Presiden Sesalkan "Peristiwa 5 Agustus" (Arsip Kompas)
Kerusuhan pecah di Bandung pada 5 Agustus 1973, dipicu insiden lalu lintas yang menyulut isu rasial. Tahun 1973 ditandai sejumlah peristiwa yang berkaitan dengan isu rasial, agama, suku, antarkelompok.
Oleh
R.B Sugiantoro
·3 menit baca
ARSIP KOMPAS
Sekilas suasana sidang kabinet paripurna.
*Artikel berikut ini pernah terbit di Harian Kompas edisi 8 Agustus 1973. Kami terbitkan kembali dalam rubrik Arsip Kompas.id untuk mendampingi perilisan Narasi Fakta Terkurasi, aset NFT perdana Harian Kompas.
JAKARTA, KOMPAS -- Presiden Soeharto sangat menyesalkan terjadinya “peristiwa 5 Agustus” di Bandung, dan menandaskan bahwa Pemerintah akan menindak tegas semua yang terlibat dalam kerusuhan itu. Presiden menyerukan kepada masyarakat, agar jangan mudah terpancing oleh hasutan2. Sebab, bagaimanapun juga, tindakan2 kekerasan yang dilakukan dengan perusakan2 dan sebagainya itu jelas tidak dapat dibenarkan. Selanjutnya Presiden menggariskan hendaknya usaha2 untuk lebih mendorong integrasi bangsa kan ditingkatkan. Lebih2 mengingat, bahwa bangsa Indonesia yang masih muda usianya ini terdiri dari berbagai suku dan keturunan.
Kepala Negara mengemukakan penegasannya itu dalam sidang kabinet lengkap Selasa kemarin di gedung Sekretariat Kabinet. Dalam sidang itu, Pangkopkamtib Jendral Soemitro melaporkan soal2 sekitar peristiwa tersebut.
Kepada pers, Menpen Mashuri SH tidak bersedia menjelaskan isi laporan Pangkopkamtib tsb. Ia hanya menginstruksikan, keadaan telah dikuasai sepenuhnya, dan Presiden menginstruksikan kepada segenap aparatur pemerintahan dan alat2 negara,untuk tidak ragu2 mengambil tindakan, sesuai dengan tata hukum yang berlaku.
Menurut Menpen, Pemerintah akan mengambil langkah2 kewaspadaan, untuk mencegah jangan sampai peristiwa Bandung itu merembet ke tempat2 lain. Tapi apa wujud langkah2 itu, tidak dijelaskannya. Mashuri menambahkan tindakan2 kekerasan selain tak dapat dibenarkan juga bertentangan dengan martabat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya. Apalagi sebagai bangsa yang terus-menerus berusaha membina persatuan dan integrasi bangsa.
Kerusuhan pecah di Bandung pada 5 Agustus 1973, dipicu dengan insiden lalu lintas yang menyulut isu rasial. Tahun 1973 ditandai sejumlah peristiwa yang berkaitan dengan isu rasial, agama, suku, antarkelompok. Tahun ini, akronim SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) pertama kali muncul.
Mawas Diri dan Timbang Rasa!
Menteri menjelaskan, Presiden dalam sidang tersebut mengingatkan bahwa kekerasan2 dapat menggoncangkan keamanan dan stabilitas. Padahal, kestabilan merupakan syarat mutlak bagi terlaksananya pembangunan Dan pembangunan itu jelas menjadi amanat rakyat sendiri.
Berdasarkan ini, Presiden minta supaya menghindarkan segala sikap yang dapat memancing sesama kelompok warga negara. Sebab, semuanya punya hak dan kewajiban. “Dan dalam kewajiban2 itu, termasuk sikap mawas-diri, tenggang-rasa dan saling-timbang, apakah sesuatu tingkah laku dapat merugikan pembangunan,khususnya pembangunan bangsa”.
Dalam sidang itu, Presiden minta agar kewaspadaan tetap dijaga. Sebab keadaan2 yang masih potensial rawan, dapat disalah gunakan untuk menimbulkan peristiwa2 seperti di Bandung tsb. Sidang itu dihadiri pula oleh Menhankam, Kepala BAKIN dan Kapolri. Tapi mereka tidak bersedia menanggapi pertanyaan2 pers. “Tidak betul kerusuhan itu merembet. Itu cuma kabar angin”, hanya itu yang dikemukakan Kapolri Jendral Hassan.
Sidang kabinet lengkap itu sendiri tidak se-mata2 untuk menanggapi peristiwa tersebut. Sebab memang telah direncanakan sebelumnya untuk membahas berbagai soal, khususnya masalah2 ekonomi. Menpen Mashuri juga tidak banyak menjawab pertanyaan2. Ia hanya menunjukkan pada keterangan mengenai peristiwa tersebut telah disampaikannya kepada pers ibukota hari Senin. (rb)