Psikologi Terpidana
Keberadaan psikolog profesional dibutuhkan di penjara untuk membantu petugas penjara menjalankan tugasnya menghadapi beragam perilaku tahanan/napi maupun membantu tahanan/napi tetap semangat menjalani penahanan.

Didie SW
The worst thing about prison is you have to live with other prisoners. (Gresham Sykes)
Masyarakat penghuni penjara (prison community) dapat dianalogikan seperti organisasi masyarakat yang lain, suatu ’mikrokosmos sosial’ (social microcosm) dengan bahasa, kepemimpinan, peraturan-peraturan, tata cara, dan ritual yang terdapat di dalamnya. Sebuah dunia buatan manusia yang jarang bisa dimengerti oleh orang yang hanya memperoleh informasi dari berita-berita di media massa atau media sosial.
Donald Clemmer (1966) menjelaskan bahwa seorang penghuni baru di penjara akan mengalami penyerapan dan penyesuaian diri dalam situasi kehidupan yang diatur oleh suatu peraturan tertulis maupun tidak tertulis, serta ”suasana kehidupan khusus” yang terbentuk dengan sendirinya oleh penghuni dalam situasi dan kondisi naungan tembok penjara (prisonization process). Seorang pelanggar hukum (offender) apabila untuk pertama kali menginjakkan kaki ke dalam tembok penjara, pada umumnya akan terjadi suatu saat kritis dan yang akan menonjol adalah sikap-sikap ”kegagalan”, rasa rendah diri dan perasaan menolak (failure and defeat).
Berbagai perilaku terpidana dapat muncul sebagai respons atas derita akibat kehilangan kemerdekaan bergerak selama di dalam penjara, seperti marah, benci, gelisah, dan putus asa. Sikap tersebut terbentuk dari pribadi masing-masing, bertopang pada latar belakang situasi kehidupan masa lalu (sebelum masuk dalam tembok penjara) dan proses-proses lainnya yang menyebabkan si pelanggar tersebut masuk ke penjara.
Baca juga : Mengubah Politik Hukum Kita
Rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas) adalah eufeminisme atas apa yang sesungguhnya bernama penjara (tempat penahanan). Mereka yang menjadi penghuni tempat penahanan tak harus memikirkan bagaimana hidup mesti berlangsung karena semua sudah diatur dalam sebuah sistem.
Tak ada yang bisa dilakukan kecuali berdamai dengan diri sendiri. Sebuah cara untuk menjalani hidup dengan keikhlasan. Namun, di sana ada harapan untuk membangun kehidupan yang baru karena penjara sejatinya sebuah lembaga katarsis untuk membersihkan hati dan pikiran dari segala hiruk-pikuk kehidupan dunia.
Di sinilah pentingnya peranan psikolog dan ahli ilmu perilaku yang lain sebagaimana yang tercantum dalam Standard Minimum Rules for The Treatment of Prisoners PBB yang telah diratifikasi. Pada butir tentang personel penjara dalam ketentuan tersebut antara lain dinyatakan: ”Sejauh mungkin, personel penjara harus mencakup sejumlah ahli yang cukup, seperti ahli psikiatri, ahli psikologi, pekerja sosial, guru, dan instruktur perdagangan.”

Supriyanto
Prinsip dasar psikologi adalah pelajaran tentang perilaku. Banyak petugas tempat penahanan, terutama di lapas, yang berhasil melakukan ini berdasarkan insting atau setelah melewati pengalaman bertahun-tahun dalam memahami perilaku terpidana (psikolog amatir). Akan tetapi, dengan penerapan psikologi yang benar, kiranya dapat menunjukkan lebih baik dalam melihat para terpidana (napi) sebagai individu daripada memandang napi secara stereotip massal. Sebagai contoh, bagaimana dan mengapa tahanan/napi yang marah menjadi brutal, apakah hal itu terjadi atas latar belakang pikiran-pikiran yang mengarah kepada suatu hal?
Ada terpidana yang mengacau karena sejak dari sananya memang pengacau, ada yang mengacau sebetulnya hanya karena ingin agar statusnya diakui, ada yang bosan dengan keadaan di tempat tahanan yang monoton, ada pula yang melakukan kekacauan sebagai jeritan minta tolong. Ada saja terpidana yang mengganggu napi lain, sebetulnya hanya untuk memamerkan kekuatannya. Ada napi yang sengaja merusak selnya supaya dipindah ke ruang isolasi, bahkan ada napi yang menyandera hanya karena merasa bosan.
Semua itu dapat dilihat dari aspek psikologis di balik perilaku-perilaku negatif tadi, yang berbeda-beda motivasi dan cara berpikir mereka dalam menghadapi kehidupan masing-masing. Banyak terpidana yang membuat kacau di tempat ia ditahan meskipun tidak semua demikian.
Baca juga : Mereka yang Merasa Tetap Merdeka meski Terkungkung di Penjara…
Petugas sebagai psikolog amatir mungkin punya intuisi tentang seseorang atau seorang tahanan/napi, dan mungkin saja dia benar, tetapi dia tidak akan dapat menerangkan proses-proses yang membuahkan kesimpulan. Banyak orang dapat menggambarkan orang lain, tetapi gambarannya tidaklah sistematis dan lengkap. Itu artinya, gambaran mereka tidak dapat dianalisis, dijabarkan, dan diteruskan kepada orang lain.
Psikolog profesional dapat mengungkapkan ide-ide dan teknik-teknik psikologi sederhana, yang sangat berguna bagi petugas tempat-tempat penahanan dalam melaksanakan tugasnya, sehingga dapat membantu dalam memahami perilaku wajar dan tidak wajar dari para tahanan/napi, serta menghadapi agresi tahanan/napi akibat penderitaan dan kesulitan mereka. Juga, bagaimana membuat napi menjadi lebih bergairah selama menjalani masa pidananya di dalam tahanan.

Ketua Tim Pemeriksa Kompetensi Psikologis Saksi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Sleman Prof Dr Yusti Probowati (kiri) menyampaikan hasil pemeriksaan oleh tim yang dipimpinnya di Hotel Santika Premiere, Yogyakarta, Senin (17/6/2013).
Sindrom pascakekuasaan
Sindrom pascakekuasaan (post power syndrome) adalah kondisi kejiwaan merasa kecewa, bingung, putus asa, atau khawatir yang berlebihan ketika seseorang hidup dalam bayang-bayang kekuasaan yang pernah dimilikinya dan belum bisa menerima hilangnya kekuasaan itu yang menimbulkan penurunan harga diri. Sindrom pascakekuasaan sering dialami oleh orang yang baru saja memasuki masa pensiun. Perubahan ini menyangkut banyak aspek, tidak hanya aktivitas, tetapi juga kekuasaan, harta, koneksi, dan lain-lain.
Kalau para terpidana di rutan dan lapas kita tanya tentang kasus hukum yang menimpa dirinya, kebanyakan memberikan jawaban seolah-olah mereka tidak bersalah meskipun telah menerima keputusan hakim selama di persidangan. Apalagi terpidana itu mantan pejabat, koruptor.
Baca juga : Urgensi Reformasi Sistem Penjara Ramah HAM
Sekilas contoh yang belum lama ini terjadi. Irjen Pol Napoleon Bonaparte yang divonis empat tahun penjara dengan denda Rp 100 juta subsider enam bulan kurungan karena terbukti bersalah menerima suap 370.000 dollar AS dan 200.000 dollar Singapura dari Djoko Tjandra berkaitan penghapusan red notice/daftar pencarian orang (DPO) di imigrasi. Ia terbukti menganiaya dan melumurkan kotoran manusia ke wajah dan tubuh Mohammad Kece di ruang isolasi tahanan Bareskrim Polri, yang sebelumnya tidak diakuinya. Menurut Bonaparte, dia menganiaya Mohammad Kece karena dianggapnya melakukan penistaan agama. Peristiwa itu menimbulkan tanggapan publik yang kontroversial.
Yang jelas, apa pun alasannya, kekerasan, penganiayaan, terhadap seseorang tidak dapat dibenarkan secara hukum. Tak hanya itu, Napoleon Bonaparte telah mencederai institusi Polri, yang tengah membangun citra Polri sebagai pengayom dan pelayan masyarakat.
Thomas Sunaryo, Kriminolog, Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI