Muncul sebagai perlawanan terhadap kolonial tanpa kekerasan pada 1907, komunitas Samin bertahan seabad lebih sejak zaman kolonial, kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, sampai pasca-Reformasi. Apa saja rahasia kekuatannya?
Oleh
Ilham Khoiri
·5 menit baca
Di tengah godaan gaya hidup urban yang kian hedonis, komunitas Samin di Blora, Jawa Tengah, tekun bekerja sebagai petani yang bersahaja. Fokus hanya memenuhi kebutuhan, bukan keinginan yang neko-neko alias berlebihan, mereka berusaha tetap seger dan waras.
”Lumbung desa pra tani padha makarya/ Ayo dhi, njupuk pari nata lesung nyandak alu/ Ayo yu, padha nutu yen wis rampung nuli adang/ Ayo kang, dha tumandang nosoh beras nata lumpang”.
(Di lumbung desa, para petani bekerja/ Ayo adik, mengambil padi ditata dalam lesung, kemudian memegang alu/ Ayo kakak, pada menumbuk padi, dan bila sudah selesai, lalu dimasak/ Ayo Kang, mari bersegera membersihkan beras dan menata lumpang).
Lagu ”Lumbung Desa” itu dilantunkan oleh sejumlah perempuan dengan nada riang. Sambil menyanyi, mereka mengayunkan alu (alat pukul dari kayu) ke pinggiran lesung (wadah persegi panjang dari kayu). Pukulan bertubi-tubi itu membentuk suara rancak, ”tak tek tak tong... tak tek tak tok....”
Para perempuan yang mementaskan seni gejog lesung itu berseragam kebaya hitam dan bawahan kain batik. Mereka energik. Palu itu enteng saja diayun-ayunkan ke sana kemari. ”Ini lagu ajakan untuk bekerja keras, laki-laki atau perempuan,” kata Sarimah (59), salah satu perempuan, saat menyambut tamu pada akhir November 2021 yang gerimis.
Dia mempersilakan para tamu memasuki pendapa komunitas Sedulur Sikep di Dukuh Blimbing, Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong, Blora. Di tengah pendapa, sesepuh komunitas Samin, Mbah Pramugi Prawiro Wijoyo, menyambut hangat. ”Di sini, kami hidup rukun. Rukun itu sumber kehidupan yang harus dijaga. Kalau ayah-ibu kita tidak rukun, tidak mungkin kita lahir, kan?” katanya seraya tertawa.
Untuk mencapai kerukunan, manusia perlu mengendalikan hawa nafsu. Terkait soal ini, komunitas Samin punya lima larangan utama, yaitu tidak boleh bersikap jrengki (jahat), srei (merusak), panasten (panas hati), dahpen (suka mencampuri urusan orang lain), dan kemeren (iri hati). Tak hanya diucapkan, semua dilakoni dalam kehidupan sehari-hari.
”Jangan sampai kita jadi ’jarkoni’, iso ngajar, ning gak iso ngelakoni (bisa memberi tahu, tapi tidak bisa melakukan),” kata Pramugi.
Dengan prinsip itu, kehidupan di Sambongrejo berjalan tenteram. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, warga bertani dan beternak. Mereka menjaga dan menata lingkungan sehingga tertata apik dan bersih. Kampung itu menjadi salah satu desa wisata yang mengesankan.
Kehidupan bersahaja juga diperlihatkan komunitas Samin di Karangpace, Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Blora. Mereka menyambut para tamu di pendopo di tengah hutan jati. Sambil ngobrol santai, semua diajak bersantap siang dengan suguhan sederhana: nasi, sayur rebung, dan tumis ikan kering yang cukup pedas.
”Semua manusia itu sama, harus dihargai, jangan dibeda-bedakan,” ujar Mbah Lasiyo, sesepuh setempat, saat diminta nasihat.
Sebagai komunitas Samin, Mbah Lasiyo kerap didatangi para tamu dari banyak daerah. Pada 2015, Presiden Joko Widodo beserta Ibu Negara Nyonya Iriana Joko Widodo pernah berkunjung ke sini. Orang nomor satu di Indonesia itu juga disambut secara bersahaja sebagaimana tamu-tamu lain.
Sebagaimana di Sambongrejo, warga Klopoduwur juga hidup dari bertani dan beternak. Mereka tinggal dan akrab dengan hutan jati. Hutan itu tidak dirusak karena dianggap sebagai bagian dari kehidupannya. ”Semua makhluk di bawah langit dan di atas bumi itu sama-sama perlu hidup. Semua ciptaan Tuhan,” ujar Lasiyo.
Selain di Sambongrejo dan Klopoduwur, komunitas Samin alias Sedulur Sikep di Blora juga terdapat di Desa Sumber, Kecamatan Kradenan serta Dukuh Ploso Kediren, Kecamatan Randublatung. Komunitas ini juga ada di Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro, di Kudus, Pati, dan Rembang.
Pada 2019, perwakilan mereka pernah menggelar Temu Ageng Sedulur Sikep di pendopo Sambongrejo. Pemerintah Kabupaten Blora dan Kabupaten Bojonegoro berusaha untuk menjaga kehidupan komunitas Samin dengan cara masing-masing.
Bupati Blora Arief Rohman mendukung pengembangan kebudayaan Samin dengan membantu pengadaan fasilitas untuk menunjang kehidupan warga, seperti sarana untuk memajukan pertanian atau peternakan. ”Ada beberapa kearifan Samin yang relevan dengan kehidupan sekarang, misalnya ajaran untuk hidup selaras dengan alam. Inilah yang kita sebut sebagai ekonomi berkelanjutan dan hijau, yang sekarang jadi kampanye G-20,” tuturnya.
Beberapa literatur menyebut komunitas Samin bermula dari Samin Surosentiko (1859-1914), seorang petani dari Desa Ploso Kediren, Randublatung, Blora. Pada tahun 1905, dia tercatat menggalang kampanye menolak membayar pajak kepada pemerintahan kolonial Belanda. Meski tanpa kekerasan, pada 1907, Samin bersama beberapa pengikutnya ditangkap dan dibuang ke Sumatera Barat.
Sepeninggal tokohnya dan terus ditekan, gerakan perlawanan itu terus bertahan. Menurut peneliti antropologi budaya dari Australian National University, Australia, Amrih Widodo, komunitas Samin menarik karena masih terus lestari melampaui seabad lebih sejak masa kolonial, kemerdekaan, Orde lama, Orde Baru, dan pasca-Reformasi. Mereka mampu menjaga ideologinya dan beradaptasi dengan perubahan zaman.
Ketahanan itu, antara lain, ditopang kesadaran untuk hidup sederhana, apa adanya, menyelaraskan antara ucapan dan perbuatan dalam kenyataan sehari-hari. ”Mereka itu ditaruh dalam konteks apa pun akan hidup, tidak akan mati,” kata Amrih.
Kembali ke kampung Samin di Klopoduwur. Saat ditanya tentang fenomena pejabat yang korupsi, Ketua Paguyuban Sikep Samin Nunggal Roso, Poso, mengingatkan, sebenarnya manusia dapat hidup secukupnya dengan fokus memenuhi kebutuhan pokok, seperti sandang (pakaian), pangan, dan papan (tempat tinggal). Namun, sebagian orang tergoda mengejar keinginan melampaui kebutuhan sehingga menjadi rakus, lantas mencuri harta yang bukan haknya. ”Orang korupsi itu karena tak bisa bedakan antara kebutuhan dan keinginan,” katanya.
Saat pamitan dari Klopoduwur, para tamu diingatkan untuk terus menjaga jasmani agar selalu segar dan hati-pikiran agar senantiasa waras. ”Salam seger waras,” kata Wong Samin sambil menangkupkan tangan tanda penghormatan.