Filologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Dr Oman Fathurahman dalam seminar daring ”Wabah dalam Lintasan Sejarah Umat Manusia”, Selasa (21/4/2020), menjelaskan, berdasarkan manuskrip Islam kuno, wabah merupakan sejarah kelam yang terus berulang. Wabah atau pandemi besar terjadi pertama kali adalah wabah Yustinianus (The Plague of Justinian) pada tahun 541-542 M. Wabah Yustinianus adalah pandemik yang menyerang Kekaisaran Romawi Timur, termasuk ibu kotanya, Konstantinopel.
Selanjutnya, wabah kembali terjadi berturut-turut mulai dari era Nabi Muhammad Saw, yaitu Shirawayh pada 627-628 M di ibu kota Persia, kemudian wabah Amwas yang awalnya menyerang sebuah desa kecil di Suriah pada 688-689 M. Ada juga wabah Al-Jarif pada 688-689, Al-Fatayat pada 706 di Basrah, serta Al-Asyraf pada 716-217 di Irak dan Suriah. Beberapa wabah lain juga terjadi pada era kekhalifahan Umayyah. Ada pula wabah yang cukup dikenal masyarakat umum karena menewaskan ribuan orang, yakni Yustinianus, Maut Hitam (The Black Death) pada 1347-1353, wabah Bombay (Bombay Plague) pada 1896-1897, dan flu Spanyol pada 1918.
Pandemi yang sudah terjadi sebelum zaman nabi dan rasul selalu memberikan manfaat di balik setiap persoalannya.
Pandemi yang sudah terjadi sebelum zaman nabi dan rasul selalu memberikan manfaat di balik setiap persoalannya, yaitu dapat membangkitkan gairah keilmuan dan riset di bidang medis, melahirkan interpretasi keagamaan yang menekankan keseimbangan iman dan akal, dan literatur yang menjadi inspirasi generasi selanjutnya. Dalam konteks Indonesia, yang terdiri atas beragam agama dan latar belakang, ia berharap agar situasi pandemi Covid-19 yang ada sekarang ini dapat memberikan manfaat berupa pandangan bahwa kondisi ini melahirkan solidaritas dan kemanusiaan.
”Jika titik temu kita adalah semangat untuk kemanusiaan dan menolong sesama, tidak ada persekusi dan diskriminasi terhadap tenaga medis atau pasien positif Covid-19. Semoga pelajaran yang bisa kita petik dari Covid-19 adalah kita punya misi kemanusiaan, terlepas dari agama atau paham yang kita anut,” katanya.
Di Indonesia, menurut pengajar di Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran, Gani A Jaelani, wabah sudah ada sejak zaman Hindia Belanda. Pada abad ke-18, wabah malaria bahkan turut berperan terhadap runtuhnya VOC. Ketika itu, Batavia dibangun dengan sistem kanal yang kurang memperhatikan lingkungan dan menyebabkan penyakit. Pada awal abad ke-19, juga muncul wabah kolera yang masuk dari Semarang dan menyebar dengan cepat di seluruh Pulau Jawa. Selanjutnya, muncul juga epidemi selama masa tanam paksa. Ada juga wabahpenyakit beri-beri yang mematikan. Korbannya antara lain para serdadu Belanda dalam Perang Aceh pada tahun 1890-an.
Gani menekankan, dalam menangani wabah jangan hanya fokus pada upaya medis. Pemerintah juga harus menekankan upaya untuk mengatasi kemiskinan. ”Jika kita lihat pada era tanam paksa, kemiskinan berupa kurangnya nutrisi, pakaian yang buruk, dan hunian yang tidak layak memperparah serangan penyakit. Oleh karena itu, jika ingin mengatasi wabah, kita juga harus mengatasi kemiskinan,” jelasnya.
Tiga jenis
Oman menambahkan, ada tiga jenis wabah menular, yaitu bubonic (kulit bengkak), pneumonic (radang paru), dan septiaemic (infeksi darah). Wabah ini menyebar melalui bakteri yang mengikuti jalur perdagangan dan transportasi.
Jika dulu wabah banyak menyebar di pelabuhan karena jalur perdagangan melalui darat dan laut, sekarang wabah menyebar di bandara atau melalui transportasi udara. Sama seperti Covid-19, penyebaran wabah di masa lampau juga mengganggu berbagai kegiatan masyarakat, termasuk kegiatan haji.
Bagi Oman, dalam memahami pandemi ada tiga pendekatan, yaitu berdasarkan penjelasan medis, penjelasan teologis yang menganggap wabah sebagai takdir Tuhan, dan penjelasan magis tradisional, yakni memahami wabah karena pengaruh jin. Dalam memahami wabah ini, Oman menyarankan agar dilakukan secara produktif yang membawa kebaikan manusia.
”Beberapa kali kegiatan haji pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 dihentikan karena wabah. Kita harus memahami bahwa kegiatan yang mengumpulkan banyak orang menjadi lokasi pergerakan wabah. Kita harus mampu menggunakan logika kita kalau dalam situasi sekarang pergi ke masjid untuk berdoa dan malah membuat mafsadat (akibat buruk), mungkin bukan Tuhan yang kita temukan di sana,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan, berdasarkan manuskrip Islam kuno, wabah ini bisa menyerang siapa saja, termasuk ulama dan anak-anak ulama. Misalnya, Jiwar al-Akhyar fi Dar al-Qarar ditulis berdasarkan pengalaman personal Ibn Abi Hajalah ketika putranya meninggal karena wabah di Kairo, Mesir, pada 1362 M. Ibn Hajar al-Asqalani (1372-1449 M) juga menuliskan naskah berdasarkan pengalaman kehilangan tiga putri kesayangannya karena terserang wabah.
”Penafsiran atau anggapan pandemi merupakan siksaan Tuhan terhadap umatnya, seperti halnya bencana alam gempa bumi dan tsunami, sama sekali tidak produktif. Kalau memang benar wabah itu siksaan Tuhan, kenapa ulama dan anak-anaknya wafat karena wabah. Oleh karena itu, sebaiknya dalam membuat tafsiran harus lebih produktif, yaitu tafsiran yang menekankan pada semangat kemanusiaan,” kata Oman.