Rem Laju Utang, Pemerintah Tempuh Sejumlah Strategi
Mayoritas utang pemerintah 87,43 persen berasal dari surat berharga negara (SBN) senilai Rp 5.702,49 triliun. Adapun sisanya 12,57 persen berasal pinjaman dalam dan luar negeri senilai Rp 833,04 triliun.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto terus melonjak seiring besarnya kebutuhan anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19. Lewat sejumlah kebijakan, pemerintah mengupayakan mengerem tren kenaikan rasio utang agar tidak menjadi bumerang bagi pemulihan ekonomi nasional di masa depan.
Posisi utang pemerintah per akhir Agustus 2021 mencapai Rp 6.625,43 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 40,84 persen. Posisi utang tersebut naik Rp 55,27 triliun dibandingkan posisi akhir Juli 2021 yang tercatat Rp 6.570,17 triliun.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, kenaikan utang saat pandemi Covid-19 adalah hal wajar meski tetap harus dikelola dengan baik. Ia mengatakan, kenaikan rasio utang itu adalah tren yang dialami banyak negara di masa pandemi ini.
”Situasi Covid-19 memang kondisi yang tidak bisa diprediksi dan memerlukan langkah luar biasa. Rasio utang Indonesia memang naik, tapi kita tidak sendirian, hampir semua negara rasio utangnya naik,” dalam webinar Forum Indonesia Bangkit bertajuk ”Optimisme Pemulihan Ekonomi 2022” yang diselenggarakan Bank CIMB Niagasecara virtual, Rabu (29/9/2021).
Hadir pula antara lain Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, dan Presiden Direktur CIMB Niaga Tigor M. Siahaan
Situasi Covid-19 memang kondisi yang tidak bisa diprediksi dan memerlukan langkah luar biasa. Rasio utang Indonesia memang naik, tapi kita tidak sendirian hampir semua negara rasio utangnya naik. (Airlangga Hartarto)
Secara komposisi, mayoritas utang pemerintah sebesar 87,43 persen berasal dari surat berharga negara (SBN) senilai Rp 5.702,49 triliun. Adapun sisanya sebesar 12,57 persen berasal pinjaman dalam dan luar negeri senilai Rp 833,04 triliun.
Dari SBN terbagi menjadi domestik dan valas masing-masing sebesar Rp 4.517,71 triliun dan Rp 1.274,68 triliun. Sementara total pinjaman terdiri dari pinjaman dalam dan luar negeri masing-masing Rp 12,64 triliun dan Rp 820,4 triliun.
Dibandingkan dengan bulan sebelumnya, kenaikan utang Indonesia terutama karena bertambahnya utang yang diterbitkan berupa SBN domestik sebesar Rp 80,1 triliun. Sementara di sisi lain, utang SBN dalam valuta asing berkurang Rp 15,42 triliun.
Menurut Airlangga, dari sisi eksternal Indonesia terbantu dengan adanya kenaikan harga komoditas. Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa komoditas ekspor Indonesia mengalami kenaikan harga, misalnya sawit dan produk turunannya, karet, tembaga, emas, nikel, baja, dan batubara.
Ia pun menyebut beberapa indikator ekonomi menunjukkan daya tahan yang baik di semester I-2021 di antaranya defisit transaksi berjalan yang rendah di level 0,77 persen, cadangan devisa yang melambung ke level 144,8 miliar dollar AS, surplus neraca perdagangan di posisi 4,74 miliar dollar AS, serta inflasi yang terjaga di level 1,7 persen.
Sri Mulyani Indrawati meminta masyarakat memandang utang sebagai instrumen keuangan yang memiliki fungsi dan kegunaan bagi ekonomi Indonesia. Untuk menjaga utang dan postur APBN yang lebih sehat, pemerintah telah menyiapkan reformasi struktural dan fiskal di tahun 2022.
”Reformasi APBN perlu dilakukan, utamanya dalam sisi penerimaan, seperti pengumpulan pajak. Lewat reformasi, kita berharap penerimaan negara bisa melonjak dan mengatasi defisit fiskal yang biasa dibiayai penarikan utang baru,” kata Sri Mulyani.
Pemerintah, lanjutnya, akan terus berinovasi terkait pembiayaan guna menahan laju kenaikan utang pemerintah. Salah satu langkah yang akan dilakukan adalah terus mendorong pembiayaan dengan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).
Hal tersebut diyakininya akan meringankan beban pemerintah dalam membangun suatu proyek. KPBU bertujuan untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh menteri, kepala lembaga, kepala daerah, BUMN, atau BUMD.
Beberapa lembaga yang berperan langsung dalam pelaksanaan KPBU, antara lain Bappenas sebagai koordinator KPBU, Kementerian Keuangan dalam memberikan dukungan jaminan pemerintah, serta kementerian/lembaga sebagai penanggung jawab proyek kerja sama.
Selain itu, pemerintah juga sudah membentuk Lembaga Pengelola Investasi (LPI) sebagai lembaga pengelola dana abadi (sovereign wealth fund/SWF) di Indonesia.
”Sejumlah alat dan inovasi itu akan menjadi pengendali utang sehingga APBN menjadi sehat kembali. Pemerintah memastikan untuk tetap menjaga pengelolaan utang yang hati-hati, terukur, dan fleksibel,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai rasio utang pada Agustus 2021 yang mencapai 40,84 persen dari PDB sudah mengkhawatirkan.
Menurut dia, dengan kondisi saat ini, pemerintah masih butuh anggaran jumbo untuk penanganan pandemi dan butuh untuk menambal defisit anggaran. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, rasio utang bisa melebar melebihi batas 60 persen PDB dalam dua hingga tiga tahun ke depan.
Risiko lonjakan rasio utang terhadap PDB, lanjutnya, semakin nyata setelah semakin jelasnya normalisasi kebijakan moneter bank sentral AS, The Fed, di tahun 2022. Normalisasi ini dapat melemahkan nilai tukar rupiah dan meningkatkan inflasi.
”Selain itu, bisa saja normalisasi turut memicu kenaikan suku bunga utang. Kalau suku bunga utang naik, beban bunga utang di tahun depan bahkan bisa lebih berat dari tahun ini,” ujarnya.