Warisan Abadi Sang Burung Manyar
Mangunwijaya menjalani hidup sebagai pelayan bagi masyarakat terpinggirkan. Beliau merupakan rohaniwan dan cendekiawan.
Rama Mangun sering kali bertemu dengan orang-orang yang terpinggirkan, mulai dari masyarakat di Kedung Ombo, warga di pinggir Kali Code, masyarakat Pantai Grigak Gunung Kidul, dan anak-anak jalanan. Padahal Rama Mangun dikenal sebagai seorang rohaniwan, sastrawan, bahkan arsitektur yang karya-karyanya telah memenangi banyak penghargaan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Rama Mangun memilih tinggal bersama masyarakat kecil. Kardinal Ignatius Suharyo menyatakan bahwa Rama Mangun pernah bercerita bahwa ia ingin membayar utang kepada masyarakat. Keinginan tersebut yang mendorongnya untuk fokus melayani dan membela rakyat kecil.
Saat muda, Rama Mangun pernah ikut barisan Tentara Pelajar ketika masih mengenyam pendidikan di Malang. Saat itulah ia merasa bersalah terhadap rakyat yang menjadi korban perang. Rama Mangun pernah mengatakan bahwa menjadi tentara membuat tangannya harus berlumuran darah sehingga ia menyerah dan ingin kembali menjadi manusia normal.
Atas dasar itulah, Rama Mangun memutuskan masuk ke Seminari Mertoyudan untuk menjadi seorang rohaniwan. Walaupun begitu, Rama Mangun memilih sebagai rohaniwan yang tidak hanya tinggal di gereja atau memimpin misa di paroki saja. Menurut Sindunata dalam epilognya, Rama Mangun tidak ingin menjadi gereja di menara gading, tetapi turut membantu mereka yang terpinggirkan.
Inilah sedikit perjalanan dan pilihan hidup Rama Mangun yang diceritakan kawan-kawan dekatnya dalam buku berjudul Yuk, Belajar Ujaran dan Teladan Rama Mangun (PBK, 2024). Buku ini adalah persembahan para sahabat Rama Mangun untuk memperingati 25 tahun Rama Mangun dipanggil Tuhan.
Seperti yang sudah diketahui bahwa Rama Mangun meninggal pada 10 Februari 1999 ketika menjadi penceramah dalam diskusi di Jakarta. Meskipun telah tiada, pemikiran dan karya-karya Rama Mangun tetap abadi. Nama Rama Mangun tak pernah hilang dalam sejarah Indonesia. Bahkan, dia sering dikenal sebagai “Sang Burung Manyar”, sesuai dengan judul novel roman sejarah ciptaannya Burung-Burung Manyar. Bahkan hingga sekarang belum ada rohaniwan atau orang Indonesia yang sanggup menjalani hidup seperti Rama Mangun.
Politik hati nurani
Meskipun Rama Mangun fokus pada dunia pelayanan kepada masyarakat terpinggirkan, ia juga dikenal sebagai pengkritik pemerintahan Orde Baru. Ia secara terang-terangan pernah mengatakan bahwa tidak setuju dengan sistem pemerintahan Orde Baru yang dipimpin kalangan militer. Menurut dia, pemerintahan Indonesia haruslah dipimpin oleh sipil, seperti Moh Hatta dan Sjahrir, sehingga demokrasi dapat berjalan.
Buku ini juga memuat beberapa kritik Rama Mangun di era Orde Baru yang relevan dengan kehidupan politik Indonesia masa-masa sekarang. Salah satunya terlihat dalam tulisan Rama Mangun tanggal 7 Agustus 1998 yang dimuat dalam laporan sarasehan Deklarasi Forum Masyarakat Katolik Indonesia, di bawah sub-judul “Lima Komponen Orde Baru”.
Dalam tulisan tersebut, Rama Mangun mengingatkan bahwa untuk mencapai tujuan politik seseorang dilarang menghalalkan segala jalan seperti di dunia komunis, fasis, ataupun kapitalis liberal kolonial dan imperial. Menurut Rama Mangun, politik di Indonesia seharusnya berikhtiar mencari kemenangan, tetapi tetap harus menerapkan politik Pancasila, yang artinya bermoral dan berhati nurani.
Atas dasar itu, Rama Mangun melalui metode kritis mencoba membedah dan menyebutkan setidaknya ada lima komponen Orde Baru yang mengarah pada budaya negatif Orde Baru. Pertama, terciptanya feodalisme pribumi, di mana masih banyak praktik membelenggu kawula kecil sehingga terus menjadi hamba-hamba bermental jongos dan kuli. Alhasil muncul pola relasi senjang, seperti priayi-rakyat jelata, kaya-miskin, penguasa-masyarakat.
Kedua, terjadi peniruan sistem dan struktur ekonomi Hindia Belanda lewat kapitalisme yang dicampur dengan feodalisme pribumi. Praktik ini berdampak pada kekayaan Nusantara yang dikelola secara sentralistik. Menurut Rama Mangun fase ini bisa menjadi tumpukan lahar kebencian dan munculnya separatisme sebagai ekses dari sentralisme yang ketat dan kejam.
Ketiga, munculnya imitasi fasisme lewat paksaan maupun kekerasan atau kekejaman. Pemerintah Orde Baru sering kali menebarkan ketakutan dan teror mental terhadap siapa pun entah kalangan kaum cerdik cendekia, intelektual, ataupun tokoh-tokoh agama yang dianggap bertentangan dengan penguasa atau kekuasaan. Kondisi ini juga menekan rakyat kecil sehingga merasa takut terhadap pemerintah.
Keempat, menjamurnya praktik visible and invisble of transnational super-powers yang muncul lewat perangai neo-kolonialisme dan neo-imperialisme. Kekuatan ini biasanya muncul pada dimensi politik, sosial, ekonomi, budaya termasuk pendidikan. Menurut Rama Mangun, kondisi ini muncul dalam kapitalisme semu yang lebih mengutamakan “kanca-kanca”, kalangan terdekat, bisnis keluarga, dan sejenisnya. Dampaknya masyarakat tidak bisa membedakan mana yang menguntungkan bangsa, mana pula yang menguntungkan segelintir orang.
Kelima, terciptanya budaya “backing-backingan”, yaitu orang kaya yang minta perlindungan penguasa dan sebaliknya. Ada juga golongan pengusaha yang minta dilindungi oleh kelompok buruh tertentu agar aman. Situasi ini, menurut Rama Mangun, digambarkan dalam sebuah ungkapan, “Terbentuknya variabel organisasi-organisasi hitam di bawah tanah.”
Metode kritis Rama Mangun ini apabila diimplementasikan dengan teropong masa kini, ternyata budaya negatif Orde Baru belumlah hilang sepenuhnya. Meskipun Indonesia telah memasuki masa reformasi, praktik ini justru tumbuh subur di berbagai kalangan.
Situasi ini digambarkan oleh Rama Mangun dalam bentuk ungkapan bahwa, “Musang bisa saja kehilangan bulu, tetapi perangainya tidak.” Artinya meskipun zaman sudah reformasi dan pemerintahan Soeharto tumbang, namun tokoh dan watak peninggalan Orde Baru tidak sepenuhnya hilang.
Walaupun sebagai aktivis pergerakan yang suka mengkritik dan mengingatkan pemerintahan, tetapi Rama Mangun tidak ingin masuk ke dalam pemerintahan. Ketika ada yang mengganggu dirinya, maka Rama Mangun pun bertindak. Namun di saat sudah tidak diperlukan, maka Rama Mangun akan pergi lagi untuk menyepi. Inilah praktik politik hati nurani ala Rama Mangun.
Kiranya sebagai aktivis yang suka mengkritik dan pemerintahan perlu mencontoh sikap dari Rama Mangun. Mereka datang murni untuk memberikan masukan terhadap kinerja pemerintahan. Namun, setelah masalah selesai aktivis tersebut pergi dan menyepi bukan masuk ke dalam pemerintahan. Rama Mangun mengajarkan bahwa seorang aktivis pergerakan tidak boleh memanfaatkan situasi untuk bergabung di dalam pemerintahan.
Kenangan
Buku ini tidak hanya berbicara mengenai pemikiran-pemikiran Rama Mangun yang masih relevan hingga sekarang. Namun, buku ini juga menghadirkan cerita-cerita menarik untuk mengenang Rama Mangun. Mereka yang pernah berinteraksi langsung dengan Rama Mangun diwawancarai oleh tim buku ini untuk menghadirkan kembali sosok yang dikaguminya.
Ada banyak nasihat dari Rama Mangun yang masih diingat oleh para koleganya. Salah satunya adalah Tarno, warga pinggir Kali Code, Yogyakarta. Ujaran Rama Mangun yang masih ia ingat adalah “Aja kok pageri omahmu nganggo beling, pagerana nganggo piring”, artinya jangan pagari rumahmu dengan beling, pagari rumahmu dengan piring.
Ungkapan alegoris ini sering disampaikan Rama Mangun dalam berbagai macam kesempatan sehingga penerapan dan penafsiran pun beragam dan bermacam-macam, tetapi masih dalam satu napas kontekstual, yaitu jangan menutup diri terhadap orang lain, hakikat kita ini adalah bersama dan kebersamaan.
Selain itu yang paling banyak orang ingat mengenai pribadi Rama Mangun adalah dedikasinya kepada masyarakat pinggiran salah satunya di Kali Code, Yogyakarta. Dahulu wilayah tersebut terbilang kumuh di daerah Kota Yogyakarta sehingga masuk dalam rencana pembersihan. Namun, Rama Mangun tidak setuju dengan rencana tersebut sehingga ia membangun ulang pinggiran Kali Code sehingga terlihat bersih dan estetik.
Rama Mangun ingin mengajarkan bahwa sesuatu yang merusak keindahan tidak perlu dihancurkan. Manusia yang berakal budi bisa memperbaikinya sesuai dengan fungsi dan estetikanya. Lewat Kampung Code Rama Mangun mengingatkan bahwa segala sesuatu bisa dilakukan dengan cara-cara yang manusiawi, tidak dengan penghancuran.
Hingga kini warisan Romo Mangun di pinggiran Kali Code yang dilihat melalui Jembatan Gondolayu Yogyakarta masih berdiri. Dari sini Rama Mangun ingin mengajarkan bahwa setiap manusia haruslah berpihak kepada masyarakat yang terpinggirkan. Rama Mangun menunjukkan bagaimana manusia bisa memanusiakan manusia. (DNG/Litbang Kompas)
Data Buku
Judul: Yuk, Belajar Ujaran dan Teladan Rama Mangun
Pengarang: St. Sularto, dkk
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit: 2024
Jumlah halaman: xxxiv + 166 halaman
ISBN: 978-623-160-485-9