F-28 Mamberamo Tabrak Lereng Gunung, Semua Penumpang dan Awak Pesawat Tewas (Arsip Kompas)
Pesawat Fokker F-28 Palembang-Medan milik Garuda menabrak Gunung Pertektekan; menewaskan empat awak pesawat dan 57 penumpang. Ini kecelakaan kedua untuk pesawat jenis Fokker F-28 pada 1979.
*Artikel berikut ini pernah terbit di harian Kompas edisi 13 Juli 1979. Kami terbitkan kembali dalam rubrik Arsip Kompas.id untuk mendampingi perilisan Narasi Fakta Terkurasi, aset NFT perdana Harian Kompas.
JAKARTA, KOMPAS -- Pesawat Fokker F 28 Garuda “Mamberamo” yang terbang dari Palembang menuju Medan Rabu sore, ditemukan pecah berkeping-keping setelah menabrak gunung Meketer pada ketinggian 5.600 kaki (sekitar 1700 meter). Keempat awak pesawat dan 57 penumpang lainnya tewas.
Menurut Menteri Perhubungan Roesmin Nurjadin yang meninjau tempat kejadian Kamis siang, sekembalinya di pelabuhan udara Kemayoran atas pertanyaan Kompas mengatakan, bahwa tampaknya pesawat menyentuh gunung dengan kecepatan cukup besar. Sampai sekarang tidak ditemukan tanda-tanda kehidupan dari tempat kejadian, kata Menteri.
Team SAR yang dipimpin oleh Pangkodau I Marama Ibnu Soebroto sejak Kamis siang sudah berada di tempat kejadian di desa Rajabernah, di lereng sebelah selatan.
Baca juga: Sejarah Kecelakaan Pesawat Indonesia
Kata Menteri Perhubungan, salah seorang anggota team hari Kamis siang mengatakan bahwa flight data recorder (black box) dan voice data recorder sudah ditemukan. “Namun ini belum dikonfirmasi oleh ahli kita,” tambahnya.
Dirjen Kardono yang mendampingi Menteri menambahkan bahwa Tumenggung dari Direktorat Keselamatan Penerbangan dan seorang dokter dari Ditjen Perhubungan Udara, sudah sampai ke tempat lokasi untuk penyelidikan yang mendetil.
Wartawan Kompas Maruli Tobing pukul 12.00 WIB hari Kamis telah mencapai desa Rajabernah. Dengan petunjuk penduduk setempat tiga jam kemudian pada sekitar pukul 15.00, ia mencapai lokasi jatuhnya pesawat. Menurut penduduk setempat, lokasi itu dikenali sebagai bagian dari gunung Pertetekan, salah satu anak gunung Sibayak yang terletak di lereng selatan.
Didapatinya sejumlah anggota team SAR sambil mengumpulkan barang-barang korban yang masih dapat diselamatkan, ditengah potongan-potongan jenazah yang belum sempat terkumpulkan. “Tidak dapat dikenali lagi,” katanya. Umumnya jenazah kedapatan tanpa kepala, dan berserakan dalam radius sekitar dua ratus meter di tempat kejadian itu. Demikian pula hanya sayap dan ekor pesawat yang masih dapat dikenali.
Sekitar pukul 16.00 hari Kamis team SAR mulai membuat landasan darurat untuk pendaratan helikopter. Tetapi pekerjaan itu agak terganggu, karena nampaknya gergaji mesin yang dibawa oleh seorang team SAR itu tidak diisi bahan bakar secukupnya. Terakhir ia melaporkan bahwa pada pukul 17.00 hari Kamis telah dibawa ke Medan satu jenazah bayi tanpa kepala, dan satu kepala manusia dewasa. Keduanya tak dapat dikenali lagi.
Para korban
Ke empat awak pesawat masing-masing adalah pilot AE Lontoh, penerbang memiliki sekitar 7.000 jam terbang, meninggalkan seorang isteri dan tiga putera. Yang tertua baru duduk di kelas I SD. Ketika Kompas mengunjungi kediaman almarhum di kompleks Garuda Kalibata Kamis siang, nampak kesedihan mencekam keluarga yang kehilangan tumpuan harapan mereka ini.
Nyonya Lontoh dalam kerumunan para sanak famili, nampak sama sekali tak dapat berbicara, tenggelam sendiri dalam lamunan kesedihannya. Almarhum memasuki Garuda bulan Mei tahun 1969 sebagai penerbang. Adik kandung almarhum yang juga karyawan Garuda juga nampaknya dalam keadaan kesedihan yang sangat berat. Demikian pula beberapa rekan almarhum lainnya yang tinggal dalam kompleks yang sama, mencoba datang memberikan hiburan.
Orang kedua dalam penerbangan itu adalah co pilot Moh Nurtjahjo (26 tahun), anak ke enam dari keluarga Slamet Ichsanuddin. Pemuda periang dan senang bicara ini menurut teman dekatnya sebenarnya sudah akan menjadi captain Fokker F 28 dalam waktu-waktu sekarang ini. Tetapi maut merenggut pemuda yang masih membujang ini terlalu cepat.
Pramugari Netty Meriyati Pittal Uli br Simatupang (21 tahun) adalah putri ketiga Mayor (purnawirawan) Simatupang. Mahasiswi tingkat III LPKJ, aktifis di lingkungan gereja dan lingkungan karang teruna ini, menamatkan pendidikan pramugarinya pada Desember 1978, dan mulai bekerja pada awal 1979 ini.
Kepada kedua orang tuanya hari Rabu pagi Netty meminta alamat para kerabatnya yang berada di Medan. Karena menurut rencana Netty akan bertugas dalam penerbangan Medan - Banda Aceh dan menginap di Meda selama dua malam.
Pramugari Raflesiawati Anwar Zen (20 tahun) adalah pramugari yang baru bekerja di Garuda pada April 1979 yang lalu. Anak kelima dan bungsu dari bapak asal Bengkulu ibu Maninjau ini, semasa hidupnya adalah gadis periang, kata anggota keluarganya yang ditemui Kompas hari Kamis. Ia hanya sempat sekali menikmati penerbangan ke luar negeri ialah ke Tokyo.
Para penumpang lainnya adalah Badrudin, Tukimin, Sidauruk, Siti Aminah dan Siti Aisah. Dua yang terakhir ini beralamat di Kebayoran, Jakarta. Menyusul Dahniar, Imam Mualim. Dua anak tanpa nama masing-masing berusia 10 dan sembilan tahun. Kemudian Kiman dan Nyonya. Menyusul empat anak-anak masing-masing Suryati (7 tahun), Toban (9 tahun), Tunas (11 tahun), Turik (10 tahun).
Berikutnya Ny Aini Rita, T Mandiangan, Moman, bayi 12 bulan Rohim, Ny Thamrin, Rohim dan nyonya Rohim, Iskandar dan nyonya serta bayinya 12 bulan, Lubis dan seorang anak 10 tahun bernama Edy, Nn Linda Tuntanus, Choa So Tien, Darmie, Nn. Butet, Syamsul Bahri, Ny A Siregar, Ny. E. Sitompul. Tn Antoni, Nn Fadilah, Ny Tobing, Kohua, Lie Tjin Siang, Liem Ben Hok, Nurdin, Rumata Marbun, C. Lamay, Tn. Burhanuddin Siregar dan nyonya, Nn Janti, Nn. Indra Marzuki, Charles Benny, Siahaan Tukiman Wongso, Jati Napitupulu, Suparno, Abdullah (salesman Good Year Jakarta), Hadi Lukman, Nn Rosmami, tuan Siregar dan tuan Siholan Malau.
Menurut sumber Kompas di Posko Polonia, semua jenazah direncanakan akan dimakamkan secara massal di Medan. Sementara itu keluarga korban yang berada di Medan memadati ruangan pelabuhan udara Polonia. Tetapi panitia korban GIA yang dihubungi Kamis malam di Jakarta mengemukakan bahwa Garuda masih tetap pada rencana untuk menerbangkan jenazah korban yang beralamat di Jakarta pada hari Jumat ini.
Belum tersampaikan
Menjawab pertanyaan tentang kemungkinan hubungan peristiwa ini dengan “keresahan” yang baru saja menghantui tubuh perusahaan GIA, Menteri Perhubungan Roesmin Nurjadin Kamis malam mengatakan bahwa ia belum dapat memberikan keterangan secara konklusif. “Kita tak bisa mengambil kesimpulan pagi-pagi, tanpa didukung oleh data. Saya katakan saya tidak menduga ke situ. Dan saya tidak bekerja dengan menduga-duga,” tambahnya.
Tentang urutan kejadian itu Menteri mengemukakan bahwa pada pukul 18.51 WIB pesawat Mamberamo berada pada ketinggian 5.000 kaki (sekitar 1825 meter) diatas Pematang Siantar. Seorang anggota Polri di Pematang Siantar juga menyaksikan ini dan memberitahukannya kepada wartawan Kompas di tempat kejadian.
Empat menit kemudian captain pilot melaporkan kepada menara pengawas di Polonia bahwa ia terbang mendatar dengan ketinggian enam ribu kaki tersebut. Dan pada pukul 18.57 WIB menara pengawas memanggil Mamberamo, tetapi tak terdengar jawaban. Menurut Menteri Roesmin sudah dapat diperkirakan bahwa pesawat menubruk gunung antara pukul 18.55 dan pukul 18.57 WIB.
Baca juga: Seluk-Beluk Investigasi Kecelakaan Penerbangan Sipil di Indonesia
Melihat tempat kejadian, apakah rute terbang Mamberamo tepat sebagai mana biasanya? tanya Kompas. Menurut Menteri rute terbang itu masih perlu di check. Sedang dicari kesaksian dari penduduk di sebelah barat Pematang Siantar, apakah mereka juga mendengar bunyi pesawat yang naas ini.
Dengan demikian baru dapat diketahui dari mana pesawat Mamberamo akan memasuki Polonia. Tetapi Dirjen Kardono segera menambahkan bahwa rute terbang itu dapat berubah menurut keadaan cuaca. Dan semua ini dengan prosedur memberitahu dan mendapat izin dari menara pengawas.
Tetapi dikemukakan bahwa pada jalur sebelah timur juga terbang pesawat DC-8 GIA yang juga hendak mendarat di Polonia dari Jakarta. Izin mendarat hanya berbeda satu menit kemudian setelah Mamberamo.
Tinggal 28 lagi
Pesawat Mamberamo (nama sungai di Irian Jaya) ini mulai dipakai di GIA pada Agustus 1972. Pada hari Rabu yang naas itu Mamberamo sejak pagi diterbangkan dari Palembang - Padang - Pekanbaru - Singapura - Pekanbaru - Palembang.
Untuk memenuhi jadwal penerbangan seminggu tiga kali untuk hubungan Palembang - Medan, Captain Pilot AE Lontoh dengan kawan-kawannya memulai tugasnya untuk menerbangkannya ke Pangkalpinang kembali ke Palembang dan kemudian ke Medan yang ternyata menjadi langkahnya yang terakhir sebelum mencapai tujuan. Agak terlambat dari jadwalnya, pesawat lepas landas pada pukul 15.33 WIB dengan perkiraan tiba di Polonia pada pukul 19.05 WIB.
Pesawat yang dibeli dengan harga tidak kurang dari lima juta dollar AS dalam tahun 1972, diasuransikan pada Lloyd’s di London. Dari 30 pesawat Fokker F 28 dalam armada GIA pada permulaan Maret baru lalu, sebelum ini sudah hilang. Sambas pada peristiwa tabrakan di gunung Bromo. Sambas muncul dalam armada GIA pada Agustus 1975. Dengan demikian kini armada Fokker yang ada tinggal 28 buah.
Mirip Bromo?
Sumber Kompas di Medan mengemukakan bahwa kalau dipatuhi petunjuk dari menara Polonia, dapat dengan segera diketahui bahwa Mamberamo salah arah.
Kata sumber itu, peristiwa Mamberamo ini sangat mirip benar dengan peristiwa Bromo. Jika diperhatikan peristiwa Bromo Maret lalu, diketahui bahwa Sambas ketika itu memang berada agak jauh di luar dari jalur.
Sumber itu menambahkan bahwa sebenarnya kecelakaan yang naas masih dapat diperkecil kemungkinannya, kalau saja radar yang terpasang di Polonia dapat bekerja dengan baik. Sebab melalui radar ini menara dapat mendeteksi dan menuntun semua pesawat yang berada dalam jangkauannya agar dapat menempuh jalur dan posisi terbang yang paling aman. “Kekeliruan-kekeliruan penerbang segera dapat dikoreksi,” katanya.
Namun semua sudah terjadi. (MT/psc/ds/ch/sp/hh/hw)
Arsip Kompas bagian dari ekshibisi "Indonesia dalam 57 Peristiwa", 28 Juni 2022.