Angkat Kembali Kehormatan Petenun
Petenun tidak pernah disebut namanya ketika karya mereka dipamerkan dalam fashion show. Padahal, mereka butuh imajinasi dan waktu yang panjang untuk membuat kain-kain tenun itu.
TARUTUNG, KOMPAS— Peragaan busana para petenun lansia dan penampilan karya-karya desainaer Edward Hutabarat menutup rangkaian Festival Tenun Nusantara yang digelar di Tapanuli Utara, Sumatera Utara sejak 13-17 Oktober 2018. Rangkaian festival ini berupaya mengangkat kembali kehormatan para petenun.
Festival Tenun Nusantara di Tapanuli Utara diisi dengan rangkaian acara, meliputi Pameran Tenun Nusantara, Permainan Tradisional Anak, Simposium Nasional Tenun Nusantara, Boot Camp Partonun, Pesta Budaya Rakyat "Ulaon Matumona", Pertunjukan tari, musik, Teater Tradisi, Opera Batak dan Fashion Show. Penghujung festival ini ditutup dengan meriah dengan fashion show yang mengangkat tema Ulos Batak in Innovation.
Satu hal yang unik dalam acara fashion show ini adalah tampilnya puluhan perajin tenun tua dari berbagai daerah di Tapanuli Utara. Para petenun yang sebagian besar terdiri dari nenek-nenek dan beberapa kakek-kakek lansia dengan mengenakan ulos masing-masing keliling menyusuri lantai catwalk selayaknya model. Di penghujung catwalk, desainer Edward Hutabarat yang juga putra daerah Tapanuli Utara menyambut mereka satu per satu, menyalami, dan memeluk mereka.
“Aktor utama dalam festival ini adalah para petenun. Kami berupaya untuk mengangkat kembali kehormatan para petenun. Merekalah ‘seniman’ dari karya-karya tenun dengan segala motifnya. Dalam membuat tenun, dengan kemampuan berimajinasi tiga dimensi, mereka seperti melukis di atas kanvas,” kata Kurator Indonesiana, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Lefidus Malau, Rabu (17/10/2018) di Sopo Partukkoan, Tarutung, Tapanuli Utara.
Setelah penampilan petenun lansia, sebanyak 18 foto model tampil ke lantai catwalk bergantian. Mereka menampilkan baju-baju, topi, dan tas karya Edward yang dikreasi dari bahan dasar kain ulos dan tenun. Sesuai tema fashion show, Ulos Batak in Innovation, Edward berhasil “menyulap” aneka macam ulos menjadi aneka macam desain kontemporer mulai dari rok, celana panjang, topi, hingga baju pria.
Hargai Proses
Ketua Perkumpulan Wastra Indonesia Bhimanto Suwastoyo mengungkapkan, upaya mengangkat kembali penghormatan terhadap para petenun merupakan langkah yang sangat tepat. Banyak orang seringkali kurang menghargai mereka karena tidak mengetahui secara persis bagaimana panjang dan rumitnya proses pembuatan tenun.
“Petenun tidak pernah disebut namanya ketika karya-karya mereka dipamerkan dalam sebuah fashion show. Banyak desainer tidak menyebut nama petenun. Padahal, mereka butuh imajinasi dan waktu yang panjang untuk membuat kain-kain tenun itu,” kata Bhimanto.
Menurutnya, saat ini petenun memiliki tantangan riil yaitu desakan kebutuhan ekonomi. Dengan kebutuhan ekonomi, mereka kini dituntut untuk lebih cepat memproduksi dan kemudian menjual sehingga kadang mereka lebih memilih memanfaatkan benang dan bahan pabrikan agar kain tenun cepat jadi dan segera terjual. Sementara itu, jika mereka bertahan membuat tenun dengan bahan benang yang memanfaatkan pewarnaan alami, mereka mesti menenun selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
“Di sinilah kita mesti lebih memahami proses panjang para petenun dalam berkarya. Wajar sekali jika tenun dengan bahan alami dijual mahal karena memang prosesnya panjang. Orang akan memahami bagaimana karya tenun jika tahu prosesnya,” ucapnya.
Kolektor tenun Vilidus RP Siburian menambahkan, perlu upaya promosi dan pengenalan yang lebih gencar untuk melestarikan tenun-tenun bermotif tua yang kini nyaris jarang ditemukan lagi. “Kekhasan tenun Batak justru pada motif-motifnya yang masing-masing memiliki makna tersendiri. Sekarang, banyak pencinta tenun yang lebih memilih warna-warna lembut dari bahan baku pewarnaan tenun alami dibanding tenun-tenun berbahan pewarna kimia. Ini peluang bagi masyarakat untuk kembali membuat tenun-tenun berbahan alami yang material dasarnya bisa kita temukan di sekitar kita, entah itu dari akar pohon mengkudu, daun indigo, dan sebagainya,” kata dia.
Festival Tenun Nusantara dilaksanakan berbasis platform kebudayaan Indonesiana yang diinisiasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk mendorong dan sekaligus memperkuat upaya Pemajuan Kebudayaan sesuai UU No. 5 Tahun 2017 melalui gotong royong penguatan kapasitas daerah dalam menyelenggarakan kegiatan budaya sesuai azas, tujuan, dan objek pemajuan kebudayaan yang ditetapkan dalam UU Nomor 5 Tahun 2017.
Untuk tahun 2018, Indonesiana berfokus pada konsolidasi untuk peningkatan standar tata kelola kegiatan budaya dan manajemen penyelenggaraan kegiatan budaya melalui dukungan atas penyelenggaraan festival-festival di daerah, baik penguatan terhadap festival yang sudah ada sebelumnya maupun mendukung penyelenggaraan festival yang baru yang relevan dengan potensi dan karakter budaya di kawasan masing-masing.
Satu dari 9 kawasan yang menyelenggarakan Program Indonesiana adalah Kawasan Danau Toba dimana Kabupaten Tapanuli Utara sebagai tuan rumah Festival Tenun Nusantara. Pelaksanaan Festival Tenun Nusantara di Tapanuli Utara diselenggarakan di 3 lokasi berbeda yaitu Tarutung, Muara dan Sibandang.