Kepengarangan dalam Film Digital Menurut Andre Bazin
Andre Bazin, seorang teoritikus film Perancis, mengemukakan peran sutradara dalam film dapat disejajarkan sebagai pengarang dalam karya sastra. Buku ini menelaah pemaknaan teori kepengarangan Bazin di era film digital.

Halaman muka buku berjudul 'Andre Bazin dan Kepengarangan Film Digital'
Judul Buku : Andre Bazin dan Kepengarangan Film Digital
Penulis : Marselli Sumarno
Penerbit : FFTV-IKJ
Tahun Terbit : 2022
Tebal Buku : 223 halaman
ISBN : 978-602-704-152-9
Nama Andre Bazin (1918-1958) dalam perkembangan teori film klasik cukup ternama. Ketika sinema ditemukan sekitar awal abad ke-20, orang-orang yang menggelutinya mencoba membahas ontologi sinema sehingga muncullah para teoritikus film, seperti Bazin dan sejumlah teoritikus lainnya diantaranya Sergei Eisenstein, Hugo Munsterberg, Rudolf Arnheim, Siegfried Kracauer, dan Bela Balazs.
Tulisan-tulisan Bazin tentang sinema dikumpulkan dalam antologi 4 volume dengan judul Qu’est- ce que le cinéma? atau What is Cinema?. Dalam Jilid 1 dan 2, Bazin mengemukakan tentang betapa film harus memperlihatkan realitas obyektif, yaitu suatu realisme yang dibentuk lewat pengadeganan (putting in the scene) untuk menjaga kesinambungan sejati. Pengadeganan sendiri yaitu suatu aktivitas yang lekat ke masalah penyutradaraan seperti pengaturan seluruh adegan yakni pemain, latar, properti, pencahayaan, dan lainnya dalam kaitannya dengan fungsi kamera. Intinya Bazin berargumen bahwa kontrol sutradara ada atas setiap hal yang harus nampak dalam bingkai film tersebut.
Gagasan kepengarangan ini dia ajukan ketika kebanyakan film-film Perancis ketika itu skenarionya bertolak dari novelnya. Gagasannya dia tuangkan dalam esainya berjudul La Politique des auteurs (Siasat kepengarangan), yang dimuat dalam jurnal Sinema edisi April tahun 1957. Ketika itu film-film masih dianggap sebagai media hiburan semata dan belum memproleh penghargaan sebagai mana dalam karya sastra.
Marselli Sumarno dalam disertasinya yang kemudian diterbitkan dalam buku berjudul Andre Bazin dan Kepengarangan Film Digital (FFTV-IKJ, 2022) mencoba mengkaji bagaimana teori kepengarangan tersebut masih relevan di tengah kemajuan teknologi film digital saat ini.
Sebagaimana diketahui, produksi film di era digital ini memerlukan proses kerja kolaboratif dari para krunya. Misalnya melibatkan ahli tata cahaya, spesial efek, tata suara, editor, dan lain-lain. Penulis mencoba menganalisis apakah elemen-elemen produksi tadi akan mereduksi peran sentral sutradara yang Bazin kemukakan.
Teori Kepengarangan
Jika mengkaji gagasan kepengarangan Bazin, akan terlihat bahwa teori kepengarangannya memiliki maksud lain yakni adanya pengakuan seni film seperti seni sastra. Marselli dalam bukunya menjelaskan bahwa rumusan film sebagai karya seni sebelumnya telah diangkat secara signifikan melalui metode montase (pengurutan shot-shot pendek) dari karya film-film Uni Soviet di Era Vadimir Lenin tahun 1920-an dengan gaya formalisme. Sergei Eisenstein merupakan sutradara yang menggunakan gaya tersebut. Bagi Eisenstein esensi realitas harus sama dengan prinsip-prinsip realitas itu sendiri.
Pandangan ini juga senada dengan pemikiran dari teroritikus film klasik lainnya seperti Vsevolod Pudovkin yang menegaskan bahwa editing adalah dasar seni film serta Rudolf Arnheim yang menggunakan metoda montase berunsur waktu.
Bagi Bazin metode montase rawan disusupi ideologi tertentu dan terkesan membatasi kekebasan manusia dalam melihat realitas. Bagi Bazin yang menganut realisme bahwa suatu film harus mampu menangkap proses representasi dan realitas sosial. Oleh karenanya dia memilih menggunakan metode pengadeganan tertentu dalam menghadirkan realitas sehingga penonton memiliki kebebasan personal untuk menafsirkan film. Pandangan realisme Bazin di atas bersumber dari fenomenologi Hendri Bergson terutama gagasannya terkait “kesatuan integral yang mengalir”.
Perspektif Strukturalisme
Namun, dalam perkembangannya, Marselli menjelaskan bahwa teori kepengarangan Bazin tersebut disanggah dari kalangan pemikiran strukturalisme di tahun 60-an dan post-strukturalisme di tahun 70-an. Strukturalisme adalah untuk mempelajari keberadaan mekanisme sebuah sistem struktur yang mendasari lahirnya suatu makna. Dalam strukturalisme keberadaan sutradara tidaklah mutlak sebagai produser makna, melainkan ada berbagai faktor-faktor lain dalam struktur film itu sendiri yang turut membentuk makna, seperti tanda, pemaknaan, dan berbagai unsur-unsur dalam struktur linguistik
Kemudian dalam perspektif strukturalisme penulis juga menunjukkan bahwa adanya peran penting pembaca yang juga sekaligus penafsir dalam memproduksi makna. Mengunakan pendekatan Roland Barthes di era post-strukturalisme, penulis lebih lanjut menjabarkan tentang pemaknaan khususnya dalam menganalisis fenomena sosial budaya.
Melalui pendekatan strukturalisme dan post-strukturalisme tidak saja terlihat relevansi pemikiran Bazin, namun juga menunjukkan bahwa pada dasarnya film adalah medium (audio visual), sehingga dalam bungkus karya film itu mampu mewadahi berbagai wacana pemikiran yang timbul dalam sesuai dengan perkembangan zaman.
Lebih lanjut penulis menjelaskan penafsiran makna dari karya film dan sastra memiliki kompleksitas yang sama. Namun, di dalam proses penciptaaan film menjadi lebih mudah dibandingkan karya sastra, karena adanya dukungan teknologi. Tetapi, kemudahan teknologi tetap harus diiringi dengan imajinasi dan kreativitas. Dalam hal ini pemikiran Bazin menjadi semacam fondasi bahwa kepengarangan tidak akan bermakna jika hanya sekadar menyebarluaskan karya, apalagi justru telah menyebarkan disinformasi. (Litbang Kompas/AFN)
'Ada kontinuitas dan relevansi antara jejak teori kepengarangan dari Andre Bazin dengan isu-isu kontemporer dewasa ini, terutama dalam menempatkan aspek baik, indah, dan benar dalam karya kepengarangan yang berkembang di media sosial.'