Pendekatan Kritis dan Inklusif terhadap Politik Konsesi Agraria
Ketimpangan gender dan politik konsesi agraria bukanlah fenomena baru.
Pesan mendalam tentang eksklusivisme orang-orang kecil atas keadilan tata kelola agraria dan praktik kekuasaan tergambar dengan jelas pada sampul buku Gender dan Politik Konsesi Agraria. Tim penulis memilih desain sampul yang sangat menyentuh, di mana seorang perempuan marginal mencermati dengan tajam fenomena politik agraria, dengan latar protes, dan perjuangan pada ruang yang terbatas.
Buku Gender dan Politik Konsesi Agraria ini adalah buku yang sangat penting, terutama diantara spektrum kajian agraria yang relatif luas – meliputi empat konsesi agraria - kelapa sawit di Kalimantan Barat, batu bara di Kalimantan Timur, hutan tanaman industri (HTI) di Sumatra Selatan, dan restorasi ekosistem di Jambi. Meski membongkar konsesi agraria dari berbagai skema dan daerah, dasar pendekatan yang dipakai oleh para penulis adalah lensa feminis dan politik ekologi. Tampaknya kegelisahan dari berbagai pihak tentang peminggiran dan eksklusi komunitas miskin tak beruntung dari pengambilan keputusan sumberdaya alam, yang di dalamnya mayoritas perempuan, makin meluas.
Penulisan narasi politik konsesi agraria menjadi penting, karena sejarah komunitas orang biasa selalu hilang dari sejarah mainstream yang ditulis atas kepentingan elit kekuasaan dan penguasa ekonomi.
Feminist Political Ecology (FPE) dan etnografi menjadi pendekatan yang kuat dan mampu mengupas peran, posisi, dan narasi dari perempuan serta komunitas marginal dalam konteks perubahan ekosistem. Metode etnografi berhasil memperlihatkan deskripsi kepemilikan dan tata guna tanah, ketidak-adilan dan perjuangan akses tanah dalam kehidupan nyata di empat lokasi penelitian.
Negara, sebagai institusi yang punya otoritas untuk mengatur asset rakyat, justru menjadi instrumen bagi para pemilik modal untuk mempercepat proses penguasaan tanah/lahan demi kepentingan privat. Realita ini menegaskan posisi rakyat (dalam berbagai bentuk komunitas) berhadap-hadapan dengan negara dan korporasi. Sederhananya, tergambar pada suatu segitiga tak sama kaki antara Hutan – Komunitas sekitar hutan – Pemerintah/Negara dan korporasi, yang ketiganya saling mencurigai. Segitiga itu memperjelas fenomena reduksi pluralisme dari entitas rakyat, dan sekaligus promosi cara pandang penundukan manusia atas hutan.
Ketimpangan gender dan politik konsesi agraria itu bukanlah fenomena baru; banyak negara memiliki kasus-kasus serupa. Di Indonesia, pada saat melihat kelengkapan politik agraria kita perlu meninjau-nya melalui sejarah. Sejak masa kolonial, negara telah menjadi mesin yang bekerja untuk korporasi dan berjalan atas nama konservasi ekologi; sehingga konsesi-konsesi yang dikeluarkan oleh negara seringkali “kotor” dan eksklusif.
Potret HTI dari Bayung Lencir di Sumatra Selatan; skema restorasi ekosistem yang melibatkan Suku Anak Dalam Batin Sembilan dan komunitas transmigran miskin dari Jambi; konsesi perkebunan sawit untuk biofuel di Kalimantan Barat; dan konsesi tambang batu bara (MP3EI) di Makroman, Kalimantan Timur, yang dinarasikan dalam buku ini, jelas berperspektif maskulin, dan memperburuk posisi dan hidup perempuan. Fenomena empat komunitas konsesi agraria itu mirip dengan studi di Burkina Baso, Afrika Barat tentang produksi Shea Butter oleh pemodal besar. Usaha mikro Shea Butter oleh komunitas perempuan tergeser oleh produksi massal dan cita-cita ekstensi produk hutan non-kayu untuk pasar yang luas, justru mematikan gerakan keberdayaan perempuan tepian hutan (Elias & Carney, 2017)
Sebagai perbandingan, melihat pengalaman empat komunitas konsesi agraria menggunakan pendekatan feminist postcolonial dan metode feminist poscolonial ethnography ternyata sama menariknya (Hendrastiti, 2014, 2019; Hendrastiti et al., 2023, 2024; Hendrastiti & Setiahadi, 2022). Lensa FPE dan PFPE untuk memandang studi politik agraria sangat menarik. Studi etnografi dari empat komunitas perempuan dan terpuruk di Sumatra dan Kalimantan itu mampu menjadi testimoni atas rincian eksklusivisme sehari-hari. Publik perlu mendengar dan membaca seluruh proses eksklusivisme kelompok perempuan dan komunitas lokal tertindas sekitar hutan, dan menjadikannya sebagai refleksi kemanusiaan.
Peran ilmuwan dan aktivis dalam menuliskan sejarah komunitas yang memuat narasi pengorganisasian dan perubahan cara pandang yang berkelanjutan dalam isu politik agraria perlu terus ada.
Selain itu, perspektif sejarah merupakan bentuk refleksi dari (1) gagasan, suara, dan sikap komunitas lokal kepada masyarakat nasional dan global; (2) pengetahuan komunitas lokal dalam merespon perubahan ekosistem, perubahan iklim, dan berbagai perubahan kebijakan dan produk global ke arah desa dan pedalaman; (3) pentingnya aktivisme melawan penundukan dalam bentuk protes, dan advokasi kebijakan. Bahwa ruang hidup yang semakin sempit itu perlu diperjuangkan perluasan aksesnya.
Pada pengantar buku Gender dan Politik Konsesi Agraria ini dijabarkan tentang tujuh periode transformasi kebijakan agraria – masa kolonial, Orde Lama, awal Orde Baru (masa rejim militer dan sterilisasi komunisme), era tahun 1980an, tahun 1990an, tahun 2000an, dan tahun 2010an. Hasil refleksi dari setiap periode, masyarakat lokal ter-eksklusi dari regulasi, menghadapi represi, dan di beberapa lokasi terjadi kriminalisasi. Konflik atas hubungan kepemilikan dan sistem produksi mematikan sistem produk lama dan melahirkan sistem baru yang sayangnya merupakan akumulasi keuntungan korporasi. Yang paling penting dari studi sejarah itu adalah bahwa di semua periode terlihat sangat maskulin, dan jelas menjadi eksklusi bagi kaum perempuan.
Sebagai tambahan, dari cara pandang feminis poskolonial, isu representasi merupakan unsur penting untuk analisis tata kelola ekologi. Pengalaman perempuan (dan kaum tertindas) tanpa perantara untuk mengatakan kepada dunia tentang penderitaan dalam struktur yang timpang dan perlakuan diskriminasi, seperti yang tertulis pada buku ini termasuk di dalamnya. Gagasan yang lahir dari pengalaman hidup komunitas yang kalah itulah yang mewarnai sikap dan pilihan strategi untuk merebut ruang yang timpang.
Pada kasus pertama, perubahan hutan yang membawa perubahan penguasaan sumberdaya hutan bagi komunitas perempuan di Bayung Lencir, Sumatra Selatan, terlihat pada akses tanah dan sumberdaya hutan. Menurunnya relasi antara komunitas dengan tanah dan sumberdaya hutan telah melemahkan posisi manusia dan hutan. Perempuan teralienasi dari hutan, dan mengalami kesulitan dalam melakukan resiliensi terhadap kerusakan hutan dan bencana.
Pada kasus kedua, skema restorasi ekosistem pada pengalaman Suku Anak Dalam Batin Sembilan, di Jambi, mengalami kesulitan yang serius tatkala mempertahankan hutan. Akses sumberdaya yang terbuka kepada publik mengundang penguasaan yang eksploitatif melibatkan elit lokal, korporasi swasta, bahkan LSM. Kasus ketiga, skema yang diteliti dari perkebunan kelapa sawit/biofuel di Kalimantan Barat mencatat munculnya nepotisme di sana. Eksklusi masyarakat lokal atas pembukaan perkebunan, terutama kepada komunitas perempuan, adalah hilangnya ruang hutan, ketimpangan kepemilikan lahan, dan ruang pengambilan keputusan. Kasus konsesi ke-empat, pertambangan batu bara di Makroman, Kalimantan Timur, memperkuat prioritas hidup bagi laki-laki (menguatnya ideologi patriarki) pada pendidikan, pekerjaan, dan penguasaan tanah. Kalaupun perempuan memiliki akses terhadap tanah, itu diturunkan lewat warisan.
Aktivisme komunitas lokal melawan munculnya eksklusivisme, memang tercatat. Di semua lokasi, kelompok perempuan melakukan upaya perubahan dan memilih strategi merubah hidup. Penulisan sejarah komunitas adalah pesan reflektif atas perubahan yang diusahakan-nya. Perubahan struktur ekonomi, sosial, politik dan geopolitik, serta lingkungan menjadi kontrol eksternal dari identitas individu. Narasi pengalaman pendidikan, perkawinan, kelahiran anak, migrasi dan perpindahan rumah, bertani, berkebun, menjadi buruh, melepas kepemilikan tanah dan rumah, kematian suami, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, dan begitu banyak pengalaman lain yang muncul bersama-sama terjadi, atau berurutan – telah membentuk identitas individu.
Budaya merawat dapat terus bertahan hidup, hanya karena pengalaman dan memori ketertindasan yang laten, yang mana tumbuh atas dasar kesadaran feminis.
Relasi perempuan dengan alam biasanya berdasar alasan alam sebagai gudang bahan pangan, bahan obat-obatan, dan energi. Maka aktivitas merawat selalu dilakukan bersama-sama dengan konsumsi, dengan demikian sustainabilitas-nya terjaga akibat keberlangsungannya perlu berlanjut. Begitu muncul komersialisasi atas sumberdaya alam itu diperkenalkan, keuntungan eksploitasi dijanjikan oleh perdagangan global, maka budaya merawat sumberdaya alam mulai pudar. Budaya merawat dapat terus bertahan hidup, hanya karena pengalaman dan memori ketertindasan yang laten, yang mana tumbuh atas dasar kesadaran feminis. Pengakuan atas kesadaran berelasi dengan alam yang menuntun perempuan pada kesadaran tentang ekosistem sebagai gudang bahan pangan, kawasan sumber air alami, apotik hidup, penahan bencana, dan fungsi penyangga hidup lainnya.
Menurut studi Colfer et al (2016) pengelolaan hutan lestari tidak akan mungkin tanpa kejelasan lebih lanjut tentang kepemilikan lahan dan pohon. Pertanyaan terpenting pada strategi gerakan untuk akses lahan non-kayu dan tanaman pangan menuju tanaman keras adalah mengikuti pola akses lahan dan pohon seperti kajian perempuan dan hutan dari berbagai belahan dunia (Colfer 2017).
Baca juga : Menengok Kembali Narasi Besar Kebhinnekaan
Baca juga : Ekofeminisme, Mendobrak Narasi Tunggal Pembangunan
Penulisan narasi politik konsesi agraria menjadi penting, karena sejarah komunitas orang biasa selalu hilang dari sejarah mainstream yang ditulis atas kepentingan elit kekuasaan dan penguasa ekonomi. Meski studi ini baru meliputi empat lokasi kritis di Indonesia, namun isu gender dan politik konsesi agraria telah banyak di publikasikan oleh banyak peneliti muda lainnya. Peran ilmuwan dan aktivis dalam menuliskan sejarah komunitas yang memuat narasi pengorganisasian dan perubahan cara pandang yang berkelanjutan dalam isu politik agraria perlu terus ada. Penulisan narasi juga menjadi senjata dan instrumen untuk meningkatkan kepedulian dan keberanian bicara, dan menjauhi budaya “diam”.
Titiek Kartika Hendrastiti , Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu.
Data Buku
Judul Buku: Gender dan Politik Konsesi Agraria
Penulis: Tim penulis: Julia, Mia Siscawati, Noer Fauzi Rachman, dkk
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit : Cetakan I, 2024
Tebal: ix + 434 halaman
ISBN: 978-623-160-222-0