Ada Gap dengan Orangtua, Anak-anak Memilih ”Curhat” ke Teman
Orangtua berperan penting melindungi anak-anak dari eksploitasi, termasuk eksploitasi seks komersial anak. Kesenjangan komunikasi dengan orangtua membuat banyak anak memilih mengadu kepada teman sebaya.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Friska Audia Ersintamara dari Komunitas Orang Muda Anti Perdagangan Orang & Eksploitasi Seksual Anak (KOMPAK) Jakarta berbicara pada akhir Konferensi Eksploitasi Seksual Anak 2020 (Konferensi E-SECO 2020) di Jakarta, Kamis (23/2/2020).
Orangtua berperan penting melindungi anak-anak dari eksploitasi, termasuk eksploitasi seks komersial anak. Namun, orangtua kerap kesulitan membuka komunikasi dengan anak yang menghadapi masalah, terutama yang menjadi korban kekerasan.
Dalam kondisi dirundung masalah, anak-anak tetap ada jarak dengan orangtua. Banyak anak yang menjadi korban tidak mau mengadu atau curhat (curahan hati) kepada orangtua. Mereka memilih mengadu pada teman sebayanya karena mereka memiliki pola pikir berbeda dengan orangtua.
”Jika aku memperbaiki sesuatu mau cerita sama mama, takut aku disalahin. Itu kejadian di offline, itu di realita nyata. Apalagi kalau terjadinya di internet. Yang ada (jangan-jangan) kita enggak boleh pakai internet, ”ujar Friska Audia Ersintamara dari Komunitas Orang Muda Anti Perdagangan Orang & Eksploitasi Seksual Anak (KOMPAK) Jakarta, Kamis (23/2/2020), pada Akhiri Eksploitasi Seksual Anak Konferensi 2020 (Konferensi E-SECO 2020), di Jakarta.
Pada acara yang digelar ECPAT (Akhiri Prostitusi Anak, Pornografi Anak & Perdagangan Anak-anak untuk Tujuan Seksual), anak-anak mudah berbagi masalah yang dialaminya. ”Jadi kita tidak bisa berbagi dengan gampangnya, enggak seasyik cerita untuk teman. Beda kalau kita cerita pada teman,” katanya.
Friska mencontohkan, kompilasi ada anak yang mengalami pelecehan seks di kereta. Jika dia berbicara pada teman sebanyanya, maka reaksinya berbeda dengan reaksi orangtua. ”Teman-teman akan lebih senang berbicara sambil mendengarkan ceritanya. Beda sama orangtua malah memarahi kita balik, ya?” tutur Friska di hadapan peserta yang mendukung anak-anak muda.
Menghadapi kondisi itu, beberapa waktu lalu sejumlah anak muda di Jakarta membentuk KOMPAK Jakarta sebagai wadah untuk memfasilitasi aktif dalam menyuarakan dan menangani masalah perdagangan orang dan eksploitasi anak, termasuk memproteksi kepentingan dari eksploitasi seks komersial.
Salah satu program KOMPAK Jakata adalah ”Kaka Curhat”. Program tersebut merupakan layanan bagi anak dan orang muda untuk berbagi atau bercerita tentang perjuangan yang pernah dialami, sebagian anak dan orang muda rentan menjadi korban kekerasan dan eksploitasi panas anak komersial.
”Kami terjun ke sekolah-sekolah, bertemu dan berdiskusi dengan teman-teman. Ada dua cara yang bisa dilakukan anak muda dalam pencegahan dan eksploitasi seksual komersial anak. Pertama, jangan ragu untuk mencari tahu. Kedua, jangan takut untuk melapor,” kata Friska.
Ada dua cara yang bisa dilakukan anak muda dalam pencegahan dan eksploitasi seksual komersial anak. Pertama, jangan ragu untuk mencari tahu. Kedua, jangan takut untuk melapor.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Ryan Rahardjo, Manajer Kebijakan Publik & Urusan Pemerintah Google Indonesia, berbicara pada Akhir Konferensi Eksploitasi Seksual Anak 2020 (Konferensi E-SECO 2020) di Jakarta, Kamis (23/2/2020).
Segera lapor
Manager Kebijakan Publik & Manajer Urusan Pemerintah Google Indonesia Ryan Rahardjo meminta agar anak-anak meminta informasi tentang kompilasi menerima pesan di internet yang aneh-aneh, bahkan menjurus ke hal-hal negatif harus segera memberi tahu orangtua atau guru.
”Harus dibicarakan, jangan dipendam sendiri. Ketika dipendam sendiri kalian akan bingung, antara merespons, atau malah sebaliknya memenuhi permintaan mereka. Jadi harus dibicarakan dengan orangtua kamu. Ketika mendapat komentar-komentar negatif, atau mungkin ada beberapa paedofil yang mencoba berbicara dengan kalian, jangan takut di-block,” kata Ryan.
Dessy Septiane Sukendar (Facebook Indonesia) juga mengajak anak-anak untuk menggunakan fitur pemblokiran dan menyetujui kompilasi menerima konten atau pesan negatif.
Anak-anak diimbau agar segera melaporkan apa yang dialaminya. Karena, menurut Andy Ardian (ECPAT Indonesia), pelaku kejahatan bekerja menggunakan internet dengan berbagai cara.
Para pelaku biasa menggunakan anonimitas atau profil samaran dengan bantuan lain, mengumpulkan data anak yang dijadikan target, serta membangun kedekatan dan kepercayaan si anak. Pelaku juga melibatkan anak dalam percakapan seks, serta mengikat anak-anak agar dapat berkomunikasi, dan sering kali mengulanginya.
Kompas
Aktivis peduli anak-anak menggelar kampanye peduli anak dalam rangka Hari Perlindungan Anak di area hari bebas kendaraan di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (26/7). Negara, orangtua, dan masyarakat dituntut bersama-sama melindungi anak-anak dari eksploitasi, kejahatan seksi, dan perawatan lain yang membahayakan anak.
Prostitusi
Terkait dengan kasus-kasus eksploitasi seksual komersial anak, Komisi Perlindungan Anak (KPAI) sepanjang 2019 menerima laporan yang terdiri dari 5 anak dilibatkan dalam prostitusi di Bali sertai 3 anak dilibatkan dalam prostitusi pelajar di Lampung Timur. Di Ambon, ada praktik prostitusi dengan 8 anak disediakan di sebuah rumah. Ada juga laporan anak dalam grup siaran langsung di Jakarta Barat, serta praktik prostitusi di Bengkulu, Blitar, Jakarta Utara, dan Tanjung Pinang.
”Bentuk eksploitasi komersial anak antara lain anak untuk tujuan pornografi dalam foto, video, gambar, sketsa yang memudahkan anak,” kata Komisioner KPAI Ai Maryati Solihah.
Secara global, tren anak yang menjadi korban eksploitasi seksual anak di ranah daring meningkat signifikan. Ahmad Sofian, Koordinator Nasional ECPAT Indonesia, menyebutkan berdasarkan studi ECPAT International tentang ”Trends in Online Child Sexual Abuse Material” tahun 2018, terjadi peningkatan dari waktu ke waktu terkait kasus kriminal kejahatan materi yang menampilkan kekerasan atau eksploitasi anak, khususnya penyebarluasan gambar pornografi yang dibuat sendiri oleh remaja dan tersebar secara daring.
Selain itu, The NCMEC Cybertipline, lembaga yang menangani laporan eksploitasi seksual anak di ranah siber secara global menemukan lebih dari 7,5 juta laporan eksploitasi seksual anak dalam 20 tahun terakhir dan meningkat pesat lima tahun terakhir.
Fenomena eksploitasi seksual anak di ranah online di Indonesia, menurut laporan NCMEC (National Center of Missing & Exploited Children) yang diperoleh Bareskrim Kepolisian RI, sampai Maret 2016, terdapat 96.824 IP (Internet Protocol) di Indonesia yang mengunduh dan mengunggah konten pornografi anak melalui media sosial, bahkan pada tahun 2015 ada sebanyak 299.062 IP.
Pemantauan media yang dilakukan ECPAT Indonesia sepanjang 2018 menemukan 150 kasus yang berkaitan dengan eksploitasi seksual anak terjadi di Indonesia. Mayoritasnya adalah kasus pornografi anak dengan 108 anak menjadi korban pornografi.
Karena itu, selain memeriksa semua pihak, partisipasi aktif orang muda menjadi penting. Ide, pemikiran dan suara anak muda akan memberikan pemikiran dan perubahan yang signifikan dalam menanggulangi eksploitasi anak seksi di ranah berani. Maka, untuk orangtua, marilah dengar curhat anak-anak...!