Mengenang Sjamsoeóed Sadjad
Seperti Sajogyo dan Sediono, obsesi Pak Sjam adalah pemuliaan benih. Mereka bertiga juga dikenal sebagai sosiolog pertanian yang menggali pemikiran tak hanya dari buku tetapi juga dari lapangan lewat penelitian.

-
Sjamsoe’oed Sadjad, Bapak Benih Nasional itu, telah pergi.
Guru besar emeritus Fakultas Pertanian IPB University ini, Kamis (28/4) lalu berpulang dalam usia 90 tahun 10 bulan (lahir di Madiun, 24 Juni 1931).
Hidup sendiri sejak istrinya Retno Winarni meninggal tahun 2000, Pak Sjam – demikian akrab dipanggil—hanya ditemani salah satu cucunya. Setelah pensiun resmi sebagai guru besar tahun 1996, dia tinggal di rumah dinas di kompleks kampus IPB, Bogor, yang diarsiteki Bung Karno sejak 1964 itu.
Di rumah itu, ahli benih generasi pertama Indonesia itu bersama istrinya membesarkan keempat anak mereka: Rhiza, Mirza, Eliza dan Roza. Ia terus berkarya. Menulis, melukis.
Dalam pertemuan sebelum 2008, Pak Sjam menjelaskan. “Menulis dan melukis adalah bagian dari upaya terus memperkenalkan diri agar tidak hilang dari peredaran. Lewat menulis di media massa dan buku, seseorang memperoleh legitimasi sebagai ilmuwan. Ilmuwan harus dikenal, baik ilmu maupun dirinya. Kalau tidak ia akan mati.” Moto hidupnya: berjuang, belajar, bersyukur.
Dengan menulis, Pak Sjam merasa bisa bermimpi (Guru-guru Keluhuran, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2010). Dalam artikel “Untung Masih Bisa Bermimpi”, Pak Sjam, satu dari 23 kontributor yang berusia 78 tahun ke atas, menulis tentang mimpi atau harapan atas pengalaman sebagai anak tiga zaman: penjajahan Belanda diselingi Inggris, penjajahan Jepang, dan kemerdekaan.
Impian dan pengalaman mereka, menjadi mosaik keluhuran bagi generasi kemudian, terutama dalam kesejahteraan dengan upaya pemuliaan benih.
Sampai meninggalnya, ia sudah menulis lebih dari 356 artikel di media massa dan lebih dari 20 buku ilmiah.
Kegiatan menulis sudah dijalaninya sejak 1964. Sampai meninggalnya, ia sudah menulis lebih dari 356 artikel di media massa dan lebih dari 20 buku ilmiah. Di luar yang tak terkait benih dan petani, dia menulis novel berbahasa Inggris Mama is An Angel, ode untuk almarhumah istrinya, dan refleksi pengalaman otobiografinya: Perjalanan Hidup. Antara Narcisism dan Inferiority Complex.
Namun, sejak istrinya meninggal, kegiatan menulis dan melukis berkurang, di laur tetap mengajar dan membimbing mahasiswa, termasuk jadi promotor. Bagi Pak Sjam, menulis memaksa orang terus membaca. Di rak bukunya berjajar buku-buku berkaitan ilmu benih. Membaca, menulis dan melukis membuatnya terus berpikir. Tidak mandek dan beku. Ketiga kegiatan itu jadi ”kompensasi cerdas”, selain mengajar dan berbagai kegiatan lain di lembaga yang memperjuangkan kelestarian hidup negara agraris.
Dengan menulis, dia juga ingin berbagi pengetahuan.
Bersama dua teman dekatnya di IPB, Prof Sediono MP Tjondronegoro (alm) dan Prof Sajogyo (alm), Pak Sjam dikenal sebagai ahli sosiologi pertanian.
Ahli sosiologi pertanian
Benih bagi Pak Sjam berarti sumber kehidupan. Dari benih dilakukan pemuliaan tanaman. Petani dan masyarakat adalah pemulia benih yang utama. Tetapi negeri ini kurang menghargai kelebihan dan keunggulan petani dengan memaksakan benih yang diproduksi pusat perbenihan. Mereka berdasar pengalaman atau local wisdom, mampu membuat benih-benih unggulan sesuai kondisi tanah.
Tetapi rupanya pemerintah tak punya peta tanah di Indonesia. Padahal dengan peta itu akan kelihatan apa saja jenis tanaman dan benih yang sesuai dan tidak bisa main pukul rata.
Bersama dua teman dekatnya di IPB, Prof Sediono MP Tjondronegoro (alm) dan Prof Sajogyo (alm), Pak Sjam dikenal sebagai ahli sosiologi pertanian. Sediono adalah mitra petani dengan pesan tegasnya “Indonesia tidak boleh mengingkari pertanian”. Sajogyo adalah perumus kriteria kemiskinan berdasar kalori asupan (satu-satunya kriteria waktu itu). Sebagai sosiolog pertanian/pedesaan, mereka punya penegasan sama, pro-pemerataan dan kesejahteraan petani yang mengandalkan tanah sebagai aset.
Mereka bertiga juga dikenal sebagai sosiolog pertanian yang menggali pemikiran tak hanya dari buku tetapi juga dari lapangan lewat penelitian.
Seperti Sajogyo dan Sediono, obsesi Pak Sjam adalah pemuliaan benih. Mereka bertiga juga dikenal sebagai sosiolog pertanian yang menggali pemikiran tak hanya dari buku tetapi juga dari lapangan lewat penelitian. Gluprut bersama petani dan kegiatan pertanian. Dari sana mereka menciptakan teorinya, sehingga teori tidak hanya diperoleh dari ruang kerja maupun buku rujukan, tetapi juga gluprut bersama tanah.
Mengenai peningkatan kesejahteraan petani yang mereka perjuangkan, Pak Sjam mengimpikan desa dan industri itu univalen, bukan ekuivalen. Karena itu bank-bank pemerintah khususnya, mau memberikan pinjaman ke petani. Usulan itu pernah jalan, tetapi karena bank-bank itu terutama mengejar keuntungan, sementara petani tak bisa memenuhi persyaratan angsuran secara teratur, kredit macet di mana-mana.
“Dalam hal ini pemerintah perlu menyejahterakan kegiatan pertanian. Itu berarti subsidi kepada petani.” Ujung tombak segala macam subsidi untuk petani padi sawah adalah benih yang mulia dan murni. Itu selaras dengan kebijakan teknologi dalam industrialisasi.

Benih mulia dan murni itu baru satu sisi mata uang logam, sisi lainnya kepentingan saprodi teknologi canggih berupa pestisida pupuk. Kebijakan perbenihan di negeri ini seyogianya diperbarui lebih intensif memikirkan kepentingan keragaman daerah-daerah sesuai dengan tanah di Indonesia.
Di artikel “Analogi Anak dan Benih” (Kompas, 5/4/1990), Pak Sjam membayangkan 25-30 tahun ke depan, “kita tidak makan nasi lagi. Sawah di Pulau Jawa habis karena menjadi tempat hunian penduduk dan pusat industri. Masalah air tawar untuk permukiman dan industri tidak memungkinkan lagi memelihara padi sawah. Sumber karbohidrat tidak lagi dari nasi, tetapi singkong, jagung, bahkan pisang atau buah-buahan dari tanaman tahunan.”
Bayangan Pak Sjam itu, di 2022 ini memang tidak (belum) terjadi, tetapi gejalanya ini sudah ada di beberapa daerah.
Baca juga Bapak Benih Nasional Itu Telah Berpulang
Sempat “shock” berat
Komitmen Pak Sjam pada kesejahteraan petani, khususnya pemuliaan benih, tak muncul tiba-tiba. Sejak kuliah di Jurusan Pertanian Fakultas Pertanian UI (lulus 1961), berlanjut Jurusan Teknologi Benih di Mississippi State University (lulus MSc, 1963), doktor Ilmu Pertanian (1972) dan guru besar (1981), obsesinya adalah tekno- logi benih atau pemuliaan benih. Juga ketika jadi Dekan Fakultas Pertanian IPB 1965-1966, terutama ketika jadi Kepala Laboratorium Ilmu Benih 1964- 1996, bahkan sesudah pensiun.
Memang dia perlu bertahun- tahun untuk menata (kembali) kehidupan. Terutama ketika istrinya meninggal tahun 2000 setelah cuci darah satu tahun dan tiga tahun terbaring sakit. Juga ketika dia harus menerima kabar anak bungsunya, Dr Roza —lulusan Universitas Wisconsin, dosen Universitas Syiah Kuala—bersama kedua putrinya hilang dalam musibah tsunami Aceh, 26 Desember 2004.
Saat itu Pak Sjam kelihatan shock berat. Syukur Alhamdulilah, tahun-tahun berikutnya semakin membaik. Selamat jalan Bapak Benih Nasional.
St SulartoWartawan Senior

St. Sularto