Implementasikan Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan dengan Kerja Sama Umat Beragama
Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan ditandatangani oleh pihak Vatikan dan Al-Azhar pada 2019. Hingga kini, prinsip kemanusiaan dalam dokumen tersebut terus dibumikan, termasuk oleh umat beragama dan penghayat kepercayaan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan yang ditandatangani di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, pada tahun 2019 bukan sekadar ajakan untuk hidup berdampingan dengan damai. Pemuka agama dan penganut kepercayaan di Indonesia memandang dokumen ini sebagai panggilan kerja sama untuk mengatasi masalah kemanusiaan.
Hal ini mengemuka pada Seminar Nasional Dokumen Abu Dhabi di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, Rabu (25/1/2023). Seminar ini dihadiri tokoh Islam, Kristen Protestan, Hindu, Katolik, Buddha, Khonghucu, serta penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Hadir pula perwakilan Kementerian Agama.
Deklarasi Persaudaraan Kemanusiaan (kemudian disebut Dokumen Abu Dhabi) ditandatangani Pemimpin Gereja Katolik Roma Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb. Ini disebut dokumen bersejarah dalam hubungan Al-Azhar dan Vatikan serta hubungan Islam dan Kristen.
Dokumen tersebut mengajak seluruh umat manusia untuk mengakhiri perang, menolak intoleransi dan kebencian, serta mendukung harmoni. Dokumen juga menyebut agar pemangku kepentingan menerjemahkan prinsip-prinsip pada dokumen menjadi kebijakan hingga program pendidikan.
”Al-Azhar dan gereja Katolik meminta agar deklarasi ini menjadi bahan penelitian dan refleksi di semua sekolah, universitas, dan institut pendidikan. Hal ini untuk membantu mendidik generasi baru agar membawa kebaikan dan kedamaian bagi orang lain,” ucap Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo.
Menurut Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti, kedamaian yang dimaksud Dokumen Abu Dhabi bukan sekadar ketiadaan perang. Kedamaian juga mencakup rasa aman, berikut ketenangan dan kedaulatan sebagai manusia.
Al-Azhar dan gereja Katolik meminta agar deklarasi ini menjadi bahan penelitian dan refleksi di semua sekolah, universitas, dan institut pendidikan. Hal ini untuk membantu mendidik generasi baru agar membawa kebaikan dan kedamaian bagi orang lain.
Ia juga menekankan bahwa manusia terlahir merdeka dan bebas. Itu sebabnya, memperbudak, menjajah, atau memperdagangkan sesama manusia dilarang. Namun, kenyataannya, kejahatan tersebut masih ada. Dibutuhkan kerja sama semua pihak, termasuk umat beragama dan penghayat kepercayaan, untuk menangani itu.
Menindaklanjuti Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan, para pemuka agama dan kepercayaan menandatangani Deklarasi Atma Jaya dan akan diserahkan ke Kementerian Agama. Deklarasi ini berisi lima poin, antara lain komitmen mengutamakan pendekatan damai tanpa kekerasan saat menyelesaikan konflik.
Isu kemanusiaan
Jika ditelaah lebih jauh, Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan mendorong publik untuk peduli pada isu-isu kemanusiaan, seperti disparitas kesejahteraan dan kedaulatan pangan. ”Masih banyak yang menderita kelaparan, tapi sebagian orang lain membuang makanan karena berlebihan,” kata Abdul.
Ketua Umum Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) Philip K Wijaya berpendapat, dokumen itu bisa diimplementasikan melalui kepedulian. Kepedulian diperlukan untuk memahami perasaan dan penderitaan orang lain. Dengan demikian, publik dapat mengulurkan tangan kepada pihak yang butuh bantuan.
Kepedulian terhadap kelaparan, misalnya, mendorong publik lebih awas pada sampah makanan. Menurut analisis Kompas, setiap orang Indonesia rata-rata membuang makanan setara Rp 2,1 juta per tahun. Nilai sampah makanan di Indonesia mencapai Rp 330 triliun per tahun.
Adapun jumlah makanan terbuang di Indonesia sebanyak 48 juta per tahun. Jika tidak terbuang, ada 61 juta orang yang dapat diberi makanan layak. ”Kepedulian kita soal lingkungan bisa juga menyangkut sampah makanan. Isi piring agar dihabiskan dan masaklah secukupnya supaya tidak ada makanan terbuang,” kata Philip.
Menurut anggota Komite Majelis Hukama, M Zainul Majdi, Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan tak hanya bicara soal toleransi. Terlepas dari identitasnya, semua umat manusia didorong aktif bekerja sama menangani isu kemanusiaan. ”Kelompok yang belum mendapat hak asasinya masih banyak. Masalah kemanusiaan, seperti kemiskinan, ada. Begitu pula masalah kaum anak dan perempuan. Pengungsi saat ini ada jutaan. Pertanyaannya, apa yang bisa kita lakukan?” kata Zainul.
Sebelum ada Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan, Indonesia sudah punya semangat gotong royong yang menjadi modal menangani isu kemanusiaan. Gotong royong selama ini terbukti mampu membantu pihak yang butuh bantuan, seperti saat bencana dan pandemi Covid-19.