Rekonstruksi Pasar dan Dunia Kerja di Tangan Generasi Muda
Indonesia diprediksi akan mengalami bonus demografi pada 2028 hingga 2035, Demi menghadapi bonus demograsi, diperlukan alternatif jalan bagi generasi muda dalam merekonstruksi pasar dan dunia kerja untuk ditaklukkan.
Oleh
AGUSTINA RIZKY LUPITASARI
·3 menit baca
UNDEFINED
Halaman muka buku berjudul 'Pasar dan Karier Kembali ke Akar: Rekonstruksi Pasar dan Dunia Kerja di Tangan Generasi Muda'
Judul : Pasar dan Karier Kembali ke Akar: Rekonstruksi Pasar dan Dunia Kerja di Tangan Generasi Muda
Penulis: Dr. Muhammad Faisal
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit: 2022
Jumlah halaman: xxii+290 halaman
ISBN: 978-623-346-650-9
Istilah youth centered society atau masyarakat berorientasi pemuda atau pemudi makin santer digaungkan setelah seorang aktivis lingkungan hidup berusia 17 tahun, Greta Thunberg, terpilih menjadi sosok “Person of the Year” majalah Time. Tren globalisasi pada abad ke-21 menempatkan generasi muda di panggung utama. Bahkan, kultur ini juga tercermin dengan kehadiran staf khusus milenial dalam jajaran kabinet periode kedua Presiden Joko Widodo.
Namun sejatinya, generasi muda perlu mengingat kembali bahwa Indonesia sedari dulu telah berkultur youth centered society. Indonesia adalah bangsa yang menempatkan generasi muda sebagai penentu masa depan bangsa. Terbukti, transisi zaman di Indonesia dari masa Orde Baru hingga reformasi melibatkan generasi muda sebagai pelaku utama. Bahkan, kemerdekaan Indonesia merupakan hasil perjuangan dari para pemuda-pemudi Tanah Air, yang terekam dalam peristiwa Sumpah Pemuda.
Dr. Muhammad Faisal memfokuskan penelitiannya kepada generasi muda sejak 10 tahun yang lalu. Lewat bukunya yang berjudul Pasar dan Karier Kembali Ke Akar: Rekonstruksi Pasar dan Dunia Kerja di Tangan Generasi Muda (Penerbit Buku Kompas, 2022), Dr. Faisal mengelaborasi perbedaan kondisi pasar dan dunia kerja pada zaman dahulu dan sekarang terutama setelah pandemi Covid-19. Penulis mengungkap berbagai kajian sebagai sebuah alternatif jalan bagi generasi muda merekonstruksi kembali pasar dan dunia kerja untuk dapat ditaklukkan.
Menurut penulis, kemajuan peradaban dan modernitas merupakan dua hal yang tidak selalu berjalan secara linear. Generasi muda kerap terjebak pada pemahaman bahwa kemajuan hanya bisa dicapai melalui modernitas. Padahal, modernitas bisa menjadi kendaraan bagi kemajuan peradaban Indonesia apabila generasi muda tetap berpegang teguh pada akar identitasnya. Sudut pandang lokal dalam mengadopsi modernitas harus diutamakan.
Menurut riset etnografis yang dilakukan penulis sejak tahun 2009, stereotip yang melekat pada generasi muda adalah memprioritaskan diri pada tren global, isu-isu viral di media sosial, gerakan perubahan, startup digital, gaya hidup, dan ekonomi kreatif. Namun, hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa masalah terbesar di hati dan benak generasi muda Indonesia adalah kecemasan atau kegelisahan yang dihadapi sehari-hari.
Di tengah kegelisahan tersebut, mindfulness yang merupakan konsep psiko-spiritual lama kembali menjadi relevan. Sejatinya, mindfulness sudah menjadi pandangan hidup dan kearifan yang mendarah daging bagi orang Indonesia sejak era nusantara ribuan tahun silam. Kesadaran penuh terhadap setiap saat yang dijalani dalam konteks mindfulness sudah terdapat dalam konsep "rasa" dalam ajaran Jawa.
Melalui kearifan lokal yang telah mengakar, anak muda dapat merekoneksi kembali diri dengan batin, lingkungan pertemanan, keluarga, bahkan semesta. Praktik kearifan lokal bukan menjadi kemunduran atau kekakuan berpikir generasi muda, Praktik ini menjadi bentuk akselerasi kedewasaan mental yang akan berpengaruh penting dalam kariernya.
Generasi muda yang kembali kepada identitas keindonesiaan akan mewarnai pasar dunia.
ekonstruksi pasar dan karier di tangan generasi muda yang kembali ke akarnya dipercaya akan membawa kebahagiaan yang berkelanjutan.(Litbang Kompas/KIK)