Mereduksi Budaya Bohong dengan Pancasila
Perilaku berbohong yang dilakukan pejabat publik maupun politisi dipertontonkan sehari-hari. Sehingga, perlu upaya politis yang masif agar bangsa ini kembali kepada kebenaran, kembali kepada Pancasila.

Halaman muka buku berjudul 'Budaya Pancasila: Merevolusi Perilaku 'Budaya' Bohong'
Judul: Budaya Pancasila: Merevolusi Perilaku ‘Budaya’ Bohong
Penulis: Ansel Alaman
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit: 2022
Jumlah halaman: xvii+318 halaman
ISBN: 978-623-346-365-2
Satu kebohongan biasanya akan diikuti dengan kebohongan-kebohongan yang lain. Dalam kehidupan, kebohongan terdiri dari terdiri dari tiga macam subjek pelaku yakni kebohongan pribadi (individual lie), kebohongan kelompok (community lies), dan kebohongan institusional (institutional lies).
Kebohongan individual dilakukan seorang individu, sering bersifat spontan namun juga direncanakan. Sedang kebohongan kelompok selalu direncanakan, karena disepakati di antara para pelaku untuk mencapai keuntungan mereka. Sementara kebohongan institusi atau yang bersifat kelembagaan, selain disebabkan kebiasaan, kesalahan menafsir undang-undang atau peraturan, akibat perilaku kekuasaan seorang pemimpin yang dipandang sebagai kebenaran dan diterima begitu saja (taken for granted) oleh bawahan atau bahkan masyarakat umum.
Ansel Alaman dalam Budaya Pancasila Merevolusi Perilaku Budaya Bohong (Penerbit Buku Kompas, 2022) menyebutkan, ketiga perilaku kebohongan di atas malah mendapat “dukungan” sebagian warga. Dukungan bisa diterima sebagai kebiasaan bersama, ada yang dengan sikap masa bodoh, entah menerima atau sikap permisif yang melemahkan kontrol moral individu dan sosial.
Buktinya, pejabat publik di Indonesia amat mudah membantah keterlibatan mereka dalam kasus-kasus penyuapan, korupsi, politik uang dengan selalu berkilah tidak ada “barang bukti”. Pernyataan-pernyataan seperti “gantung di Monas”, “potong tangan saya”, “potong leher saya”, dan lainnya menjadi pembenaran atas perilaku bohong tahap kedua sesudah kebohongan tahap pertama terbukti di depan hukum.
Pernyataan-pernyataan tersebut menjadi instrumen yang kerap digunakan untuk menunjukkan bahwa tuduhan dan penetapan tersangka atas dirinya tidak benar. Kebohongan “dijual” ke publik dengan cara meyakinkan, seperti marah, tangisan, alasan yang dibuat-buat supaya vonis tidak terlalu berat serta terhindar dari hukuman sosial.
Obral janji
Kampanye menjelang Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) atau Pemilihan Pimpinan Eksekutif (Pilek) berciri surplus janji yang seringkali berujung dengan kebohongan.
Masa kampanye sesuai apa yang diatur dalam undang-undang Pemilu, menjadi masa komunikasi dan sosialisasi diri, sosialisasi partai, program untuk kepentingan bangsa dan negara. Ada banyak caleg dengan alat kampanye seperti baliho berukuran sangat besar maupun spanduk dengan kata-kata serta gambar atau foto yang menawan.
Kenyataannya, seringkali Caleg jarang turun langsung ke masyarakat. Mereka lebih banyak mengutus tim sukses. Bahkan, mereka jarang hadir dalam kegiatan struktural partai. Di sisi lain, mereka bangga menyebut diri sebagai kader partai tertentu. Ansel menilai caleg DPR dan DPRD telah melakukan kebohongan lewat manipulasi informasi dan identitas diri agar “laku dijual”.
Penulis menilai kebohongan juga terjadi ketika KPU dan Bawaslu menemukan tindak pelanggaran Pemilu namun tidak diteruskan ke ranah hukum dengan alasan “tidak ada unsur merugikan orang lain”. Padahal, sudah ada bukti melakukan politik uang.
Kembali kepada Pancasila
Selayaknya bangsa ini belajar dari kisah heroik pemimpin-pemimpin nasional baik pemimpin pejuang sebelum kemerdekaan, pada masa pergolakan fisik untuk mempertahankan kemerdekaan dan pemimpin masa kini (kontemporer). Banyak dokumen dan karya tulis mengisahkan perjuangan mereka bagi bangsa.
Mereka memiliki sisi perjuangan yang unik. Sebaliknya tokoh kontemporer juga menjadi teladan untuk menapaki sejarah ke depan, memperjuangkan “politik yang berdaulat, ekonomi yang mandiri dan kebudayaan sesuai kepribadian bangsa Indonesia” yang oleh Bung Karno disebut Trisakti.
Para pemimpin heroik bangsa Indonesia berjuang dengan pola laku, tutur kata maupun produk atau hasil karya yang dipersembahkan untuk bangsa. Tidak sekadar pemikiran besar dan mengatasi enclave-enclave golongan, agama, suku, bahasa, ras, afiliasi politik dan lainnya, tetapi juga pengorbanan tak kenal lelah, tak peduli kepentingan diri bahkan keluarga.
Sejak kemerdekaan Indonesia, satu-satunya ideologi berbangsa dan bernegara ialah Pancasila. Pancasila selain sebagai dasar negara, filsafat hidup bangsa, pandangan dan cita-cita hidup bangsa, serta ideologi negara. Pancasila wajib diletakkan sebagai satu-satunya pegangan kebangsaan.
Ada banyak partai atau golongan atau kelompok kepentingan yang selalu membangun narasi sebagai partai ideologis dimana dasar partai satu-satunya ideologi Pancasila. Namun, ideologi Pancasila tidak nampak dalam diri seperti dalam cara bertutur, bersikap terhadap agama atau suku lain.
Kondisi serupa terjadi dalam pengelolaan partai politik. Perilaku feodal, oligarki, dan hukum besi dipertontonkan. Kondisi ini menjadi bukti pengingkaran terhadap ideologi Pancasila yang dilakukan pemimpin maupun kader partai politik.
Kebohongan adalah anti kebenaran, anti nilai-nilai etis dan moral, dan musuh dari nilai-nilai luhur kemanusiaan. Kebohongan yang dipertontonkan pejabat merupakan manifestasi pilihan sikap yang anti kebenaran secara sadar dan sistemik. Jika kebenaran dilecehkan dan nilai-nilai etis dan moral yang terkandung dalam Pancasila diabaikan, maka para pelaku kebohongan sedang membuat “fondasi utama” bangsa keropos secara masif.
Tak ada pilihan selain upaya politis yang masif agar bangsa ini kembali kepada kebenaran, kembali kepada Pancasila. Terlebih, ideologi Pancasila bukanlah ideologi tertutup. Ideologi Pancasila terbuka nilai-nilai universal atau regional lain untuk memperkaya implementasinya demi mendorong kinerja pemerintahan dan kepentingan masyarakat.(Litbang Kompas/DRA)