Berbekal Bahasa Lokal, Geise Masuk Komunitas Baduy dan Muslim Banten Selatan
Antropolog Mgr Nicolaas Johannes Cornelis Geise meneliti komunitas masyarakat Baduy dan Muslim di Banten selatan pada 1939-1941. Setelah 71 tahun berselang, penelitian itu dijadikan buku dalam bahasa Indonesia.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
Kompas/TATANG MULYANA SINAGA
Tangkapan layar Youtube Unpar Official yang menyiarkan peluncuran dan bedah buku Badujs en Moslims-Kajian Etnografis Masyarakat Adat di Lebak Parahiang, Banten Selatan karya Mgr Nicolaas Johannes Cornelis Geise, Selasa (15/2/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Kendala bahasa kerap dihadapi antropolog saat melakukan studi etnografi. Namun, bagi Mgr Nicolaas Johannes Cornelis Geise, penguasaan bahasa lokal menjadi pintu masuk untuk meneliti komunitas masyarakat Baduy dan Muslim di Banten selatan pada 1939-1941.
Penelitian itu sekaligus menjadi disertasinya dalam meraih gelar doktor bidang antropologi di Belanda pada 1951. Setelah 71 tahun berselang, disertasi itu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan menjadi buku berjudul Badujs en Moslims-Kajian Etnografis Masyarakat Adat di Lebak Parahiang, Banten Selatan.
Buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas tersebut diluncurkan pada Selasa (15/2/2022). Peluncurannya dibarengi dengan bedah buku di Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Jawa Barat. Geise merupakan rektor pertama Unpar. Ia lahir di Belanda pada 1907 dan meninggal pada 1995.
Dosen Departemen Antropologi Universitas Padjadjaran (Unpad), Ira Indrawardana, satu di antara pembicara dalam bedah buku itu, mengatakan, salah satu kunci memahami komunitas masyarakat adalah pengetahuan bahasa lokal. Menurut dia, Geise tidak mengalami banyak kendala bahasa karena penelitiannya mampu menggambarkan persoalan dengan sangat detail.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Aktivitas masyarakat Baduy di Desa Bojong Menteng, Luewidamar, Kabupaten Lebak, Banten, Sabtu (30/10/2021). Kampung Baduy yang menjadi salah satu destinasi wisata di Lebak ini mulai ramai dikunjungi warga seiring pelonggaran aktivitas masyarakat.
”Tampaknya penguasaan bahasa Sunda Baduy dilakukannya langsung sambil meneliti. Ini terbukti dari tulisannya bahwa ia tidak menggunakan penerjemah selama penelitian itu,” ujarnya.
Ira mengatakan, Geise sangat telaten untuk menggali informasi mengenai dua komunitas masyarakat yang hidup berdampingan itu. Salah satu buktinya terdapat pada cerita rakyat atau dongeng yang dituliskan dalam disertasinya.
Hal ini membutuhkan ketekunan mendengarkan dan kecakapan menguasai bahasa. Sebab, cerita tersebut dituturkan, bukan dituliskan.
Tiga perwakilan pimpinan adat Baduy Dalam, Saidi, Aja, dan Madali, membubuhkan cap jari pada surat permohonan bantuan kepada Presiden Joko Widodo di depan tokoh adat Baduy Dalam lainnya, di Desa Kanekes, Lebak, Banten, awal Juli 2020. Surat itu berisi permohonan agar Presiden menyelamatkan tatanan adat Baduy Dalam, yang banyak tergerus aktivitas wisata.
”Ini pelajaran penting bagi antropolog. Sering kali karena tidak bisa bahasa lokal, terus jadi kendala riset. Bisa terbayang bagaimana Geise terjun ke lapangan dan berlama-lama di Baduy untuk memahami langsung masyarakat di sana,” ucapnya.
Ira menyebutkan, Geise secara implisit beranggapan, nilai-nilai dan kepercayaan masyarakat dapat dipahami dari bahasa lisan. Kedua, komunitas masyarakat juga tidak mempersoalkan perbedaan kepercayaan.
”Menurut Geise, relasi keagamaan masyarakat Baduy dan Muslim sudah terbentuk rasa saling pengertian dan tenggang rasa sejak lama dengan tetap masing-masing mempertahankan perbedaan mendasar,” katanya.
Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia Prof Semiarto Aji Purwanto mengatakan, jika sekilas membaca judul, buku tersebut terkesan akan membahas tentang agama. Padahal, penelitian itu menjelaskan norma-norma dan perilaku komunitas masyarakat.
Membandingkan kehidupan masyarakat Baduy dan Muslim. Indikatornya beragam, mulai dari budaya hingga cara bercocok tanam.
”Terbitnya terjemahan disertasi dan penerbitan buku ini menjadi bagian penting dalam sejarah etnografi. Basis etnografi adalah merengkuh sudut pandang dari orang atau komunitas yang diteliti. Dalam konteks itu, Geise dengan jelas menggambarkannya,” ucapnya.
Budayawan Hawe Setiawan berpendapat, disertasi Geise yang kaya akan kisah lokal masyarakat Baduy dapat menjadi bahan untuk memperbesar ingatan mengenai kebudayaan. Tidak hanya tentang manusia, tetapi juga dalam hubungannya dengan alam.
Hal itu diulas pada disertasi tersebut tentang pohon kawung atau aren yang tidak boleh diusik. ”Pemuliaan tanaman dan alam demi peningkatan kualitas kemanusiaan. Semoga dengan terbitnya buku ini juga mendorong karya-karya lainnya tentang Sunda,” ujarnya.
Abah Ido (76) memanjat pohon aren atau kawung untuk mengambil lahang, sari sadapan aren, di Kampung Buniwangi, Desa Mekarwangi, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Senin (1/3/2021). Sudah lebih dari 40 tahun ia menjalani pekerjaan itu.
Guru Besar Emeritus Institut Seni dan Budaya Indonesia Prof Jakob Soemardjo mengatakan, buku tersebut kaya data yang diperoleh lewat penelitian lapangan. Hasil penelitian juga dapat digunakan untuk melihat persoalan masyarakat adat di tempat dan waktu berbeda.
”Penelitian ini nantinya bisa menjadi titik tolak untuk melihat perkembangan atau perubahan cara berpikir masyarakat,” katanya.
Rektor Unpar Mangadar Situmorang mengatakan, penelitian disertasi itu dilakukan selama 2,5 tahun. Bersama Mgr Pierre Arntz, Geise mendirikan Unpar pada 1955.
”Karya kehadiran dan keteladanan Mgr Geise barangkali yang lebih substansial untuk kita katakan adalah sebuah keniscayaan. Salah satu karya itu adalah hasil penelitian beliau ini,” ucapnya.