Kitab Babon Sejarah Perang Nusantara
Dari penelusuran Piet Hagen, pembaca diberi tahu bahwa di Indonesia sepanjang 1500-1975 terjadi 500 peperangan yang melibatkan masyarakat Nusantara dengan bangsa-bangsa Eropa (Spanyol, Portugis, Belanda, dan Inggris).

Sampul buku Perang Melawan Penjajah: Dari Hindia Timur sampai NKRI 1500-1975 (Komunitas Bambu, 2022).
Buku ini merupakan ambisi besar penulisnya untuk memetakan sejarah perang yang pernah terjadi di Indonesia. Kurang lebih 5 abad memanjang. Dimulai saat perniagaan samudra mengeksploitasi rempah-rempah hingga konflik di Timor-Timur sehingga cakupan periodesasinya lumayan panjang. Akibatnya, pembahasannya tidak tematis. Ini yang membedakan dengan kajian sejarah perang yang lebih tematis. Seperti kajian Perang Jawa (Java Oorlog) atau yang dikenal dengan Perang Diponegoro (1825-1830) oleh PJF Louw dan ES de Klerck, De Java oorlog van 1825-1830 yang 6 jilid itu atau tulisan Jenderal AH Nasution yang berjilid-jilid, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia hingga 11 jilid , yang membahas peran militer dan dinamika revolusi 1945-1949.
Karya Piet Hagen menjadi penegas bahwa peperangan di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh proses kolonialisme saja. Tak berlebihan jika sejarawan Peter Carey memprovokasi dalam penutup pengantarnya, ”Ini adalah buku yang layak untuk dibaca dan diberikan posisi terhormat di rak buku siapa pun yang serius tertarik dengan sejarah Indonesia” (hlm xxiii).
Dari penelusuran Piet Hagen, pembaca diberi tahu bahwa di Indonesia sepanjang kurun 1500-1975 terjadi 500 peperangan yang melibatkan masyarakat Nusantara dengan bangsa-bangsa Eropa (Spanyol, Portugis, Belanda, dan Inggris), juga di antara bangsa-bangsa kolonial Eropa sendiri. Itu belum peperangan yang melibatkan masyarakat lokal Nusantara. Hikayat perang yang disusun Hagen ini menyebutkan salah satu pendorong meletusnya konflik peperangan adalah dampak kontestasi dan eksploitasi atas perniagaan rempah-rempah.
Buku ini merupakan ambisi besar penulisnya untuk memetakan sejarah perang yang pernah terjadi di Indonesia.
Jalur panjang rempah-rempah dari Asia hingga Eropa dan monopoli pasar rempah-rempah mengakibatkan komoditas ini mahal melebihi emas dan membuka babak baru ruang prestise bangsa, sebagaimana dinukilkan Jack Turner, Sejarah Rempah: Dari Erostisme hingga Imperalisme (2018). Dari perniagaan rempah-rempah ini ada konektivitas perniagaan global, dinamika geopolitik, dan munculnya konsep kolonialisme, imperialisme atas komoditas ini.
Dimulai dari keinginan memutus rantai panjang perniagaan di Konstantinopel, sejumlah bangsa di Eropa memutuskan petualangan sumber produksi rempah-rempah di kawasan Asia. Dengan sokongan negara, beberapa pengusaha setempat, penguasaan atas navigasi dan peta jalur perniagaan ke Asia membuka babakan baru di Asia ihwal kehadiran bangsa-bangsa Eropa dan ruang konflik yang mengakibatkan peperangan.
Klaim atas pembagian wilayah makin menguatkan ruang kontestasi. Salah satunya justifikasi dari pihak Gereja melalui fatwa Paus Alexander VI tahun 1493 membagi dunia di luar Eropa menjadi 2 bagian untuk Spanyol dan lainnya untuk Portugis (hlm 22). Sokongan dari gereja diperlukan sebagai legitimasi spiritual yang oleh Hagen menjumbuhkan imperialisme mesianik berjuang untuk gold, glory,dan gospel. Tak mengherankan jika konflik mengemuka di beberapa wilayah seperti di Malaka (1511, Aceh (1628) dan wilayah timur seperti Timor-Timur, Solor hingga Filipina. Ekspansi Portugis harus dibayar mahal dengan jatuh korban manusia dan finansial. Tak heran misionaris cum sejarawan Portugis pernah berujar, ”Tuhan memberikan Portugis sebuah negara kecil sebagai tempat lahir tetapi seluruh dunia sebagai kuburan” (hlm 53).

Lukisan Sudjojono saat penyerangan Mataram Sultan Agung ke Batavia 1628 dan 1629, (hlm 108-109).
Dari Feitoria, Fortaleza, e Igreja, ke Pax Nederlandica
Persaingan kolonialisme mengemuka ketika bangsa-bangsa Eropa menemu sumber langsung produksi rempah-rempah di Nusantara. Selain Portugis muncul Spanyol, Belanda, dan Inggris. Berbeda dengan Portugis dan Spanyol yang melakukan ekspedisi ke Timur dengan semboyan feitoria, fortaleza, e Igreja. Artinya, imperialisme yang ditegakkan melalui perdagangan pabrik dengan pertahanan menggunakan benteng militer dan restu gereja. Belanda dan Inggris menghindarkan misi gospel dan memilih penguatan perniagaan dengan benteng/loji militer di beberapa pos perniagaan.
Agresivitas pedagang-pedagang Belanda ialah dengan pendirian kongsi dagang Vereenigde Oostindische de Compagnie (VOC) tahun 1602 untuk menghadapi kekuatan Inggris dan Spanyol. Kemenangan atas Portugis dengan penguasaan Benteng Nosa Senhora da Annumcida (1605) di Ambon membuka jalan daulat imperialisme Belanda di Nusantara sebelum mereka memindahkan pusat kekusaan ke Batavia, kota kanal yang dibangun atas usulan Jan Pieterzoon Coen. Butuh beberapa tahun sejak tahun 1596 ketika Cornelis de Houtman tiba pertama kali di Banten. Di timur Indonesia, Belanda menguasai wilayah Buru, Amblau, Manipa, Kelang, Seram, Seram Laut, Nusa Laut, Hinoma (Lease), Boang Besi serta Ambon (hlm 78).
Peperangan atas perdagangan rempah menjadikan komoditas bagi tumbur suburnya perdagangan amunisi, laskar bayaran, serta perniagaan budak-budak.
Penguasaan dan monopoli rempah-rempah menimbulkan konsekuensi perlawanan dus konflik. Ini sejalan dengan dictum yang pernah disampaikan Jan Pieterzoon Coen Gubernur Jenderal VOC pada Dewan Heeren XVII, ”Tidak ada perdagangan tanpa peperangan maupun peperangan tanpa perdagangan”. Peperangan atas perdagangan rempah menjadikan komoditas bagi tumbur suburnya perdagangan amunisi, laskar bayaran, serta perniagaan budak-budak.
Sebagaimana yang terjadi dengan genosida masyarakat Banda. Keputusan VOC untuk menghukum masyarakat Banda telah diputuskan karena mereka dianggap melanggar kontrak atas komoditas rempah-rempah, salah satunya pala dan kembang pala. Di samping itu, masyarakat Banda dianggap pengkhianat karena dianggap berkomunikasi serta bertransaksi dengan bangsa lain selain bangsa Belanda. Perintah telah diambil Jan Pieterszoon Coen. Dengan menggunakan tentara bayaran dari Jepang, 8 Maret 1621, 41 Orang Kaya dipenggal, 200 penduduk dijadikan budak, 789 orang dikirim ke Batavia, 176 penduduk tewas dalam pelarian, 1.200 penduduk ditangkap dan dibawa ke pantau serta ratusan rumah dibakar (hlm 101).
VOC dengan kekuasaan seperti negara dengan diberi hak octrooi telah menancapkan kekuasaan dan kedaulatannya di wilayah Hindia Timur Belanda. Batavia menjadi simbol-simbol eksotisme dan prestise kongsi dagang Belanda. Lengkap dengan sejumlah loji-loji dagang sebagai pos dan sekaligus benteng militer di beberapa wilayah. Namun yang menarik dari masa abad XVIII, intervensi politik VOC terjadi manakala terjadi proses transisi kekuasaan lokal yang meminta bantuan kekuatan militer. Seperti yang terjadi atas kekuasaan Mataram pasca-Amangkurat I (1645-1677).

Lukisan saat kapal-kapal Belanda di Banten 1596 (sumber: Gravure Pieter Serwouter Rijksmuseum) (hlm 63).
Kericuhan politik yang dimulai dari pemberontakan Trunajaya berlanjut pada perlawanan Pakubuwana terhadap VOC yang dibantu pasukan Tionghoa. Koalisi Mataram dengan kelompok Tionghoa dipicu atas pembantaian masyarakat Tionghoa di Batavia tahun 1740 yang mengakibatkan 5.000-10.000 orang Tionghoa tewas dan 600 rumah Tionghoa dibakar (hlm 187). Pembantaian tersebut berdampak meluasnya pemberontakan di wilayah pesisir Jawa. Guna memadamkan perang suci Pakubawana, VOC meminta bantuan Cakraningrat IV, penguasa Madura Barat dengan persyaratan Madura Barat tak tunduk lagi pada Kartasura (Mataram) dan mendapat perlindungan langsung dari VOC. Instabilitas berlangsung dengan meletusnya Perang Suksesi Jawa sebelum nanti terjadinya Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830).
Kebangkrutan VOC tahun 1799 disebabkan banyak faktor, seperti persaingan internasional, kepemimpinan yang buruk, biaya dan utang yang terlalu tinggi, penyelundupan meningkat, biaya militer untuk penaklukan guna menguasai perdagangan (hlm 218). Menjelang akhir abad XIX kontestasi antarkekuatan bangsa-bangsa Eropa makin meningkat. Penemuan komoditas barang tambang seperti timah, emas, dan minyak bumi, menjadikan frekuensi ruang kontestasi tidak hanya di Asia, tetapi merambah ke Afrika.
Baca juga: Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Akhir Imperium Hindia Belanda
Penemuan barang mineral/tambang di luar Pulau Jawa menjadi pertimbangan bagi Belanda pada kredo politiknya ounthouding (menjaga jarak), di mana Pemerintah Belanda tidak berkeinginan untuk memperluas otoritasnya di luar Pulau Jawa dan kawasan-kawasan yang sebenarnya telah dikuasai sebelumnya (hlm 257). Tahun 1814 kolonial Belanda menggantikan kekuasaan kongsi dagang VOC.
Memasuki abad XIX, beberapa konflik menyeruak di beberapa wilayah, seperti Maluku (1817), Palembang (1821), Aceh (1873), ekspedisi Bali dan Lombok (1840-1908) hingga Perang Jawa/Perang Dipanegara (1825-1830). Tentang Perang Jawa dalam buku membutuhkan halaman yang cukup banyak untuk menerangkan peperangan yang menguras tenaga, waktu, dan keuangan luar biasa. Catatan Hagen menjelaskan ada 8.000 serdadu Eropa tewas dan 7.000 tentara bayaran dari suku bangsa Indonesia serta 200.000 orang Jawa terbunuh (hlm 321). Kas keuangan jebol hingga 20 juta gulden.
Penguasaan Bali dan Lombok (1904) serta Aceh (1914) menggenapi upaya Pemerintah Belanda dalam mewujudkan konsep Pax Nederlandica yang dicetuskan Gubernur Jenderal Johannes Benedictus van Heutsz awal abad XX. Pax Nederlandica menyatukan wilayah-wilayah Hindia Timur. Pax Nederlandica tidak hanya upaya menjaga stabilitas, tetapi juga penyatuan geopolitik dan administrasi politik kewilayahan.
Untuk menunjang stabilitas dan mengendalikan ruang perlawanan sejak berakhirnya Perang Jawa, pemerintah kolonial melakukan penataan lembaga militer/tentara.
Untuk menunjang stabilitas dan mengendalikan ruang perlawanan sejak berakhirnya Perang Jawa, pemerintah kolonial melakukan penataan lembaga militer/tentara. Pengalaman Perang Jawa dan peperangan sebelumnya menjadi penyebab reformasi kelembagaan tentara. Yang menarik tantara Hindia Timur adalah tantara multikultural dari berbagai etnik/suku bangsa seperti Jerman, Swiss, Perancis, Austria, Afrika, Norwegia, Denmark, Italia, dan Rusia serta suku bangsa di Indonesia seperti Ambon, Manado, Sunda, Melayu, Bugis, Madura, dan Jawa.
Tahun 1937 terdapat 12.700 orang dari Jawa, 1.800 orang berasal dari Sunda, 5.100 orang dari Manado, 4.000 orang dari Ambon, 1.100 orang dari Timor, serta 400 orang lainnya dari sejumlah daerah lainnya di Indonesia (hlm 282). Kesatuan itu membentuk Koniklijke Nederlandsche Indische Leger (KNIL). Regulasi Kerajaan Belanda tidak memperkenankan wajib militer Belanda ditempatkan di daerah jajahan. Namun, regulasi berubah saat Belanda datang kembali ke Indonesia dengan membonceng Sekutu September 1945 hingga tahun 1949.

Potret tahanan Indonesia pada Agresi Militer I 1947 (sumber National Archief/Dienst Legercontacten) (hlm 771).
Kontribusi bagi sejarah Indonesia
Meski tidak spesifik dan tematik membahas peristiwa sejarah, khususnya peperangan, Piet Hagen merajut berbagai mozaik konflik peperangan sebagai reaksi atas kolonialisme/imperialisme dalam sajian yang kronologis dan enak untuk dipahami. Sumber penulisan selain publikasi buku dan literasi tertulis lainnya. Hagen mengandalkan monograf sejarah militer seperti Indisch Militair Tijdschrift yang terbit kurun waktu 1870 hingga 1940. Apa yang ditulis Piet Hagen merupakan kerja ambisius untuk meneroka serpihan-serpihan perang dalam sebuah album yang saling berkait. Kita juga mengapresiasi minat Hagen yang mulanya seorang jurnalis (reporter Trouw, kolumnis NRC Handelsblad) dan mencintai sejarah, sehingga menghasilkan karya ini.
Pada publikasi saat berkobarnya revolusi 1945, Hagen menyelipkan subbab soal Masa Bersiap (hlm 681-686). Pengertian masa Bersiap menurut Hagen mengacu pada slogan yang sering diucapkan dan didengar, ”Bersiaplah!” Peristiwa mengakibatkan jatuhnya nyawa puluhan ribu orang Indo Eropa, Belanda, Tionghoa, dan orang Indonesia yang dicurigai. Dan peristiwanya berlangsung selama 6 bulan (September 1945 hingga pertengahan 1946). Konflik 1945 berujung hingga proses dekolonisasi.
Apa yang ditulis Piet Hagen merupakan kerja ambisius untuk meneroka serpihan-serpihan perang dalam sebuah album yang saling berkait.
Buku Hagen ini ditutup dengan narasi penyerangan Timor-Timur 1975 setelah Frente Revolucionaria de Timor Leste Independence (Fretilin) mendeklarisasikan kemerdekaan Timor Timur 28 November 1975. Referendum Timor Timur menuntaskan konsep geopolitik yang dulu dibangun atas konsep Pax Nederlandica, tetapi minus Papua Nuigini, Timor Timur, dan Kalimantan Utara (Sabah dan Serawak).
Melalui buku tebal ini, Piet Hagen menjelaskan apa yang menjadikan penyebab peperangan memiliki banyak motif seperti pasifikasi, keagamaan, misi peradaban, permintaan kekuatan lokal untuk menghancurkan pesaingnya, hingga dampak ultranasionalistik. Sehingga terlibatnya bangsa-bangsa di Eropa bukan merupakan penyebab tunggal.
Wijanarto, Bekerja di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Brebes Jawa Tengah

Sampul buku Perang Melawan Penjajah: Dari Hindia Timur sampai NKRI 1500-1975 (Komunitas Bambu, 2022).
Judul buku: Perang Melawan Penjajah: Dari Hindia Timur sampai NKRI
1500-1975
Penulis: Piet Hagen
Penerjemah: Fajar Muhammad Nugraha
Pengantar: Peter Carey
Penerbit: Komunitas Bambu, Depok
Tahun Terbit: Cetakan I, 2022
Tebal Buku: xxxv + 978 halaman
ISBN: 978-623-7357-27-8