Mengatasi Kesenjangan Generasi, Membangun Ketahanan Kerja
Kesenjangan antargenerasi harus ditaklukkan. Perlu langkah konkret untuk membangun ketahanan kerja dan pengalaman positif karyawan lintas generasi demi mencapai tujuan bersama dan mulusnya alih kepemimpinan.
Oleh
AGUSTINA RIZKY LUPITASARI
·5 menit baca
UNDEFINED
Halaman muka buku berjudul Leading Across Generation: Haruskah Perbedaan Generasi Dipertentangkan?.
Judul: Leading Across Generation: Haruskah Perbedaan Generasi Dipertentangkan?
Baby boomer, generasi X, gen Y (milenial), gen Z (centennial), dan yang paling muda saat ini, yakni gen alpha, selalu menjadi bahan obrolan yang seru dan tak ada habisnya, terlebih di dunia kerja. Setiap generasi membawa karakteristiknya sendiri, bahkan stereotype tersendiri. Generasi baby boomer misalnya, mereka membawa stereotype kaku, pelan, mengutamakan hierarki dan birokrasi serta tidak paham teknologi tetapi punya loyalitas tinggi. Karakteristik tersebut dianggap sangat berkebalikan dengan generasi milenial bahkan centennial.
Generasi milenial dan centennial yang hidup di era smartphone serta internet dianggap sangat paham teknologi, tetapi kurang memberikan perhatian terhadap hal bersifat detail. Generasi ini menyimpan segala informasi yang bertumpu pada teknologi. Mereka menganggap semua informasi bisa diorganisasi dan diatur melalui teknologi, tak perlu bersusah payah mengingatnya dan memperhatikan secara detail.
Milenial dan centennial juga dianggap memiliki loyalitas rendah. Hal ini bukan tak berdasar. Menurut data dari Indonesian Milenial Report 2019, rentang waktu 2-3 tahun adalah waktu ideal bagi milenial bekerja dalam sebuah organisasi. Sungguh berbeda dengan baby boomer yang sepanjang hidupnya mungkin hanya bekerja di 1-2 perusahaan.
Kesenjangan antargenerasi
Sebuah forum profesional beranggotakan HR Director dan praktisi HR bernama Human Resources Directors Forum (HRDF) menerbitkan sebuah buku berjudul Leading Across Generation: Haruskah Perbedaan Generasi Dipertentangkan? (Penerbit Buku Kompas: 2023). Buku ini mencoba memberikan perspektif lebih luas tentang bagimana seharusnya tim HR atau para pemimpin memandang kesenjangan antar generasi (generation gap) di tengah dunia yang bergerak dan terdisrupsi kian cepat. Salah satu bagian buku memaparkan pandangan kaum milenial dan centennial mendobrak stereotype yang ada.
Terkait loyalitas kaum milenial dan centennial, generasi ini memandangnya dengan cara berbeda dengan generasi baby boomer dan generasi X. Loyalitas tak lagi diukur dari segi waktu, tetapi dari seberapa besar kontribusi mereka terhadap organisasi. Mereka menganggap loyalitas yang diukur dari lama waktu bekerja adalah loyalitas buta.
Generasi milenial dan centennial sebagai pengguna aktif internet dapat melakukan pekerjaan di lebih dari 1 layar dengan rentang fokus di 8-12 detik. Generasi ini belajar, berkomunikasi, dan berpikir sejalan dengan kecepatan informasi sehingga generasi ini mungkin menjadi generasi dengan fokus rendah tetapi multitasking.
Konteks zaman yang berbeda inilah yang pada akhirnya melahirkan kesenjangan antargenerasi. Namun, apakah kesenjangan antargenerasi menjadi negatif, mutlak, dan tak bisa diubah? Publikasi ini menekankan bahwa justru kesenjangan antar generasi bisa diputar arah, dimanfaatkan untuk menjadi lebih luwes berdinamika dengan sumber daya manusia lintas generasi terlebih di dunia kerja. Lokakarya dan saling berbagi antargenerasi dapat menjadi strategi jitu agar seluruh orang memahami konteks perbedaan karakteristik setiap generasi.
Ketahanan kerja dan pengalaman positif
Hal mendasar yang perlu dipahami di lanskap waktu saat ini adalah bahwa estafet kepemimpinan akan segera beralih dari generasi baby boomer dan generasi X ke generasi milenial dan centennial sehingga kesenjangan antargenerasi (generation gap) menjadi kunci penting untuk ditaklukkan. Selain menaklukkan kesenjangan antargenerasi, faktor lain yang turut mendukung mulusnya estafet kepemimpinan yakni membangun ketahanan kerja(job resiliency) dan pengalaman positif (positive employee experience).
Membangun ketahanan kerja dan pengalaman positif karyawantak lepas dari pemanfaatan perbedaan karakteristik generasi yang ada. Perusahaan dan jajaran kepemimpinan harus paham faktor yang menentukan ketahanan kerja dan pengalaman positif karyawan setiap generasi. Dibawakan dengan gaya bercerita dan percakapan yang menarik, membuat buku ini sangat mudah diikuti dan diaplikasikan ke dunia kerja nyata, baik bagi HR, karyawan, maupun pimpinan.
Buku ini juga memaparkan bahwa budaya dan kebijakan perusahaan memegang peranan penting dalam membangun ketahanan kerja karyawan. Mungkin bagi generasi bagby boomer dan gen X, dana pensiun dan kendaraan dinas dari kantor memuaskan dan membuat mereka bisa memiliki ketahanan tinggi dalam bekerja. Namun, adanya gempuran dunia digital membuat layanan transportasi digital lebih relevan dengan generasi milenial dan centennial sehingga manfaat jangka panjang seperti dana pensiun dan kendaraan dinas tidak lagi menggairahkan dan meningkatkan ketahanan kerja.
Di sisi lain, ketatnya persaingan mendapatkan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan menjadi tantangan nyata. Fakta ini membuat pengalaman positif karyawan perlu diperhatikan perusahaan. Dalam publikasi setebal 246 halaman ini, menyatakan pengalaman positif akan menghasilkan loyalitas dan keterlibatan tinggi dari karyawan.
Perusahaan dapat terbantu dengan adanya dukungan organik dari karyawan yang secara sukarela meresonansi lingkungan dan pengalaman yang positif di perusahaannya ke media sosial, terlebih dari generasi milenial dan centennial. Akibatnya, citra perusahaan terkerek dan akuisisi tenaga kerja berbakat akan lebih mudah dicapai. Karyawan yang bahagia membuat lingkungan kerja nyaman, pelayanan pelanggan optimal, serta kreativitas karya tak terbatas.
Membahas perbedaan generasi di ranah dunia kerja, tidak bisa hanya fokus pada hal-hal yang dapat dilakukan perusahaan. Pengembangan diri juga mutlak dilakukan oleh seluruh generasi yang dimiliki. Perkembangan global dunia kerja dan perkembangan teknologi menjadi tantangan tersendiri. Metaverse, hustle culture, menjadi bahasan yang juga perlu dimengerti setiap generasi.
Publikasi ini dapat menjadi buku saku demi menaklukkan perubahan dunia kerja dan pergeseran posisi generasi di level kepemimpinan. Langkah-langkah yang diajukan sangat konkrit untuk diaplikasikan sehingga memimpin beragam generasi mencapai tujuan bersama sangat mungkin dilakukan. (LITBANG KOMPAS/KIK)
'Dalam dunia yang berubah sangat dinamis, kecepatan mempelajari hal baru menjadi keniscayaan'