BANTUL, KOMPAS — Penciptaan karya teater bisa mengambil inspirasi dari beragam referensi, termasuk dari kesenian tradisional yang kadang kurang diperhitungkan. Oleh karena itu, para pegiat teater di Indonesia tidak perlu terus-menerus berkiblat atau mencari referensi dari karya-karya teater dari negara-negara Barat.
”Kita mesti hentikan dominasi referensi teater Barat di Indonesia,” kata seniman teater Putu Wijaya (74) saat menyampaikan pidato dalam rangka penganugerahan gelar doktor honoris causa dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta kepada dirinya, Rabu (21/2), di kampus ISI Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Putu Wijaya merupakan seniman teater, sastrawan, jurnalis, dan budayawan yang dikenal sebagai pendiri Teater Mandiri pada 1971 di Jakarta. Di dunia teater Indonesia, Putu dan Teater Mandiri dianggap membawa pembaruan melalui pertunjukan-pertunjukan yang kental dengan nuansa eksperimental.
Putu, yang memiliki nama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya, juga dikenal sebagai penulis produktif yang sudah menerbitkan sekitar 40 buku, baik novel, kumpulan cerpen, maupun naskah drama. Selain itu, seniman kelahiran Tabanan, Bali, 11 April 1944 tersebut juga pernah menjadi wartawan di sejumlah media massa.
Dalam pidatonya di ISI Yogyakarta yang diberi judul ”Tradisi Baru”, Putu menjabarkan tentang adanya jurang pemisah antara teater tradisional dan teater modern di Indonesia pada masa lalu. Hingga dekade 1950-an, para pegiat teater modern di Indonesia dinilai sangat berkiblat pada karya-karya teater dari negara-negara Barat. Akibatnya, pertunjukan teater modern saat itu selalu berupaya membedakan dirinya dengan teater tradisional, seperti ketoprak, wayang orang, ludruk, dan lenong.
Hingga dekade 1950-an, para pegiat teater modern di Indonesia dinilai sangat berkiblat pada karya-karya teater dari negara-negara Barat.
Tradisi baru
Namun, menurut Putu, kondisi itu perlahan-lahan berubah ketika Taman Ismail Marzuki (TIM) berdiri di Jakarta pada 1968. Pada masa itu, TIM menjadi tempat pementasan aneka jenis pertunjukan, baik teater modern yang mementaskan naskah karya pujangga Barat maupun pertunjukan tradisional. Dari proses itu, para seniman teater modern pun mulai menggali dan mengeksplorasi elemen-elemen teater tradisional.
”Perbedaan teater tradisi dan teater modern yang semula kita cemaskan sebagai jurang yang akan abadi ternyata akhirnya runtuh seperti Tembok Berlin. Akar tradisi diam-diam disepakati menjadi kunci untuk eksis dan berkans besar \'menang’ di forum dunia,” ujar Putu.
Perbedaan teater tradisi dan teater modern yang semula kita cemaskan sebagai jurang yang akan abadi ternyata akhirnya runtuh seperti Tembok Berlin.
Putu menyebut kecenderungan itu sebagai sebuah ”tradisi baru” dalam dunia teater di Indonesia. Bersama kelompok Teater Mandiri, Putu juga ikut mengalami dan berproses dengan kecenderungan ”tradisi baru” tersebut. ”Saya beruntung ikut terlibat, mengalami, bergulung, tergerus menyaksikan proses kebangkitan tradisi baru itu,” ungkapnya.
Kini, setelah puluhan tahun berproses sebagai seniman teater, Putu juga menyimpulkan bahwa proses penciptaan teater harus menjadikan segala referensi sebagai sesuatu yang setara. Oleh karena itu, referensi dari karya-karya teater Barat harus juga diperlakukan setara dengan referensi dari seni pertunjukan tradisional.
”Semua referensi teater itu setara, sama. Jangan mengagung-agungkan teater Barat dan jangan mengagungkan-agungkan teater tradisi Timur. Semuanya setara, semuanya agung,” papar Putu.
Semua referensi teater itu setara, sama. Jangan mengagung-agungkan teater Barat dan jangan mengagungkan-agungkan teater tradisi Timur. Semuanya setara, semuanya agung.
Rektor ISI Yogyakarta Agus Burhan mengatakan, pemberian gelar doktor honoris causa kepada Putu Wijaya didasari sejumlah pertimbangan, misalnya pencapaian karya teater Putu yang dianggap luar biasa serta besarnya jasa Putu dalam pengembangan ilmu dan dunia teater modern Indonesia. Putu juga dinilai memiliki pengaruh luas dalam kehidupan sosial dan kemanusiaan. ”Putu Wijaya adalah seorang seniman sekaligus penanda zaman,” ujar Agus.