Praktik Rasisme Kolonial Memicu Perang Jawa
Kolonialisme merupakan bentuk simbol supremasi kekuatan Barat terhadap wilayah timur yang dianggap terbelakang. Akibatnya, terjadi prasangka buruk terhadap ras dan kekerasan kepada warga pribumi.
Judul buku: Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda 1808-1830
Penulis: Peter Carey dan Farish A. Noor
Penerbit: Kepusataan Populer Gramedia
Tahun terbit: 2022
Jumlah halaman: xiv + 279 halaman
ISBN: 978-602-481-656-8
Sepanjang abad ke-19 hingga ke-20 menjadi masa yang penuh penderitaan dan kekerasan. Saat itu banyak dari negara-negara Barat melakukan kolonialisme di wilayah-wilayah dunia ketiga, utamanya Asia dan Afrika. Mereka berlomba menguasai wilayah tersebut dengan tujuan untuk memberadabkan warga pribumi yang dianggap orang Barat sebagai kaum terbelakang.
Keadaan inilah yang terjadi juga pada Hindia Belanda sejak awal abad ke-19. Pada abad ke-18, orang Barat yang datang ke Nusantara merupakan para pedagang yang diwakili perusahaan dagang Belanda bernama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Mereka datang ke Hindia untuk melakukan perdagangan sehingga hubungan yang terjadi antara orang Barat dan pribumi saat itu adalah pembeli dan penjual.
Namun, sejak VOC bubar pada 1799 dan digantikan oleh pemerintah otoritas Belanda di Batavia keadaan di Hindia berubah. Orang-orang Barat mulai menancapkan kekuasaannya di wilayah-wilayah Nusantara dan membangun pemerintahan kolonialisme. Pandangan orang Barat pun berubah dan menganggap orang pribumi harus diberadabkan karena memiliki kebudayaan yang tertinggal dengan Barat.
Perubahan keadaan inilah yang coba dijelaskan oleh Peter Carey dan Farish A Noor dalam bukunya yang berjudul Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda 1808-1830 (KPG, 2022). Kedua penulis tersebut merunut perubahan sikap orang Barat ketika melakukan penjajahan di Jawa khususnya. Bahkan, dalam salah satu tulisan Peter Carey di dalam buku ini memperlihatkan tindakan rasial orang Barat saat itu juga menjadi faktor terjadinya Perang Jawa yang dipimpin oleh Diponegoro.
Rasisme Ilmiah
Kehadiran orang-orang Barat yang menciptakan pemerintahan kolonial di tanah jajahan pada awal abad ke-19 tidak dapat dipisahkan dari latar belakang peristiwa besar di daratan Eropa. Saat itu teknologi dan ilmu pengetahuan dunia Barat sedang berkembang sehingga terbuka jalan ekspansi imperialisme ke seluruh dunia.
Sejak itu berkembang ”rasisme ilmiah” atau dikenal ”ilmu ras”. Orang Barat menganggap bahwa semua penemuan teknologi dan ilmu pengetahuan di dunia berasal dari Barat. Mereka yang bukan dari Barat merupakan orang yang terbelakang dan tidak memiliki kebudayaan yang luhur.
Pelayaran orang Eropa menuju Asia dan Afrika memunculkan paradoks di mana mereka berambisi untuk mengalahkan dan menyelamatkan bangsa ”liyan” yang bukan orang Barat. Nafsu ini lebih dikedepankan oleh orang Eropa karena mereka menganggap sejak zaman Renaisans hingga akhir abad ke-18, kemanusiaan Eropa satu-satunya bentuk kemanusiaan yang layak diterapkan di dunia.
Praktik di Hindia
Kolonialisme yang rasis juga berkembang di Hindia Belanda bahkan sudah dimulai sejak awal abad ke-19 hingga berakhirnya Hindia Belanda tahun 1942. Namun, publikasi ini hanya membahas sejak 1808-1830 karena praktik kolonial sepanjang tahun tersebut mengubah tatanan di Jawa yang mencapai puncak pada Perang Jawa.
Setelah VOC bangkrut pada akhir abad ke-18, Hindia dikuasai oleh pemerintahan di Belanda. Namun, keadaan Belanda saat bersamaan sesungguhnya sedang dikuasai oleh Perancis pimpinan Napoleon. Louis Napoleon yang merupakan adik Napoleon Bonaparte kemudian mengutus Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Akibatnya, pemerintahan Daendels menjadi representasi dari pemerintahan Belanda-Perancis.
Pemerintahan Daendels di Jawa pada 1808-1811 sudah mulai mengembangkan praktik penjajahan yang rasis. Daendels menganggap dirinya merupakan simbol Napoleon di tanah Jawa sehingga dikenal dengan julukan Si Tangan Besi. Bahkan, ketegasannya dalam memerintah memunculkan julukan Marsekal Guntur atau Mas Galak.
Peter Carey dan Farish A Noor setidaknya mengungkap ada dua praktik yang menonjol terkait dengan perilaku rasisme Daendels di Jawa. Pertama, Daendels meminta kepada semua pegawai pribumi yang bekerja di dalam pemerintahan untuk memakai seragam. Orang-orang Jawa dipaksa mengenakan pakaian formal dan berseragam meskipun tetap dicampurkan dengan budaya Jawa. Tujuannya, untuk membedakan antara orang Jawa yang sudah menerima budaya Barat dan yang belum.
Kedua, pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan yang membuat nama Daendels tersohor. Meskipun jalan tersebut dibangun oleh orang pribumi, mereka yang boleh melewatinya adalah orang-orang Barat atau orang-orang yang statusnya sama dengan orang Eropa. Orang pribumi tidak diperkenankan untuk lewat di jalan tersebut.
Tidak berselang lama, pemerintahan Belanda-Perancis digantikan Inggris setelah kalah dalam pertempuran, terutama di Meester Cornelis tahun 1811. Sejak saat itu pemerintahan kolonial di Jawa dikendalikan oleh Inggris di bawah pimpinan Letnan Gubernur Thomas Stanford Raffles dari tahun 1811-1816. Pemerintahan Raffles menjadi pemerintahan transisi sebelum dikembalikan kepada Kerajaan Belanda setelah Inggris mengalahkan Perancis di Eropa.
Publikasi ini menunjukkan praktik kolonialisme Raffles selama lima tahun di Jawa merupakan pemerintahan yang rasialis. Perilaku-perilaku yang dilakukan oleh Raffles akhirnya menumbuhkan benih-benih kebencian orang Jawa terhadap orang Barat.
Lewat artikel tulisan Peter Carey dalam buku ini yang berjudul Orang Singapura Pertama: Raffles sebagai Manusia dan Mitos memperlihatkan fakta-fakta sejarah yang bertolak belakang mengenai sosok Raffles. Pendapat dari Peter Carey juga senada dengan Tim Hannigan yang menulis buku berjudul Raffles and the British Invansion of Java. Buku ini juga memperlihatkan pemerintahan Raffles selama di Jawa cukup kejam.
Setidaknya ada beberapa hal yang memperlihatkan kekerasan Raffles terhadap orang Jawa. Pertama, Raffles adalah Letnan Gubernur Hindia yang menghancurkan Keraton Yogyakarta. Selain itu, Raffles berani menurunkan Sultan Hamengku Buwana II yang tidak tunduk kepadanya. Raffles memberikan posisi tersebut kepada kerabat sultan yang mendukungnya. Tidak hanya itu, Raffles juga membagi pemerintahan Keraton Yogyakarta menjadi dua dengan diangkatnya kerabat Sultan HB II menjadi penguasa kerajaan baru bernama Kadipaten Paku Alam.
Kedua, Raffles menolak tunduk kepada raja-raja Jawa. Sultan dan kerabatnya diminta untuk tunduk kepada Raffles. Babad Jawa menceritakan bahwa Residen Inggris, John Crawfurd, diperintahkan untuk mencengkeram leher keluarga sultan dan mendorong kepalanya tunduk ke bawah untuk mencium kaki dan lutut Raffles. Perilaku ini menunjukkan Raffles ingin dihormati lebih tinggi dibandingkan dengan raja-raja di Jawa.
Ketiga, Raffles menyetujui pengangkatan seorang kapitan Tionghoa bernama Tan Jin Sing sebagai bupati di Keraton Yogyakarta. Nama Tan Jin Sing kemudian diubah menjadi Raden Tumenggung Secodiningrat. Hal ini mencoreng nama besar Keraton Yogyakarta dan menimbulkan kontroversi bagi Sultan Hamengku Buwana III. Penyebabnya karena sebelumnya tidak pernah ada orang Tionghoa yang masuk dalam pemerintahan Keraton Yogyakarta.
Keempat, Raffles yang menerbitkan buku The History of Java dianggap telah melecehkan orang Jawa,menurut Farish A Noor dalam artikelnya berjudul ”Kalian Telah Dipetakan”. Orang-orang Jawa dianggap oleh Raffles sebagai orang yang ”jatuh” karena kedatangan orang Islam. Apalagi oleh Peter Carey dan Tim Hannigan, Raffles dianggap sebagai plagiat saat menulis buku tersebut.
Perilaku Raffles ternyata dilanjutkan oleh Kerajaan Belanda yang kemudian memupuk kebencian Pangeran Diponegoro sehingga pecah Perang Jawa selama lima tahun. (Libang Kompas)