Bus Listrik Merah Putih, Karya Anak Bangsa untuk KTT G20
PT Industri Kereta Api (INKA) bersama konsorsium Perguruan Tinggi Negeri membangun bus listrik Merah Putih yang akan digunakan untuk KTT G20. Tim Jelajah Energi dan Vakansi berkesempatan mengintip proses produksinya.
Oleh
MELATI MEWANGI, DEFRI WERDIONO
·6 menit baca
Ada sebuah ”mantra” yang dirapalkan saat memulai pembuatan bus listrik Merah Putih. Kira-kira begini bunyinya, ”Sudah saatnya Indonesia menjadi produsen, bukan hanya pengguna.” Sebagian orang mungkin agak gelisah saat mendengarnya, tetapi bukankah sebuah karya hebat lahir dari kegelisahan yang digarap serius?
Bus listrik Merah Putih adalah generasi kedua yang dikembangkan oleh PT Industri Kereta Api (INKA). Kali ini, pengerjaannya dilakukan bersama sejumlah perguruan tinggi, yakni Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Universitas Airlangga (Unair), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Diponegoro.
Bus berkapasitas 19 orang penumpang + 1 sopir ini bakal digunakan untuk Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, November 2022. Pengiriman bus dilakukan secara bertahap. Hingga 26 Oktober 2022, INKA telah mengirim 11 bus dari total 30 bus. Sisanya akan disusulkan pada awal bulan November 2022.
Suasana kesibukan mengejar target penyelesaian terlihat di Gedung L, kompleks PT INKA, Madiun, Jawa Timur, Kamis (8/9/2022). Tangan para pekerja begitu cekatan memasang beragam komponen ke badan bus.
Sekilas, dari luar, penampakan fisik bus berukuran panjang delapan meter itu tak berbeda dengan bus lain yang menggunakan bahan bakar minyak. Setelah dicermati lebih detail pada piranti sumber energi yang digunakan, bus berbobot sekitar 8 ton itu tak memiliki sistem bahan bakar, serta kepala dan blok silinder berukuran besar yang biasa menjadi ”jantung” seperti bus pada umumnya.
Semua itu diganti dengan ribuan baterai dan motor. Alhasil, panel seperti indikator BBM pada dashboard pun berubah menjadi indikator isi baterai lengkap dengan temperatur dan jarak tempuh.
Lubang pengisian bahan bakar juga digantikan soket pengisian baterai. Tidak ada kepulan asap pembakaran yang biasanya menghasilkan gas buang. Begitu pun tak lagi terdengar suara deru mesin, bus listrik melaju senyap.
Dengan baterai berkapasitas 150 kilowatt per jam (Kwh) kendaraan ini mampu menempuh jarak 160 kilometer. Untuk mengisi baterai sampai penuh dibutuhkan waktu 2,5 jam. ”Bus ini kemarin sudah kami uji coba menaiki tanjakan ke Sarangan (Magetan) dan berhasil,” ujar Direktur Operasi PT INKA I Gede Agus Prayatna.
Berdasarkan perhitungan PT INKA, tingkat komponen dalam negeri (TKDN) bus Merah Putih mencapai di atas 65 persen. Hal tersebut dipengaruhi oleh komponen yang digunakan. Project Manager PT INKA Edi Winarno menyebutkan, komponen baterai yang digunakan seluruhnya berasal dari dalam negeri, yakni merek ABC. Bagian badan bus dan motor penggerak juga diproduksi dalam negeri. Sementara beberapa komponen dibeli dari luar negeri karena belum ada produsennya di Indonesia.
Dari sisi produksi, bus Merah Putih berbeda dengan bus konvensional. Jika bus konvensional menggunakan rolling chassis, bus Merah Putih tidak menggunakannya dengan alasan untuk menyesuaikan berat maksimal 8 ton.
Pada tahap awal, setidaknya dibutuhkan waktu tiga hari untuk menyelesaikan satu unit bus. Artinya, dalam sebulan bisa memproduksi sekitar 10 unit bus. Tidak tertutup kemungkinan satu unit bus bisa selesai dalam waktu satu hari ketika semua komponen sudah tersedia.
”Dalam pembuatan bus listrik ini kami menerapkan metode yang sama dengan pembuatan kereta api. Komponen body kami bangun terlebih dahulu. Bagian atas kami selesaikan sambil menunggu komponen impor tiba,” ucap Edi.
Cara tersebut memang tidak lazim di dunia otomotif. Biasanya, rolling chassis sudah ada lebih dulu di karoseri, baru setelah itu membangun bagian atas. Sebaliknya, pengerjaan bus Merah Putih mirip dengan pembuatan kereta.
Kembali pada mantra sakti pada paragraf pembuka, ada Muhammad Nur Yuniarto, dosen Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri dan Rekayasa Sistem Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) yang berulang kali mengingatkan kalimat itu kepada para mahasiswa dan alumni perguruan tinggi.
Menurut dia, Indonesia harus menyiapkan diri menjadi produsen otomotif, bukan hanya sebagai konsumen. Tidak masalah jika biaya yang dikeluarkan untuk riset dan produksi sendiri jauh lebih besar dibandingkan harus impor komponen siap pakai.
”Pada pembuatan kendaraan listrik, komponen baterai dan motor hampir mengambil 50 persen dari bobot TKDN. Meski INKA sebenarnya punya banyak pilihan, misalnya impor komponen maupun riset sendiri. Namun, karena waktu mepet dan biaya besar, kerja sama dengan perguruan tinggi jadi keniscayaan,” ucap Nur.
Dalam prosesnya, pembuatan bus listrik Merah Putih tak lepas dari perguruan tinggi dan para alumni ITS, yang dijumpai di perusahaan rintisan daerah Keputih, Surabaya, Jawa Timur. Mereka adalah para eks peneliti dan pengembang sepeda motor listrik Gesits, yang pernah membuat prototipe hingga pengujian sepanjang 1.000 km dari Jakarta ke Bali.
Ada empat start-up atau rintisan yang bernaung di lokasi itu, yakni Braja Elektrik Motor yang memproduksi motor elektrik, Ultima Desain Otomotif yang menangani baterai, Solusi Produk Indonesia (SPIN) yang bergerak di bidang pemasaran kendaraan listrik, dan Wiksa Daya Pratama yang membuat swap station.
Dari tempat itu, battery pack dirakit untuk bus listrik Merah Putih, termasuk motor listrik dalam pembuatan prototipe bus tersebut. Kolaborasi lainnya adalah pembuatan battery pack, battery management system (BMS), engineering design oleh UGM dan ITS; motor listrik dan controller (UGM, ITS, Unair); sistem integrasi dan data (ITS), desain (ISI Denpasar); dan tata kelola udara lengkap dengan hepa filter (ITS dan Unair).
Ekosistem penelitian kendaraan listrik tidak muncul begitu saja, tetapi dibentuk sedini mungkin. Ditemui di kampus ITS, ada sejumlah mahasiswa yang terjun langsung mengulik kendaraan listrik, antara lain Ghalib Fakhrizul Akmal (21), Moch Bagus Adi Setiawan (22), dan Athaariq Ardhiansyah (22). Mereka begitu semangat untuk menelurkan inovasi baru. Harapannya, semakin banyak orang yang tertarik untuk beralih ke kendaraan listrik.
Ke depan, Nur berharap, semakin banyak kerja sama dalam bidang pengembangan dan riset antara perguruan tinggi dan industri. Jika menggunakan komponen dalam negeri, harga kendaraan listrik bisa ditekan lebih hemat dibandingkan dengan komponen impor.
”Jangan sampai saat kendaraan listrik di Indonesia nantinya berkibar, lagi-lagi yang banyak berperan hanya industri-industri kendaraan besar dari luar negeri sebagaimana yang terjadi selama ini. Anak bangsa musti punya peran lebih nantinya,” kata Nur.
Senada dengan Nur, Direktur Utama PT INKA Budi Noviantoro berharap, sejumlah komponen bisa diproduksi di Indonesia sehingga kian meningkatkan TKDN. Menurut dia, peranan perguruan tinggi dalam bidang penelitian dan inovasi sangat penting sehingga terbentuklah produk yang berkualitas dan tak kalah dengan produk luar.
Sejauh ini, Budi menyebut ada penjajakan dari Pakistan berupa 14.000 unit bus listrik. Selain itu, Duta Besar Meksiko juga menelepon ingin membeli. Pihaknya pun menyanggupi jika proyek BTS di dalam negeri meluas, tak hanya berbatas di dua kota Surabaya dan Bandung.
Seperti Shinkansen yang jadi produk kebanggan untuk dipamerkan di Olimpiade Tokyo 1964, Bus Merah Putih karya anak bangsa ini juga menjadi produk yang akan dipamerkan demi kebanggan bangsa saat KTT G20 di Indonesia. Diharapkan, bus listrik tersebut juga membawa kemanfaatan yang lebih luas usai gelaran internasional itu.