Iklim Dunia Tidak Sedang Baik-baik Saja
Pemanasan global dan perubahan iklim pada abad ke-21 telah menyentakkan dunia. Situasi darurat perubahan iklim menuntun kita semua dalam orkestrasi pemerintah dalam melakukan transformasi untuk menyelamatkan bumi.
Keriuhan politik jangan sampai menenggelamkan semangat ekologis publik yang telah berkembang sepanjang 2021. Cita politik yang berorientasi ekologis niscaya dibutuhkan di tahun 2022 senafas lahirnya kesadaran lingkungan yang secara internasional disorongkan sejak 5 Juni 1972 melalui Konferensi Stockholm.
Gerakan mondial terus menggelorakan kesadaran kolektif mengenai kondisi lingkungan. Isu demokrasi, hak asasi manusia, dan lingkungan menjadi “trisula” yang mendapatkan atensi pergaulan antarbangsa. Untuk itulah setiap negara ditempatkan dalam konstalasi pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang menyodorkan tiga pilar keseimbangan: ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Memahami perubahan iklim
Kita perlu menelisik kenapa dunia gelisah selama 2021 atas perubahan iklim. Kegelisahan yang mengancam di tahun-tahun mendatang apabila tidak ditemukan resolusi aksi bersama?
Ketahuilah bahwa masalah pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) pada abad ke-21 telah menyentakkan dunia. Pemanasan global dan perubahan iklim yang dalam tradisi leluhur dirangkai dalam bincangan pranoto mongso selalu menorehkan pesan bahwa memahami rotasi iklim adalah kebutuhan.
Baca juga: Memaknai Dampak Perubahan Iklim
Fakta bahwa kerusakan ekosistem hutan, lahan kritis, konversi kawasan konservasi, pencemaran laut, dan meningkatnya permukaan air laut, sesungguhnya sudah cukup untuk menyatakan bahwa dampak buruk krisis ekologis ini membutuhkan solusi tanpa henti, tanpa jeda, tanpa menunggu tahun baru.
Pada titik inilah saya takzim pada NU yang secara spesifik telah memberikan perhatian lebih mengenai isu global. Perubahan iklim menjadi fokus perhatian Bahtsul Masail bidang Qanuniyah dengan mendorong lahirnya Perundang-undangan Perubahan Iklim produk Muktamar Ke-34 NU di Lampung tempo hari.
Dengan demikian NU tampil sebagai ormas yang memahami arus global. Muktamar ini langsung mengaktualisir realitas internasional pada tingkat lokal-nasional terhadap tema perubahan iklim. Dampak perubahan iklim diramu menjadi “hidangan cerdas” kaum sarungan dan otomatis diusung sebagai topik penting nasional ke depan.
NU pun mendorong perlunya komitmen kerja sama untuk mengatasinya dengan mereduksi efek gas rumah kaca (GRK) atau greenhouse gases (GHGs).
NU memiliki kekhawatiran mengenai dampak yang ditimbulkan dari pemanasan global yang berkaitan dengan perubahan iklim dunia. NU pun mendorong perlunya komitmen kerja sama untuk mengatasinya dengan mereduksi efek gas rumah kaca (GRK) atau greenhouse gases (GHGs).
Dari data Climate Watch yang dirilis WRI Indonesia (2020), China menjadi kontributor emisi gas rumah kaca terbesar hingga awal 2018. Negeri ini menghasilkan 12.399,6 juta metrik ton karbon dioksida ekuivalen (MtCO2e). Jumlah itu setara 26,1 persen dari total emisi global.
Amerika Serikat menyusul dengan menyumbang 6.018,2 MtCO2e yang setara dengan 12,7 persen emisi global. Kemudian, Uni Eropa menyumbang 3.572,6 MtCO2e atau setara 7,52 persen emisi global.
Indonesia ternyata masuk dalam daftar 10 negara dengan emisi GRK terbesar di dunia. Tercatat emisi gas rumah kaca yang dihasilkan sebesar 965,3 MtCO2e atau setara 2 persen emisi dunia. Mayoritas emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari sektor energi.
Secara historis, PBB melalui United Nations Environment Programme (UNEP) pada tanggal 9 Februari 2001 di Nairobi, Kenya, telah mengeluarkan dan mengembangkan peringatan dini tentang bencana alam akibat perubahan iklim. IPCC melaporkan bahwa perubahan iklim dapat mengakibatkan seluruh planet bumi mengalami banjir, penurunan hasil pertanian, maupun kenaikan permukaan air laut dari 9-88 sentimeter.
Konferensi Perubahan Iklim yang diselenggarakan setiap tahun sejatinya berikhtiar mencapai kesepakatan dalam menjaga konsentrasi emisi GRK pada tingkat aman. Konferensi juga didengungkan untuk memantapkan tanggung jawab bersama, tetapi dengan beban berbeda (common but differentiated responsibilities) antara negara maju dan berkembang. Pendanaan lingkungan, asuransi lingkungan, pasar karbon, dan alih teknologi.
Baca juga: Indonesia Menuju Negara Adidaya Iklim
Komitmen negara maju dalam konteks penurunan gas rumah kaca pasca Kyoto Protocol tahun 2012 terus digulirkan secara konstruktif. Penurunan emisi melalui mekanisme REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) dan skema program pembangunan bersih (clean mechanism development) telah mengalami modifikasi agar dapat diterjemahkan secara realistis.
Prinsip mengatasi perubahan iklim
Para ilmuwan menunjukkan bahwa naiknya permukaan air laut berdampak pada hilangnya pulau-pulau kecil dan sebagian daratan di dunia. Negara-negara tertentu semisal Tuvalu, Kiribati dan Maltives yang berada di pulau setinggi 2-3 meter, kenaikan permukaan air laut 0,5-1 meter amatlah berpotensi terhapus dari peta bumi. Pemanasan global dipahami telah menaikkan temperatur sebesar 0,030C per tahun dan kenaikan curah hujan sebesar 2-3 persen per tahun, bahkan siklus ENSO (El Nino Southern Oscillation) yang biasanya terjadi 3-7 tahun sekali, sekarang setiap 2-5 tahun sekali.
Para cendekia UNEP memprediksi bahwa perubahan iklim merupakan masalah lingkungan terbesar seratus tahun ke depan dan menjadi tanggung jawab kolektif komunitas manusia dari semua bangsa. Untuk itulah kata Gerald Foley, sejumlah besar prakarsa internasional diorganisir untuk mengatasi perubahan iklim.
Tahun 1979 diselenggarakan The World Climate Conference pertama sebagai tanggapan atas kegelisahan dampak potensial kenaikan suhu bumi dengan mendirikan The World Climate Programme (WCP) di bawah bantuan The World Meteorological Organization (WMO), UNEP-The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), dan The International Council of Scientific Union (ICSU). Bagi saya, Muktamar Ke-34 NU tahun 2021 telah menjaga momentum peneguhan perhatian dunia agar tidak ada kemunafikan dalam mengatasi perubahan iklim.
Adapun tindakan yang perlu diambil untuk mengatasi perubahan iklim terdapat tujuh prinsip yang ditetapkan regulasi antarbangsa, yaitu: Satu, "common but differentiated responsibilities": tanggung jawab bersama tetapi berbeda sesuai dengan kemampuan para pihak. Dua, "special consideration for disproportionately burdened developing countries": kebutuhan dan keadaan khusus negara-negara berkembang yang rawan terhadap perubahan iklim yang harus menanggung beban yang tidak sepadan atau di luar jangkauannya yang perlu mendapatkan perhatian sepenuhnya.
Adapun tindakan yang perlu diambil untuk mengatasi perubahan iklim terdapat tujuh prinsip yang ditetapkan regulasi antarbangsa.
Tiga, "scientific uncertainty not an excuse for inaction": ketidakpastian ilmiah tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda tindakan mengurangi penyebab terjadinya perubahan iklim. Empat, "cost effective policy responses": kebijakan yang berkaitan dengan perubahan iklim harus didasarkan pada efektivitas biaya. Lima, "responses may be carried out cooperatively": kerja sama dengan para pihak yang berkepentingan untuk mengembangkan sistem ekonomi internasional menuju pembangunan berkelanjutan bagi semua negara peserta, khususnya negara berkembang dalam menghadapi perubahan iklim.
Enam, "promotion of sustainable development": memprakarsai pelaksanaan pembangunan berkelanjutan untuk menanggulangi perubahan iklim. Tujuh, "no distortion of international trade": larangan pembatasan perdagangan internasional terselubung (untuk menanggulangi perubahan iklim) termasuk yang bersifat unilateral, hendaknya tidak menjadi sarana perbuatan sewenang-wenang atau diskriminasi secara tidak bertanggung jawab.
Peneguhan kebijakan pro iklim
Indonesia wajib berkontribusi strategis dengan meneguhkan komitmen yang kuat bagi penyelamatan bumi dengan peduli pada dampak perubahan iklim yang kian membahayakan kehidupan. Bangsa ini harus menjadi pendobrak komunitas dunia agar semakin solid menerapkan kesepakatan internasionalnya. Bukankah pengalaman mengajarkan bahwa negara-negara maju sebagai aktor utama perubahan iklim justru sekadar mengkapitalisasi lingkungan. Atas nama kepedulian perubahan iklim, mereka berebut emisi untuk diperdagangkan, bukan dicegah?
Baca juga: Darurat Iklim dan Alarm bagi Kemanusiaan
Situasi darurat perubahan iklim menuntun kita semua dalam orkestrasi pemerintah dalam melakukan transformasi menuju energi baru dan terbarukan, akselerasi ekonomi berbasis teknologi hijau, peningkatan penggunaan biofuel, dan mengembangkan ekosistem industri kendaraan listrik. Apalagi Indonesia telah mempersiapkan Green Industrial Park seluas 20.000 hektar di Klimantan Utara, teknologi karbon, energi hidrogen, kawasan industri hijau, dan pasar karbon.
Sebuah ambisi yang sangat bermakna dalam takaran penyelamatan iklim masa depan. Kini khalayak ramai turut mengontrol agar negara jejeg melahirkan keputusan pro iklim.
Suparto Wijoyo, Akademisi Hukum Lingkungan dan Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga