JAKARTA, KOMPAS — Pengetahuan media terkait isu kesehatan reproduksi masih minim. Akibatnya, tidak sedikit media yang salah memberikan persepsi dalam pemberitaannya. Kemitraan dengan lembaga yang berfokus pada isu kesehatan reproduksi pun perlu ditingkatkan.
Anggota Aliansi Jurnalis Independen Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal, Naomi Jayalaksana mengatakan, rendahnya pengetahuan wartawan terkait kesehatan reproduksi berdampak pada pelaporan yang disampaikan di media. “Terkadang media melanggar etika jurnalistik karena ketidaktahuan tersebut,” ujarnya dalam lokakarya sosialisasi program Pekumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di Jakarta, Jumat (21/9/2018).
Ia mencontohkan, pada judul untuk pemberitaan kasus anak korban kekerasan seksual, sebagian media lebih memilih istilah seperti "digauli" atau "digarap". Istilah tersebut sudah jelas tidak sesuai etika dan bisa memberikan persepsi buruk kepada korban kekerasan seksual.
Media diharapkan tidak hanya memikirkan kepentingan bisnis untuk menghasilkan berita pengumban klik (clickbait) tetapi juga tetap mengutamakan konten yang bisa mengedukasi masyarakat dan melindungi korban yang diberitakan.
Manager Program Global Comprehensive Abortion Care Indonesia PKBI Dewi A Larasati menambahkan, kesalahan lain yang juga banyak ditemui di pemberitaan media terkait penggambaran tindak aborsi. Biasanya, media menggambarkan tindak aborsi dengan gambaran bayi betubuh kecil atau ibu hamil.
“Padahal jika sesuai ketentuan WHO, aborsi yang aman dilakukan saat janin masih berusia empat minggu. Ini sama sekali belum berbentuk janin ataupun perut perempuan belum terlihat besar,” ujarnya.
Menurutnya, persepsi media yang salah seperti ini juga bisa membuat persepsi masyarakat menjadi salah. Sesuai Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pemerintah telah mengatur tentang aborsi. Peraturan Pemerintah Nomor 61/2014 tentang Kesehatan menyatakan, aborsi dilarang kecuali dua keadaan, yakni kegawatdaruratan medis dan kehamilan akibat pemerkosaan yang menimbulkan trauma pada korban.
Dewi mengatakan, kemitraan antara PKBI sebagai lembaga yang salah satu fokusnya terkait kesehatan reproduksi dengan media menjadi sangat penting untuk membentuk pemahaman yang akurat. Padahal, media yang memiliki pemahaman yang baik mengenai kesehatan reproduksi dapat membantu menghilangkan stigma akan layanan aborsi yang aman dan sesuai aturan. Selain itu, kesalahpahaman seputar kesehatan tidak diinginkan bisa dicegah.
Naomi berpendapat, selain kurangnya komunikasi dengan lembaga seperti PKBI, wartawan juga sulit mendapatkan informasi lengkap dan terperinci mengenai kesehatan reproduksi, baik dari lembaga pemerintah atupun lembaga nonpemerintah.
Isu kesehatan reproduksi pun belum menjadi prioritas media karena minimnya informasi tersebut. “Jumlah media di Indonesia sangat banyak, yaitu sekitar 47.000 media massa. Lebih dari 90 persen merupakan media daring. Dari jumlah ini seharusnya media bisa menjadi sumber informasi yang tepat untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat terkait kesehatan reproduksi,” ujar Naomi.