Energi baru dan terbarukan tidak hanya menjadi alternatif di tengah menipisnya energi fosil. Namun, hal itu berpotensi melahirkan ekonomi baru, khususnya Indonesia yang memiliki kekayaan energi terbarukan berlimpah.
Oleh
ARIEF NURRACHMAN
·3 menit baca
Judul buku: Menuju Zaman Renewable Energy
Penulis: Cyrillus Harinowo dan Ika Maya Sari Khaidir
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2022
Jumlah halaman: xxiii + 337 halaman
ISBN: 978-602-06—6007-3
Dorongan untuk meninggalkan energi fosil dan beralih menggunakan energi baru dan terbarukan (EBT) kini kian kencang digulirkan beberapa negara di dunia. Dampak perubahan iklim yang semakin terasa membuat negara-negara sepakat bahwa harus ada upaya serius meminimalkan perubahan iklim. Hal itu diwujudkan dalam Perjanjian Paris pada tahun 2015. Salah satu agendanya ialah mengurangi emisi karbon mulai tahun 2020. Sejak itulah beberapa negara giat mengubah industri negaranya untuk beralih dari energi fosil ke sumber energi baru dan terbarukan.
Energi baru dan terbarukan, atau dikenal dengan istilah renewable energy, menggunakan energi bersih yang bersumber dari panas matahari, angin, air, dan panas bumi. Sumber energi disebut ”bersih” karena tidak melepaskan emisi gas karbon dalam prosesnya. Kelebihan lain, ketersediaan EBT juga tidak terbatas dan melimpah ruah di alam.
Negara-negara seperti China, Amerika Serikat, dan beberapa negara di Eropa sudah memanfaatkan EBT bersumber angin, air, dan panas matahari. Bahkan dari laporan IRENA (International Renewable Energy Agency) tahun 2020, produksi EBT global mengalami peningkatan sebanyak 50 persen dari tahun sebelumnya. EBT angin dan EBT surya menjadi penyumbang terbesar.
Gambaran perkembangan EBT di dunia inilah yang menjadi bahasan Cyrillus Harinowo dan Ika Maya Sari Khaidir dalam buku berjudul Menuju Zaman Renewable Energy (Gramedia Pustaka Utama, 2022). Keduanya menyajikan data EBT yang diproduksi oleh beberapa negara serta potret potensinya.
China yang tercatat sebagai negara penyumbang terbesar EBT di dunia, misalnya, memiliki potensi EBT paling besar dari sektor tenaga air. Paparan penulis menunjukkan bahwa pada akhir 2019 total EBT yang dihasilkan mencapai 790 gigawatt (GW), terdiri dari energi air 356 GW, energi angin 204 GW, dan energi surya sebesar 203 GW. Kemudian terjadi peningkatan pada tahun 2020 sebesar 139 GW, yaitu energi angin 78 GW, energi surya 49 GW, dan energi air sejumlah 12 GW.
Indonesia, sebagai negara yang ikut meratifikasi Perjanjian Paris, porsi energinya masih didominasi oleh energi bersumberkan fosil, seperti batubara, minyak bumi, dan gas sebesar 85,31 persen. Sementara sumber energi yang berasal dari EBT baru mencapai 14,69 persen. Padahal, Indonesia memiliki kekayaan EBT yang melimpah, seperti energi panas bumi, energi air, energi angin, energi panas surya, dan panas bumi.
Salah satu prospek yang bisa ditingkatkan adalah penggunaan baterai dalam sistem penyimpanan energi (energy storage system/ESS) yang bisa ditempatkan dalam beberapa waduk di Indonesia. Salah satu contohnya diterapkan pada Waduk Duriangkang, Batam. Prospek lain dari penerapan ESS juga terkait pengembangannya ke dalam bentuk baterai (battery energy storage system).
Penggunaan baterai tersebut bisa membuka peluang besar bagi Indonesia karena memiliki cadangan bahan baku dalam pembuatannya. Bahan baku seperti nikel, kobalt, dan aluminium membuat Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis dalam percaturan rantai pasukan mobil listrik ataupun sistem penyimpanan energi secara global. Potensi inilah yang perlu ditingkatkan oleh pemerintah sehingga ikut membantu pertumbuhan ekonomi nasional. (LITBANG KOMPAS)