Kepada Hananto, yang juga penulis, Budi Darma selalu berpesan, ”Jadilah orang kreatif, bukan orang yang reaktif.” Menurut Hananto, kata-kata itu selalu melekat kepadanya setiap ingin menulis sesuatu.
Oleh
Putu Fajar Arcana
·3 menit baca
Kompas
Sastrawan Budi Darma memberikan orasi budaya dalam acara Anugerah Sabda Budaya Universitas Brawijaya Malang tahun 2019, Jumat (25/10/2019). Pada saat itu, Budi Darma juga menerima Anugerah Budaya Universitas Brawijaya di bidang sastra.
JAKARTA, KOMPAS — Kabar duka menyelimuti dunia kesusastraan Indonesia. Pukul 06.00 WIB, pengarang senior Budi Darma (84) dinyatakan pergi untuk selamanya setelah dirawat hampir sebulan di Rumah Sakit Islam, Jalan Ahmad Yani, Surabaya. Budi Darma meninggalkan ratusan karya berupa novel, cerita pendek, dan esai yang terangkum dalam puluhan buku.
Hananto Widodo, putra bungsu Budi Darma, Sabtu (21/8/2021), dari Surabaya bercerita, ia mendapat kabar pada pukul 05.50 dari rumah sakit bahwa kesadaran ayahnya menurun. Kabar itu, kata Hananto, juga menyebutkan tensi darah ayahnya menurun drastis.
”Kemudian dapat kabar berikutnya, bapak sudah pergi pukul 06.00 pagi tadi,” katanya. Sebelum dirawat di rumah sakit, tambah Hananto, ayahnya sempat jatuh di kamar mandi pada 21 Juli 2021.
Ketika harus dilarikan ke IGD Rumah Sakit Islam Surabaya, 28 Juli 2021, Budi Darma sempat berkabar kepada Kompas bahwa dia sedang demam. ”Iya, saya sakit, badan saya sedikit demam. Doakan,” katanya melalui pesan Whatsapp. Setelah itu tidak ada lagi pesan yang terbalas walau pada telepon genggamnya menandakan pesannya telah dibaca.
Sejak menjalani isolasi bersama istrinya, Sitaresmi, di rumah sakit yang sama, menurut Hananto, entah kenapa telepon ayahnya rusak. ”Saya sendiri tidak bisa menghubungi bapak. Selain teleponnya rusak, saya juga sedang diisolasi di rumah sakit berbeda,” tutur Hananto.
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Budi Darma, novelis penerima penghargaan Kompas intelektual berdedikasi 2013.
Meski logatnya medok suroboyoan, Hananto tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Beberapa kali ia harus berhenti berbicara di ujung telepon, sebelum kemudian melanjutkan lagi. ”Bapak akan dimakamkan hari ini, Sabtu, di pemakaman Keputih Surabaya. Saya sedih karena tidak bisa mengantarkannya,” ujar Hananto.
Karakter unik
Budi Darma lahir di Rembang, 25 April 1937. Ia sudah mulai menulis sejak 1969 secara lepas-lepas di berbagai majalah di Indonesia. Tetapi, karya pertamanya yang meledak dalam kancah sastra Indonesia berupa kumpulan cerpen bertajuk Orang-orang Bloomington (1980), kemudian disusul novel Olenka (1983). Dua buku ini membuat banyak pengamat membandingkan karakter dalam kisah-kisahnya yang unik, bahkan terkadang aneh, dengan pembawaan penulisnya yang teduh dan rendah hati.
Budi Darma selalu menyapa dan bersedia mengobrol dengan siapa saja tanpa memandang kesenioran atau keyuniorannya. Ketika Kompas merayakan HUT ke-50 dengan menggelar Workshop Cerpen Kompas 2015, Budi Darma menjadi salah satu mentor para peserta di Denpasar.
”Pasti akan banyak lahir penulis baru setelah ini. Saya usul kalau bisa diteruskan…,” pesan Budi Darma. Kata-katanya selalu santun, tak pernah membuat lawan bicara merasa terpaksa untuk melakukan sesuatu.
Kepada Hananto, yang juga penulis, Budi Darma selalu berpesan, ”Jadilah orang kreatif, bukan orang yang reaktif.” Menurut Hananto, kata-kata itu selalu melekat kepadanya setiap ingin menulis sesuatu. ”Karena sebagai orang hukum saya selalu menulis setelah ada kasus. Kata bapak, itu reaktif namanya,” tutur Hananto.
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Budi Darma (tengah) bersama 18 nomine menerima penghargaan di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (27/6/2013). Cerpen berjudul ”Laki laki Pemanggul Goni” terpilih sebagai cerpen pilihan Kompas 2013 dari 19 nominasi cerpen yang terbit di harian Kompas.
Ketika mendengar Budi Darma berpulang, penyair Joko Pinurbo, Warih Wisatsana, dan Kurnia Effendi menyatakan sangat bersedih kehilangan orang yang bisa menjadi bapak dan guru dari para penulis Indonesia. ”Aduh, sedih sekali, lapanglah jalan pulang ini, Pak Budi,” kata Warih Wisatsana spontan.
Joko Pinurbo mengatakan, Indonesia kehilangan seorang pengarang besar dengan pribadi yang besar. ”Pak Budi tidak tergantikan. Semoga kita sudah belajar banyak dari beliau,” ujar penyair yang biasa disapa Jokpin ini.
Selama menjadi penulis, Budi Darma telah menerima penghargaan SEA Write Award dari Thailand (1984), Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah RI (2003), Penghargaan Sastra Mastera dari Brunei Darussalam (2011), dan Cendekiawan Berdedikasi dari harian Kompas (2013). Beberapa cerpen karyanya terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas.