Lubang Peluru di Kamar Hotel Wamena
Seperti dalam film detektif, kami memeriksa semua bagian kamar. Tiba di bagian jendela ketika saya menemukan lubang peluru. Tidak hanya satu, tetapi dua. Ichwan pun menemukan sebuah lubang peluru lainnya.
Pesawat yang membawa kami dari Jayapura menuju Wamena pada pertengahan November 2020 lepas landas meninggalkan Bandara Sentani. Perjalanan yang semestinya mudah harus kami lakoni dengan sedikit kesukaran.
Pasalnya, satu hari menjelang keberangkatan, barulah kami tahu bahwa untuk terbang diperlukan tes PCR dan bukan tes antigen. Karena harus menunggu hasil tes keluar, akhirnya keberangkatan kami mundur sehari dari rencana. Untunglah pada akhirnya kami bisa terbang juga.
Beberapa saat sebelum mendarat, dari balik jendela pesawat baling-baling yang kami tumpangi terlihat panorama Pegunungan Jayawijaya yang seolah mengepung Wamena. Saya tidak bisa menahan diri untuk tak terkesima. ”Ini bakal menjadi petualangan yang sempurna,” bisik saya dalam hati.
Perjalanan kami untuk Ekspedisi Tanah Papua segmen Jayawijaya-Lorentz ini memang beda dari yang lain. Selain harus memerhatikan penyakit malaria yang menjadi endemi di hampir seluruh wilayah papua, faktor keamanan di sini juga sangat mendebarkan.
Ekspedisi Tanah Papua 2021 adalah perjalanan jurnalistik untuk melihat lebih dekat relasi antara masyarakat asli Papua dan alamnya, baik hutan maupun lautan, yang telah menghidupi mereka turun temurun. Kumpulan tulisannya dapat dibaca di sini.
”Pokoknya jangan ada yang unggah foto di media sosial. Nanti kalau ada yang tanya, bilang saja kita wisatawan. Kalau mau keluar harus bilang ke anggota tim lainnya," ujar Ketua Tim Ekspedisi Tanah Papua Harry Susilo memperingatkan. ”Jangan sembarangan motret," yang ini pesan khusus untuk saya.
Saya kemudian teringat kembali akan proses bagaimana akhirnya bisa ikut ekspedisi segmen ini. Isu keamanan di wilayah liputan sempat membuat saya ragu menerima tawaran. Terlebih bulan Mei sebelumnya, saya baru saja mengikuti perjalanan ekspedisi untuk segmen Nabire-Biak.
”Ikut aja-lah. Kapan lagi,” pikir saya kemudian. Sepanjang menjalani profesi sebagai jurnalis foto, risiko celaka boleh dibilang bagian dari pekerjaan sehari-hari. Meski begitu, keputusan ini telah melalui pertimbangan masak-masak dan mendapat restu dari keluarga kecil saya.
”Ya, kita lihat nanti kondisi di sana. Kita tidak akan memaksakan diri jika memang membahayakan,” kata ILO, panggilan akrab Harry Susilo, saat saya tanya tentang kondisi keamanan di sana.
Jawabannya berusaha menenangkan saya yang terdengar sedikit gelisah. Bertanya pada ILO adalah salah satu yang saya lakukan sebelum membuat keputusan mengambil penugasan tersebut.
Tidak berlebihan kalau wilayah itu menimbulkan momok ketakutan. Cukup banyak kasus penyerangan bersenjata yang berujung kematian terjadi di kawasan yang akan kami datangi. Selain saya dan Harry Susilo, anggota tim lain yang berangkat adalah Ichwan Susanto, Saiful Rijal Yunus, Stefanus Ato, dan Rian Septiandi.
Baca juga: Daya Magis Danau Tertinggi
Tiba di Wamena, kami langsung mengurus segala perizinan dan membeli keperluan logistik. Baru pada malam harinya kami masuk hotel. Keesokan pagi, perjalanan diteruskan menuju Danau Habema yang masuk wilayah Taman Nasional Lorentz di Kabupaten Jayawijaya.
Kabut tipis yang memeluk barisan rapat pepohonan dingin yang menusuk tulang, dan deretan pegunungan tinggi yang menjulang menemani perjalanan menuju danau yang berjarak 41 kilometer dari Wamena. Perjalanan terus menanjak hingga ketinggian 3.200 meter di atas permukaan laut. Tidak heran jika Habema disebut sebagai danau tertinggi di Indonesia.
Setelah berjuang keras melewati lembah dengan tanahnya yang bergambut, kami tiba di pinggir danau tempat kami kemudian mendirikan tiga tenda. Untuk mengantisipasi turunnya hujan, satu terpal besar dipasang di atas tenda.
Sambil mengumpulkan kekuatan yang terkuras habis, kami memandangi hamparan danau dan padang savana di hadapan. Indah sekali rasanya sampai terlupa dengan tugas meliput kekayaan keanekaragaman flora dan fauna di sana. Untung saja, jadwal liputan masih keesokan harinya sehingga sisa siang dan malam itu dapat kami manfaatkan dengan menikmati pemandangan sambil bercengkerama.
Baca juga: Gurih yang Berakhir Perih Saat Melahap Ulat Sagu
Namun, berada di atas ketinggian 3.000 mdpl lebih bukanlah perkara mudah. Jaket tebal isi bulu angsa kami kali ini ”kalah” karena kurang mampu melindungi tubuh dengan baik. Dingin udara Habema masih menembus tulang.
Jam yang digunakan Rijal menunjukkan angka 8 derajat celsius untuk suhu saat itu. Gawat nih, padahal di balik jaket, saya sudah mengenakan beberapa lapis pakaian, seperti kaus dan dua lembar pakaian hangat lainnya yang dipadu dengan celana tebal.
Untunglah, rasa lelah selama perjalanan menuju lokasi dengan segera menghadirkan rasa kantuk yang amat sangat. Kami pun tertidur pulas hingga keesokan paginya, masih ditambah mendengkur pula.
Pagi-pagi sekali kami bangun lalu berjalan kaki menyusuri pinggiran danau yang rutenya ternyata menanjak terjal dan menurun tajam. Sempat, saya dan videografer Rian terpeleset. Akibatnya, kaki kami terbenam hingga semata kaki. Selama liputan, kami didampingi petugas dari Taman nasional (TN) Lorentz. Segala hal menarik yang ditemui kami catat, potret, dan videokan.
Indera pun dipaksa peka akan alam sekitar, termasuk mata yang harus awas menangkap gerakan burung yang sibuk bermain di dahan pepohonan yang rendah. Sayangnya, ketibaan kami kurang pagi. Sudah termasuk siang bagi burung Isap Madu Elok (Macgregoria pulchra) yang kami incar untuk dokumentasi. Burung endemik ini telanjur pergi mencari makan.
Seandainya ini bukan penugasan liputan, rasanya kami ingin merebahkan badan saja seharian di bagian tanah yang kering sambil menikmati suguhan alam yang tidak mungkin kami dapati di daerah tinggal kami di Jawa.
Usai liputan dan kembali ke perkemahan, sinar matahari menghilang tertutup awan. Angin dari puncak pegunungan berhembus turun ke lembah, dingin pun kembali menusuk tulang. Untuk mengusir udara dingin, kami membuat api unggun dan memasak untuk makan malam. Sebagai santapan utama adalah makanan ala Danau Habema yang dimasak oleh ”koki” ILO.
Baca juga: Maksud Hati Mencari Pramudi, Apa Daya Dipepet Jambret
Masakan tanpa nama itu terbuat dari semua bahan yang dijadikan satu. Soal rasa, itulah makanan terenak di Danau Habema. Sorenya, ILO, Stefanus Ato, dan Rijal Yunus mengajak berenang di danau. ”Gila, enggak berenang aja udah dingin,” kata saya menolak ajakan.
Dari ketinggian, saya melihat teman-teman begitu riang. ”There is a boy in a man,” pikir saya. Mereka seperti anak-anak yang kegirangan karena dibolehkan mandi hujan oleh orangtuanya.
Total, hanya tiga hari dua malam kami di sana. Namun, kenangannya tak mudah terlupa oleh semua anggota tim yang turut serta. Akhirnya, berakhir sudah jatah waktu kami di Habema. Kami harus kembali ke Wamena.
Kami menginap di hotel yang sama saat tiba pertama kali di Wamena. Hanya saja kini kami mendapat kamar yang berbeda. Di tengah kondisi badan yang sangat lelah, kami masih harus bergulat untuk menundukkan kunci elektronik pintu hotel agar bisa masuk ke dalam kamar yang ternyata tanpa AC. Karena Wamena daerah dingin, kamar hotel pun tidak perlu dilengkapi pendingin. Masuk ke dalamnya, kami langsung memeriksa seluruh bagian kamar. Pada saat kedatangan pertama, kami tidak melakukan pemeriksaan karena kamar hotel tidak memiliki jendela.
Bak dalam film detektif, saya dan Ichwan Susanto memeriksa hingga ke sudut-sudut kamar. Barangkali ada yang mencurigakan sampai kemudian kami memeriksa jendela. Betapa terkejutnya karena saya menemukan lubang bekas peluru. Tidak hanya satu, melainkan dua! Ichwan pun menemukan satu lubang bekas peluru lainnya. Kami lantas melaporkan temuan ini kepada rekan-rekan lainnya.
Baca juga: Berguru pada Seorang Loper Buta
Tiba-tiba stigma tentang Wamena dan kawasan pegunungan Papua adalah kawasan yang rawan muncul kembali di kepala. Pada 2019, di daerah ini memang sempat terjadi kerusuhan. ”Ah mungkin bekas peluru itu sisa kelam kejadian tersebut.” Kami pun berusaha menenangkan diri dan fokus dengan tujuan kedatangan kami ke daerah itu.
Masih ada beberapa tempat yang harus kami datangi untuk melihat kebun ubi dan kopi. Untunglah, semua pihak yang kami kunjungi menyambut dengan tangan terbuka dan rasa persaudaraan yang tinggi. Hilang sudah kekhawatiran yang semula menghantui.
Hingga hari-hari terakhir di Kabupaten Jayawijaya, misi liputan berjalan lancar dan ketakutan kami tak terbukti. Yang tersisa adalah kenangan akan pesona Papua dan keramahan warganya.
Semoga keindahan Papua tak lekas pupus oleh ulah sekelompok orang yang menyebabkan rusaknya alam. Saya pribadi bersyukur bisa menjadi bagian dari liputan ini yang akan tercatat dalam sejarah perjalanan jurnalistik harian Kompas.