Ekspedisi jalur rempah tidak hanya menyusuri jalur perdangangan rempah nusantara sejak masa lampau, namun juga potensi wisata sejarah yang dimiliki.
Oleh
Susanti Agustina S
·3 menit baca
Jalur rempah nusantara menjadi salah satu tema dari ekspedisi Harian Kompas pada tahun 2017. Liputan ekspedisi rempah dibukukan dalam 122 halaman dengan judul ‘Jalur Rempah Nusantara: Kisah Aroma Nusantara Pemikat Dunia’ oleh Penerbit Buku Kompas tahun 2021.
Kementrian Pendidikan dan Kebudaaan juga telah mengusulkan Jalur Rempah di Indonesia sebagai warisan budaya tak benda ke UNESCO pada November 2020. Jalur rempah Indonesia diharapkan masuk dalam daftar sementara.
Perdagangan rempah di Indonesia telah berlangsung berabad lampau di Jawa, Sumatera, Maluku, Sulawesi, dan lainnya. Bahkan, rempah Maluku seperti cengkeh dan pala menjadi barang terpanas dari perdagangan global, dimana VOC mendirikan monopoli pada tahun 1650.
Potensi rempah Indonesia hingga kini masih sangat tinggi. Bahkan, sejak pandemi covid-19 hadir, permintaan rempah dari Indonesia meningkat. Artinya, produk rempah Indonesia masih prospektif di pasar dunia. Sayangnya, pengembangan ekosistem rempah belum seperti yang diharapkan. Kondisi serupa terjadi juga pada produk turunannya.
Di sisi lain, upaya meningkatkan nilai ekonomi rempah sesungguhnya terus dilakukan di tingkat petani. Seperti cengkeh tidak sekedar dimanfaatkan bunganya, namun juga daunnya. Daun dan tangkai cengkeh dapat diolah menjadi minyak atsiri untuk bahan obat-obatan.
Hal serupa terjadi pada pala. Pala bukan hanya dimanfaatkan bijinya, namun juga bagian daging buah, kulit batang serta fuli.. Biji pala selain untuk bumbu masakan diyakini sangat baik untuk mengobati gangguan pencernaan, muntah-muntah, dan lain-lain. Sedangkan, batang pohon pala biasa dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Kulit batang dan daun tanamannya menghasilkan minyak atsiri. Selain itu, ada fuli atau benda yang menyelimuti buah pala berbentuk seperti anyaman, dan biasa disebut bunga pala. Buah pala dapat meringankan semua rasa sakit dan nyeri akibat tubuh kedinginan serta lambung dan usus “masuk angin”. Daging buah pala diolah menjadi makanan ringan, misalnya asinan, manisan, atau selai pala.
Wisata sejarah jalur rempah juga bergeliat. Wisata tur rempah berkembang di berbagai lokasi yang menjadi pusat produksi rempah. Sebut saja wisata sejarah rempah di Banda Neira yang mampu menarik wisatawan baik lokal maupun mancanegara sejak 2012. Wilayah yang menyimpan sejuta keindahan dan kekayaan alam ini telah menjadi pusat perdagangan rempah pada pertengahan abad ke-19. Pala dan fuli merupakan rempah-rempah yang menjadi harta karun di wilayah tersebut.
Pulau Ternate dan Tidore juga memiliki banyak lahan cengkeh serta berbagai tempat yang menjadi jejak dominasi bangsa Eropa atas rempah di Maluku. Jejak jalur rempah di wilayah Tidore seperti Benteng Tahoela, Masjid Sultan Tidore, Benteng Tsjobbe, hingga Dermaga Sultan Tidore bahkan ditetapkan sebagai cagar budaya.Sementara, salah satu warisan dari jalur rempah di Ternate adalah Kedaton Ternate, Benteng Oranje, Benteng Kota Janji, Benteng Kastela, Benteng Kalamata, dan Benteng Tolukko.
Lewat festival budaya dan pariwisata, rempah diselipkan sebagai ‘komoditas’ pemikat wisata, sebuah langkah alternatif untuk menggairahkan ekonomi warga di wilayah yang dahulu dikenal sebagai penghasil rempah. (Litbang Kompas)