Cikarang Bekasi Laut, Pengendali Banjir yang Jadi Tempat Sampah Terbesar
Saluran Cikarang Bekasi memiliki jejak panjang persoalan pencemaran sejak 1988. Setelah 34 tahun berlalu, persoalan lingkungan di saluran buatan itu kian kompleks.
Saluran Cikarang Bekasi Laut di Bekasi, Jawa Barat, era 1980-an dijuluki sebagai saluran terbesar dan termodern di Indonesia. Saluran itu akhir-akhir ini justru diklaim sebagai tempat pembuangan sampah ilegal terbesar di Nusantara.
Saluran Cikarang Bekasi Laut (CBL) di Bekasi, Jawa Barat, pembangunannya dimulai pada 1977 dan selesai pada 1980. Dari catatan Kompas, saluran seluas 120-200 meter itu disebut sebagai saluran terbesar dan termodern di Indonesia.
CBL membentang dari Kecamatan Cikarang, melewati Tambun, dan berkelok memasuki Kecamatan Babelan, lalu bermuara di laut dekat batas wilayah Bekasi dan Jakarta. Saluran CBL yang dibangun dengan bantuan pembiayaan Bank Dunia tersebut menampung air dari lima sungai, yakni Kali Cikarang, Cisadang, Bantu, Jambe, dan Kali Bekasi (Kompas, 17/4/1978).
Kehadiran saluran CBL bertujuan untuk mengatasi genangan atau banjir di Bekasi. Air dari CBL juga dimanfaatkan untuk irigasi kebutuhan pengairan sawah seluas 51.000 hektar di wilayah Kabupaten Bekasi (Kompas, 8/11/1978).
Wajah saluran CBL kini berubah. Di Desa Sumberjaya, Tambun Selatan, tepi sungai sepanjang kurang lebih 1,3 kilometer dan lebar 20 meter jadi tempat pembuangan sampah.
Dan kami membutuhkan bantuan Anda untuk menuntut infrastruktur pengelolaan sampah yang tepat. Banyak dari mereka (sampah) bocor langsung ke sungai (dan) menjadi kontributor terbesar untuk plastik laut.
Sampah yang ada di tepi saluran tersebut diapit proyek pembangunan Tol Cibitung-Cilincing. Tinggi tumpukan sampah di beberapa titik mencapai belasan meter. Sampah tersebut sebagian menumpuk hingga bibir saluran CBL.
Ketua RT 004 RW 022 Desa Sumberjaya Eli Sanusi mengatakan, sampah di tepi CBL sudah ada sejak 2004. Lokasi itu menampung sampah rumah tangga dari Kecamatan Cibitung, Tambun Utara, Tambun Selatan, hingga sampah warga dari sebagian wilayah Kota Bekasi.
Baca juga: TPS Liar Cikarang Bekasi Laut Ditutup
Tumpukan sampah itu selama belasan tahun dijadikan sebagai mata pencaharian 78 keluarga di wilayah RT 004. Warga sekitar mengais sisa-sisa sampah seperti plastik untuk kemudian dijual.
”Sampah rumah tangga kebanyakan memang tidak bisa dijual lagi, kecuali sampah plastik. Selama ini cukup untuk kebutuhan sehari-hari warga sini,” kata Eli, Selasa (25/1/2022), di Desa Sumberjaya.
Terbesar di Indonesia
Keberadaan sampah di tepi saluran CBL turut jadi sorotan Sungai Watch. Lembaga nonprofit itu dalam unggahannya di Instagram pada 23 Januari 2022 bahkan menyebut bahwa sampah di tempat itu merupakan tempat pembuangan sampah ilegal terbesar di Indonesia. Sungai Watch menyebut ada 100-an tempat sampah ilegal di Bekasi.
”Dan kami membutuhkan bantuan Anda untuk menuntut infrastruktur pengelolaan sampah yang tepat. Banyak dari mereka (sampah) bocor langsung ke sungai (dan) menjadi kontributor terbesar untuk plastik laut,” tulis Sungai Watch.
Setelah unggahan Sungai Watch viral di media sosial, Pemerintah Kabupaten Bekasi bergegas menutup tempat sampah liar tersebut. Pelaksana Tugas Bupati Bekasi Akhmad Marjuki, Selasa (26/1/2022) sore, memimpin penutupan tempat sampah liar tersebut. Kehadiran pimpinan daerah itu didampingi pejabat dari Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
”Ini tidak boleh dibuka lagi, memang sudah harus ditutup dan dibereskan. Sambil kami mencari titik pengganti,” kata Marjuki.
Sampah yang sudah menumpuk 16 tahun di tepi Kali CBL selanjutnya akan diangkut atau ditutup dengan tanah urukan. Lokasi itu bakal dijadikan sebagai zona hijau.
Baca juga: Wajah Kali Cikarang Bekasi Laut, Dulu hingga Kini
Jejak pencemaran CBL
Pencemaran di CBL sebenarnya bukan masalah baru. Pencemaran kanal CBL pernah terjadi pada 1988. Hasil penelitian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Selulosa Bandung menyebutkan air kanal CBL tercemar limbah (Kompas, 11/4/1990).
Limbah CBL kembali menjadi petaka bagi petani di wilayah pantai utara Kabupaten Bekasi pada awal Januari 1991. Ratusan hektar sawah dan empang petani tercemar limbah pabrik salah satu perusahaan kertas.
Pencemaran itu terjadi lantaran pipa penyalur limbah bergaris tengah 1,6 meter pecah di wilayah Telukbuyung, Kota Bekasi. Limbah dari pipa tersebut mengalir masuk ke Kali Bekasi yang bermuara di kanal Cikarang Bekasi Laut.
Keluhan petani di wilayah pantura Kabupaten Bekasi kembali mencuat pada September 1993. Sejumlah warga pemilik tambak udang mengeluh karena usaha budidaya udang mereka nyaris bangkrut sebagai imbas dari masuknya air kanal CBL.
”Saya tidak tahu harus mengadu ke mana dan minta kerugian kepada siapa. Kerugian saya lebih Rp 2 juta. Udang di tambak seluas 3 hektar mati semua,” tutur Andin Alatas, warga Desa Huripjaya, Babelan (Kompas, 4/9/1993).
Jejak persoalan pencemaran di kanal CBL masih terus terjadi hingga saat ini. Penutupan TPS liar di bantaran sungai buatan itu diyakini tidak mampu menyelesaikan persoalan pencemaran yang bersumber dari sampah maupun limbah.
Baca juga: Bekasi, Sungai, dan Sampah
Ketua Koalisi Persampahan Nasional Bagong Suyoto mengatakan, penertiban pembuangan sampah liar di CBL sudah berulang kali dilakukan. Namun, upaya penertiban itu tak kunjung berhasil lantaran rendahnya layanan persampahan pemerintah daerah, tumbuhnya permukiman dan perekonomian, serta minimnya infrastruktur dan dukungan teknologi pengelolaan sampah dari sumber pertama.
”Sebelumnya itu ada juga penutupan pembuangan sampah liar di Pebayuran. Boleh jadi yang lain nenyusul,” kata Bagong.
Komunitas atau masyarakat yang memilah dan mengelola sampah harus didukung dan difasilitasi, bukan malah diganggu.
Upaya menutup tempat sampah liar yang jumlahnya mencapai ratusan di Bekasi disebut sebagai solusi maut yang bersifat sesaat. Sebab, sejauh ini pemerintah daerah tidak memiliki solusi konkret. Persoalan utama munculnya tempat pembuangan sampah liar di Bekasi terjadi akibat keadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA Burangkeng) saat ini dalam kondisi darurat.
Produksi sampah di wilayah Kabupaten Bekasi setiap hari 2.700-2.900 ton. Dari jumlah itu, sampah yang dikirim ke TPA Burangkeng hanya 800-900 ton per hari.
”Artinya, sisa dari sampah yang tidak terangkut ke Burangkeng dibuang ke sebarang tempat. Saat ini ada sekitar 171 TPA liar di Bekasi,” ucap Bagong.
Pemerintah Kabupaten Bekasi diminta tak lagi mengandalkan TPA sebagai solusi mengatasi masalah sampah. Cara konvensional dengan sistem angkut buang harus diubah menjadi sistem memilah dan mengelola mulai dari hulu sampai hilir.
”Intinya pengelolaan sampah dilakukan dari sumber dengan multiteknologi dan melibatkan berbagai pihak. Komunitas atau masyarakat yang memilah dan mengelola sampah harus didukung dan difasilitasi, bukan malah diganggu,” tutur Bagong.
Baca juga: Kali Cikarang Bekasi Laut Dikepung Sampah Liar
Dukungan pemerintah pusat
Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah II Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Iwan Kurniawan, yang turut hadir dalam penutupan TPS liar CBL, pada (26/1/2022), mengatakan, penutupan TPS tersebut merupakan bagian dari kesepakatan penandatanganan pengelolaan persampahan dalam penanganan daerah aliran sungai wilayah Sungai Citarum. Kesepakatan itu ditandatangani delapan bupati dan wali kota serta lima kementerian di Bandung, Jawa Barat.
”Dari kesepakatan di Bandung, Bupati Bekasi mengunjungi beberapa lokasi yang memang titik rawan sampah. Salah satunya di sini (tepi Kali CBL),” ucapnya.
Penanganan sampah di wilayah Bekasi bakal mendapat bantuan dana dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Pemerintah pusat juga mengalokasikan anggaran untuk pembangunan infrastruktur tempat pembuangan akhir dan sementara di wilayah Bekasi.
”Tinggal Kabupaten Bekasi menyediakan lokasi atau lahan. Jadi, lebih konkret,” ucap Iwan.