Potensi Kain Tenun Ikat NTT Sebagai Busana Draperi
Oleh
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kain tenun ikat Nusa Tenggara Timur dengan bahan pewarna asli tidak mudah diolah sebagai busana. Ini karena kain tenun memiliki nilai dan proses pembuatan yang tidak mudah sehingga jika salah diolah maka nilai tersebut akan hilang.
Wahyu Perdana Saputra, Tenaga Ahli Bidang Mode dan Desain Yayasan Sekar Sawung, menyatakan, ide untuk membuat busana draperi dari kain tenun ikat itu dia kemukakan atas dasar pertimbangan motif kain itu mengandung filsafat hidup masyarakat yang pembuatannya menguras tenaga seniman sehingga tidak bisa dianggap sebagai kain biasa.
“Proses pengerjaan selembar kain membutuhkan waktu satu tahun sedangkan pewarnanya dari bahan alami yang harus dikeringkan berkali-kali,” ujar Wahyu pada Pembukaan Pameran Seni Tenun Ikat dari Kelompok Seniman Paluanda Lama Hamu dengan tema Karya Adiluhung Pendorong Ekonomi Lestari: Menguak Spritualitas dan Simbolisme di Balik Seni Tenun Ikat Pewarna Alam Sumba Timur, di Museum Bank Mandiri, Kota Tua, Jakarta, Minggu (1/10).
Wahyu membuat beberapa alternatif busana draperi dari kain tenun ikat Sumba Timur yang kemudian dipamerkan dalam acara itu. Dengan makna yang terkandung dan proses pembuatan yang rumit, harga kain tenun ikat dengan pewarna asli bisa berkisar dari Rp 3,5 juta hingga puluhan juta rupiah.
Dengan membuat busana draperi, Wahyu tidak perlu memotong kain. Dia hanya perlu menjahit lepas kain itu sehingga keindahan kain tetap terjaga. “Ini menguntungkan untuk para pemilik kain yang ingin mengenakan kain tenun tetapi tidak ingin kainnya dipotong,” katanya.
Salah seorang seniman yang hadir dalam pameran, Tresia Mbati Mbana, berharap agar kegiatan pameran kain tenun ikat menjadi acara tahunan agar kain tenun NTT, khususnya Sumba Timur, semakin dikenal pasar nasional. (DD13)