Pentingnya Keberanian Moral dalam Krisis Kepemimpinan
Publikasi kali ini memuat artikel-artikel yang pernah ditulis William Chang di harian ”Kompas” terkait berbagai isu sosial. Salah satunya yang jadi fokus adalah pentingnya keberanian moral di tengah krisis kepemimpinan.

Halaman muka buku berjudul Moral Nexus dalam Mengelola Pemerintahan
Judul Buku : Moral Nexus dalam Mengelola Pemerintahan
Penulis : William Chang
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit : Cetakan I, 2023
Tebal Buku : xviii + 342 halaman.
ISBN : 978-623-346-737-7
Moral Nexus dalam Mengelola Pemerintahan (PBK, 2023) merupakan kumpulan tulisan refleksi kritis William Chang di harian Kompas dalam merespons berbagai isu sosial. Tulisan-tulisannya didorong sensitivitas, kepedulian, keprihatinan, sekaligus optimisme terhadap kemajuan negara Indonesia.
Menurut William Chang, moralitas tindakan dibentuk oleh kewajiban relasional. Setiap tindakan manusia saling terkait dan memengaruhi orang lain. Dalam relasi tersebut dapat dilihat apakah suatu tindakan dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Dalam masyarakat majemuk, proses karakterisasi tindakan yang baik dan benar dalam relasi antarpribadi perlu terus dikembangkan. Moralitas relasional akan terwujud dengan baik jika didukung oleh komunitas yang menuntut anggotanya berperilaku sesuai norma-norma moral. Moralitas interpersonal menjadi ciri dari moral nexus dalam kehidupan sehari-hari. Moral nexus sangat terkait dengan tanggung jawab dan kewajiban moral yang harus dipenuhi.
Kompleksitas fenomena pemerintahan, sosial, ekonomi, politik, hukum, keamanan, kebudayaan, dan agama dinilai William Chang sebagai kondisi yang sangat paradoks. Di satu sisi, tingkat pengangguran di Tanah Air mencapai 5,83 persen dari 208,54 juta usia kerja (BPS, 2022), tetapi di sisi lain masih banyak proyek infrastruktur yang belum tertangani.
Pada saat pemerintah dan berbagai pihak gencar memberantas narkoba, transaksi narkoba terus berlangsung, bahkan melibatkan aparat penegak hukum. Setali tiga uang dengan upaya pemberantasan korupsi, sejumlah pejabat tertangkap basah olek Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika tengah melakukan transaksi korupsi.
Inkonsistensi dan sistem tebang pilih penegakan keadilan lewat hukum positif mencerminkan disorientasi moral bangsa. Walaupun secara kucing-kucingan, proses komersialisasi (jual-beli) palu hakim sudah menjadi rahasia umum. Prinsip keadilan dan sanksi hukum yang menjerakan tidak termuat dalam vonis hakim.
William Chang menilai, disorientasi ini menimbulkan luka-luka moral dalam hidup sosial. Perbenturan nilai-nilai individual dan sosial akan merobohkan tiang-tiang kontrak sosial hidup berbangsa dan bernegara, yang pada hakikatnya menjunjung nilai kemanusiaan, keadilan, dan demokrasi.
Jika luka-luka moral akibat perbenturan nilai tersebut dibiarkan dan tidak disikapi dengan arif, akan muncul disorientasi moral dalam kehidupan sosial bangsa. Penggunaan kekuasaan tak terhindarkan, penegakan hukum positif diperdagangkan, premanisme mendominasi semua lapisan hidup negara dan rakyat.
Kecerdasan sosial
Para pendiri bangsa sedari awal menyadari pentingnya kecerdasan sosial sebagai modal dasar dalam pembangunan bangsa. Bung Karno dan kawan-kawan mengangkat tema kemiskinan sebagai salah satu titik tolak perumusan Undang-Undang Dasar 1945. Kemiskinan mendorong mereka mewujudkan kesetaraan nilai kemanusiaan (antidiskriminasi) dan keadilan sosial yang mencakup semua lapisan dan semua bidang hidup.
Masalahnya, sejak kemerdekaan, paham indiferentism berkembang subur, mengakibatkan kelesuan nasionalisme, kekacauan sosial, dan kelemahan penegakan hukum. Sampah berserakan, lalu lintas kacau, bangunan liar berdiri di mana-mana, merupakan buah indifferentism. Sikap masa bodoh atau acuh diterapkan dalam memandang kenyataan sosial ini.
Indifferentism yang bernapas individualisme dan sektarian menyuburkan ketidakadilan sosial dan mengabaikan kepentingan umum. Jurang pemisah antara kaya dan miskin melebar. Kondisi ini didukung sistem pendidian (informal, formal, dan nonformal) yang hanya mengembangkan kecerdasan budi (intelligent quotient), kurang mengembangkan kecerdasan sosial (social intelligence) agar generasi penerus mampu bersikap dan bertindak bijaksana.
Kontradiksi dan disintegrasi antara pendidikan nilai moral di ruang sekolah dan keadaan masyarakat muncul karena beberapa alasan. Pertama, penanaman nilai moral dalam dunia pendidikan formal umumnya masih berupa seperangkat teori mentah yang tidak dikaitkan dengan realitas hidup masyarakat.
Kedua, sekolah sebagai lembaga formal yang menyiapkan peserta didik untuk bertindak dan mentransformasikan diri sesuai nilai-nilai moral belum memiliki jaringan kerja sama yang erat dengan keluarga peserta didik, lembaga pemerintah dan nonpemerintah, serta masyarakat.
Ketiga, adanya kesenjangan pandangan hidup antara mereka yang menjunjung tinggi dan melecehkan pesan moral dalam hidup sosial sehari-hari.
Keberhasilan program pendidikan membutuhkan dukungan segenap unsur-unsur sosial dalam masyarakat. Lembaga di masyarakat, entah milik pemerintah atau nonpemerintah, perlu mendukung perwujudan nilai-nilai moral yang disemai melalui dunia pendidikan formal. Perilaku korup, hidup dengan tidak bertanggung jawab, dan manipulatif berarti mengkhianati kaidah moral yang diperkenalkan dunia pendidikan formal.
Maka, penanaman nilai moral dalam pendidikan formal sama sekali tidak bersifat otonom. Semua elemen masyarakat, milai dari keluarga hingga pemerintah beserta seluruh aparatur dan lembaganya seharusnya menghidupi perilaku yang benar-benar menjadi bagian dalam proses penanaman, penerapan, dan sosialisai nilai-nilai moral yang dilakukan para pendidik.
Pemimpin yang bajik
Reformasi bangsa yang telah berusia lebih dari dua dasawarsa seolah jalan di tempat. Perjuangan Pahlawan Reformasi hanya dilihat pada soal keberanian fisik, sedangkan keberanian moral perjuangan reformasi cenderung diabaikan. Padahal, kedua keberanian ini saling terkait.
Keberanian moral dipandang sebagai salah satu keutamaan ”engsel” (cardinal virtue) yang terkait dengan kebijaksanaan (wisdom), keadilan (justice), dan watak baik (good character). Keberanian ini berperan penting dalam menuntun perilaku manusia yang bermoral. Karya-karya penyelamatan bangsa ini amat membutuhkan unsur keberanian moral yang telah lama terkubur dalam era koruptif. Keberanian ini yang memungkinkan manusia bertahan di tengah keadaan sulit, rumit, dan berbelit dalam menegakkan nilai-nilai dasar yang hampir-hampir ditelan krisis multidimensi bangsa ini.
Kerelaan berkorban demi kepentingan umum dan melepaskan ambisi menjadi ciri keberanian moral. Nilai-nilai luhur yang diperlukan dan diperjuangkan masyarakat tanpa menggunakan tindak kekerasan yang bersifat merugikan menjadi faktor pendorong munculnya keberanian manusia dalam bertindak. Keberanian moral yang diharapkan dari para pemimpin bangsa ini sangat sesuai dengan cita-cita dasar para arsitek dan pendiri republik ini. Keberanian ini akan dimiliki bila sang pemimpin mengandalkan kearifan dalam menunaikan jabatannya sebagai pelayan masyarakat.
William Chang menilai kehadiran pemimpin-pemimpin abad ke-21 yang memiliki integritas yang bajik demi kemajuan Tanah Air sangat mendesak. Kepemimpinan ini tampak dalam kata dan tindakan yang benar dan baik, jejaring relasi antarpribadi yang sehat, dan menjadi teladan dengan enam kekhasan, yakni saling mendukung, keterpercayaan, kesukaan, keleluasaan, perhatian, dan kesetiaan.
Seorang pemimpin tidak lagi diangkat atau ditunjuk hanya berdasarkan banyaknya bunga atau bintang di pundak, tumpukan harta benda, atau deretan gelar akademik. Namun, seorang pemimpin seharusnya memiliki komitmen yang istimewa dalam menunaikan tugas-tugas pelayanan.
Pemimpin yang bajik dengan sendirinya akan menjadi penatalayanan etis dalam era digital yang penuh tantangan dan persaingan. Pemimpin tipe ini akan selalu mengoptimalkan kesejahteraan semua pihak dengan menciptakan relasi dan sistem organisasional yang tepercaya.
Daya transformatif pemimpin masa depan yang dapat diteladani tecermin dari integritas personal, santun, dan rentetan tindakan yang berkebajikan moral dan berkewajiban etis. Tentu, kejujuran pemimpin dalam kata dan tindakan termasuk kekhasan terpenting dalam membangun watak kebajikan. (Litbang Kompas/DRA)
”Kedaulatan rakyat Indonesia dan Indonesia Merdeka adalah berdasar perikemanusiaan jang universeel berisi humanisme dan internasionalisme bagi segala bangsa." — Mohammad Yamin (Risalah Sidang BPUPKI, 29 Mei 1945)