Gunawan Wiradi, Nasionalis dan Patriot dari Solo
Buku ini adalah bahan pembelajaran dari sejarah pribadi yang terhubung pada dinamika bangsanya. Wiradi secara khusus berpesan kepada anak-anak muda agar ”Jali Merah” atau jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Saya sempat heran mengapa Gunawan Wiradi tidak menulis sendiri otobiografinya. Padahal, ketika ia berusia 13 tahun, ia telah mampu menuntaskan esainya yang diberi judul ”Tanjung Harapan”. Di situ Wiradi menuangkan angan-angan, apakah ia mampu mencapai ujung harapannya, ia membayangkan sebuah tanjung tempat berlabuhnya harapan itu. Harapan semua anak bangsa kala itu, Indonesia Merdeka.
Semula saya mengharap biografi Gunawan Wiradi, berjudul GWR Jali Merah (selanjutnya GWR-JM), menggambarkan capaian akademis, tentang teori dan praktik reforma agraria di Indonesia dan berharap ia tulis sendiri sebagai otobiografi. Seperti Bung Hatta menulis memoarnya, yang diterbitkan satu tahun menjelang wafat. Otobiografi tentu dapat lebih merupakan dokumen akademis untuk dirujuk dan dikutip sebagai kuotasi otentik, bukan interpretasi.
Namun kiranya, biografi ini dipenuhi uraian peristiwa batin; memuat watak dan karakter seorang pribadi yang selalu awas dengan kondisi bangsanya. Mungkin dalam maksud itulah Surya Saluang memilih gaya seperti terurai dalam buku ini. Saya sampaikan salut kepada Surya Saluang, yang masih muda sudah menuliskan biografi tokoh kita Gunawan Wiradi.
Otobiografi tentu dapat lebih merupakan dokumen akademis untuk dirujuk dan dikutip sebagai kuotasi otentik, bukan interpretasi.
Bahasa dalam GWR-JM rapi, mengalir dengan tertib, mengangkat dan memaknai nilai-nilai budaya, peradaban, filsafat, dan testamental. Gunawan Wiradi beruntung telah memilih Surya Saluang menuliskan dan mengeditori biografinya.
Menarik membaca Bab pertama ”Hayo Menangis!”. Dokter yang datang terlambat. Plasenta sudah terpecah, sementara puser si bayi masih menyambung ke rahim Ibunya. Dengan tergopoh-gopoh, dokter segera menangani, mengangkat kedua kaki bayi hingga badan bergelantungan dalam genggaman erat tangan kirinya. Kepala bayi terjuntai ke bawah. Tangan kanan dokter memukuli tubuh bayi, bayi itu belum juga mau menangis. Dengan cemas dokter memukuli lagi lebih keras sambil berkata-kata, ”Hayo menangis, hayo menangis!” Akhirnya sang bayi menangis. Orang Jawa percaya akan tanda-tanda istimewa seperti itu, yang artinya kelak akan menjadi sosok manusia yang tahan hidup. Bayi itu diberi nama Wiradi, kemudian ditambah menjadi Gunawan Wiradi.
Sepuluh tahun saya tinggal di Solo, Jawa Tengah, dari 1948 sampai 1958, cukup lama untuk merasa sebagai ”orang Solo”. Tentu pada Bab ”Revolusi Remaja” sangat menarik bagi saya. Saya harap ini bisa menarik pula bagi para remaja milenial masa kini.
Gunawan Wiradi memulai bab ini dengan mengutip seruan Bung Karno, ”Kalau kerja belum selesai untuk memupus sehabis-habisnya sisa-sisa feodalisme, kolonialisme, dan imperialisme sampai ke akar-akarnya”. Saya jadi ingat apa yang ditulis Prof Widjojo Nitisastro, yang pada 1 Agustus 1965 memberi kata pengantar untuk makalahnya Emil Salim, ”Sistem Ekonomi dan Ekonomi Indonesia”.
Prof Widjojo juga menyerukan suara Bung Karno itu; ”… untuk mengedjar Masjarakat Sosialisme berdasar Pantjasila, maka Amanat Politik menegaskan kepada Indonesia agar pembangunan ini dilantjarkan setjara berentjana. Ini berarti praktek-praktek liberal dalam pembangunan harus kita kikis habis samasekali”.
Di bab ini Wiradi yang sudah kelas 1 SMP bergabung dengan IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Anak-anak remaja pada revolusi fisik ini melibatkan diri semakin jauh dalam perjuangan. Pemuda-pemudi melucuti tentara Jepang sambil mengambil alih persenjataan. Ada Barisan Banteng, Barisan Hizbullah, Pesindo, Pemuda Sosialis, Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), Laskar Rakyat, dan ada pula Laswi alias Laskar Wanita Indonesia.
Anak-anak remaja pada revolusi fisik ini melibatkan diri semakin jauh dalam perjuangan.
Sempat dikatakan oleh Wiradi bahwa setelah Indonesia merdeka, seorang Pangeran dari Kasunanan Surakarta bernama Purbonegoro, lulusan sekolah militer Breda Belanda, diangkat menjadi Menteri Pertahanan pertama (hlm 60). Ini tentu merupakan suatu kekeliruan karena Menteri Pertahanan pertama Republik Indonesia tercatat bernama Soeprijadi, seorang Shodancho PETA dalam pemberontakan PETA di Blitar 1945 (tetapi karena Soeprijadi tidak pernah muncul) digantikan oleh Suliyoadikusumo.
Wiradi menggambarkan perlawanan tentara Pelajar Brigade 17 Detasemen I TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar-Jawa Timur), kemudian Detasemen II Solo-Jogja, dan Detasemen III Purwokerto TP (Tentara Pelajar). Semua mereka masih remaja, sudah angkat senjata terorganisir. Sementara Panglima Brigade Panembahan Senopati dalam TRI dipegang oleh Letkol Slamet Riyadi yang baru berusia 22 tahun.
Perlawanan dan pertempuran patriotik anak-anak TP Solo dan keganasan ”Belanda Hitam”, ”Baret Hijau Belanda” yang menyembelihi penduduk Pasar Kembang di Jalan Honggowongso dan tempat lain, serta ”Pasukan Gajah Merah” yang sangat terlatih, digambarkan dengan baik di buku GWR-JM (hlm 60-82).
Namun, ada satu hal penting yang belum sempat ditulis di dalam GWR-JM adalah mengenai dibakarnya oleh anak-anak TP Solo Toko Eng Boo di pojok selatan Singosaren dan toko Drie Hoek di pojok tenggara Pasar Legi karena kedua toko itu menolak menerima uang rupiah dan hanya mau menerima uang gulden Belanda.
Sebelum anak-anak TP membakar dua toko itu pada malam hari, mereka mampir dulu ke rumah kami, minta restu kepada ibu saya. Kebetulan ibu saya tinggal di bekas asrama anak-anak TP di Gumuk, Mangkubumen. Saya bisa cerita lebih banyak mengenai bagaimana ibu saya memberi dukungan moril dan bantuan ketupat dari beras dicampur ketan bagi mereka yang mau menyerang Belanda pada malam hari. Gaya penulisan GWR-JM yang mengurai ingatan peristiwa ini, membuat saya tak kuat menahan diri mengenang masa lalu saya sendiri.
Pada Bab ”Masa Normal”, Wiradi baru bisa teratur belajar, membaca buku, menonton film-film ilmiah, dan juga banyak menulis dan terlibat dalam anggota YOAN (Youth of All Nations), organisasi pemuda sedunia. Dalam pertemanannya, Wiradi berhasil mendapatkan lima sahabat pena dari Jerman, Wolfgang Scheerbaum; dari Australia, GR Silman; dari Israel, Noni Steininger; dan dari Jepang dan Selandia Baru.
Pada tahun 1980-an, Wiradi coba menghubungi kantor YOAN di Washington dan memperoleh alamat teman-teman lamanya. Wiradi dikenal suka belajar banyak hal, bahasa, budaya, dan memelihara persahabatan lintas budaya.
Gaya penulisan GWR-JM yang mengurai ingatan peristiwa ini membuat saya tak kuat menahan diri mengenang masa lalu saya sendiri.
Bakat Wiradi dalam pemikiran terus menjadi senjata ampuh setelah Indonesia merdeka, ketika ia terus berjuang untuk nasib golongan lemah, terlebih para petani gurem. Ia berkiprah melalui penelitian-penelitian bersama lembaga Survey-Agro Ekonomi besutan Bapak Sosiologi Perdesaan Indonesia, Sajogyo. Dari situ, Wiradi menyebarkan kembali ingatan kebangsaan, terlebih kepada generasi muda mengenai cita-cita proklamasi yang lama dikubur oleh Orde Baru, yakni Reforma Agraria Sejati, demi keadilan penguasaan tanah dan sumber daya (hlm 227-314).
Dalam perjuangan sejak muda (bersenjata) sampai kini (dengan data dan pena), berbagai risiko dan konsekuensi ia hadapi. Gunawan Wiradi tahan uji menghadapi hidup; dalam waktu yang panjang menghadapi tim screening berkali-kali untuk rehabilitasi dirinya dari peristiwa 1965, hanya lantaran dia anggota CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia). Pemeriksaan oleh berbagai tim screening terus berlangsung sampai tahun 1980-an.
Gagal bertahun-tahun mencari rehabilitasi dirinya di IPB, Unsoed, dan berbagai jalur resmi lainnya, sampai kini status Wiradi tak pernah jelas. Peristiwa 1965 sudah mengubah jalan hidup dirinya dan banyak orang tanpa sebab yang jelas.
Kegagalan dalam hidup bercinta pun ia alami. Saya perkirakan hal ini merupakan penderitaan bagi Wiradi.
Peristiwa 1965 sudah mengubah jalan hidup dirinya dan banyak orang tanpa sebab yang jelas.
Seorang yang pernah ia cintai putus karena cekcok kecil. Gadis ini tidak mau menikah dengan orang lain kemudian ia meninggal. Namun, kita tidak sungguh paham apakah itu betul-betul merupakan penderitaan baginya, dia memutuskan seumur hidupnya sendirian membujang, tidak punya istri. Namun, ”dinamo” roda asmara tetap saja berputar (hlm 367-370). Hidup yang hidup!
Daripada semata retorika capaian ilmiah yang serius, biografi ini menuturkan peristiwa-peristiwa berkarakter dan akal budi yang patut direnungkan. Gunawan Wiradi patut digelari sebagai seorang nasionalis-patriotik, dari dulu hingga sekarang. Sejak perjuangan bersenjata sampai perjuangan dengan data dan pena.
Pada akhirnya, buku ini adalah bahan pembelajaran dari sejarah pribadi yang terhubung pada dinamika bangsanya. Di bagian akhir biografi itu, Mas Wiradi secara khusus menitipkan pesan kepada anak-anak muda agar ”Jali Merah” atau jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (bukan Jas Merah, atau jangan sekali-kali melupakan sejarah). Jangan sekali-kali meninggalkan cita-cita proklamasi untuk keadilan agraria, yang menjadi jaminan terkikis habisnya segala neokolonialisme dan neoimperialisme sampai ke akar-akarnya.
Pada akhirnya, buku ini adalah bahan pembelajaran dari sejarah pribadi yang terhubung pada dinamika bangsanya.
*Penulis adalah Ketua Majelis Luhur Yayasan Taman Siswa, Yogyakarta