YB Mangunwijaya, ”Gruendlich”
Indonesia abad ke-21 nanti, paling lambat tahun 2045, semoga lebih pagi, akan merupakan Republik Indonesia yang jujur ”fair play” dan baik, benar-benar Pancasila, tanpa eksploitasi manusia oleh manusia lain.
Artikel yang ditulis almarhum YB Mangunwijaya berikut ini pernah terbit di harian Kompas edisi 8 Agustus 1998, masih masa awal reformasi. Kami terbitkan kembali artikel tersebut dalam rubrik Arsip Kompas.id sebagai bahan berdialog dengan sejarah sekaligus memperingati Hari Lahir Pancasila.
Zaman reformasi sekarang ini (kita harus realis) masih dikuasai oleh mental-sikap banyak orang berpengaruh yang ikut berseru ”reformasi total”, tetapi sebetulnya enggan setengah hati menghendakinya secara sungguh-sungguh, berdasarkan pertimbangan vested-interests. Maka, perlulah generasi muda dan para senior berpikir. Sekali lagi berpikir, bukan beremosi belaka. Gruendlich, kata orang Jerman, mendasar. Seperti generasi 20-30 yang memikirkan sendi-sendi paling mendasar demi perjuangan mencapai Republik Indonesia yang benar.
Namun, kita sadar bahwa indoktrinasi dan brainwashing selama 30 tahun memang sangatlah mendalam dampaknya dan memerlukan penyembuhan lama. Takhayul pengeramatan hasil-hasil manusia biasa tetapi sudah lama tabu tak boleh disentuh agar diabadikan, seperti batang tubuh UUD ’45 misalnya, amatlah bersiteguh.
Tragis. Menghambat orang mengonsep suatu pembaruan tuntas secara jernih ke yang diminta zaman dan amat dibutuhkan rakyat terbanyak, khususnya yang dina lemah miskin. Banyak alasan semu dan argumentasi permainan pasal-pasal, konstitusional tidak konstitusional dan sebagainya, dilontarkan secara formal-formalan tanpa memperhatikan realitas empiris yang begitu mencolok sehingga orang heran mengapa sekian pakar dan ahli kok begitu tersihir ”berhokus-pokus” dengan macam-macam rumus yang setiap orang tahu sudah kosong tanpa arti.
Namun, semua itu dapat kita pahami dengan penuh pengertian dan maaf meskipun dengan sangat sedih. Adolf Hitler hanya punya 12 tahun brainwashing bangsanya yang pandai berdaya-rasio maupun tradisi budaya-manusia-tuan-jaya penuh harga-diri yang kuat.
Tetapi, Orde Baru punya 30 tahun cuci otak terhadap bangsa yang sederhana, takut, menghamba feodal, diperdungu, sampai lebih suka bertakhayul daripada berpikir. Bayangkan dampak dan akibatnya. Sampai kaum komunis disebut kiri, sampai tidak dapat membedakan mana pemilu yang sah dan yang tidak sah, MPR/DPR yang badutan dan yang sejati, dan sebagainya dan seterusnya. Tetapi, toh semoga kita tetap optimis. Namun, tidak dalam arti naif dungu. Lebih tepat jangan membicarakan optimis atau pesimis. Yang penting: realislah saja.
Tak disangsikan, generasi muda dengan dukungan para senior yang sudah muak dengan Orde Soeharto menginginkan pembaruan tuntas (pengganti istilah reformasi total yang sudah inflasi dan dikooptasi para bunglon dan togog orde korupsi/kolusi/nepotisme).
Menghabisi eksploitasi
Tak disangsikan, generasi muda dengan dukungan para senior yang sudah muak dengan orde Soeharto menginginkan pembaruan tuntas (pengganti istilah reformasi total yang sudah inflasi dan dikooptasi para bunglon dan togog orde korupsi/kolusi/nepotisme). Untuk menolong pemahaman isi artian predikat tuntas itu, dalam Kompas (16 Juli 1998) artikel ”Indonesia yang Antifasis” telah kami wacanakan sinyalemen kenyataan bahwa orde Soeharto adalah orde berhaluan kanan. Pengartian kanan dan kiri sudilah jangan mengacu kepada yang disuapkan indoktrinasi P4, tetapi obyektif melihat historisitasnya dan empiris apa faktanya.
Demikianlah, erat berhubungan dengan yang di atas, pembaruan tuntas pada hakikatnya menyentuh motivasi dasar mengapa Republik Indonesia 17 Agustus 1945 waktu itu didirikan. Yakni: bagaimana dan ke mana Indonesia tercinta kita, agar baik sebagai nasion maupun setiap dan semua pribadi warga negaranya dapat memerdekakan diri secara tuntas sejati dari yang oleh Soekarno Proklamator RI 17.8.45 dieksplisitkan sebagai exploitation de l’homme par l’homme, eksploitasi manusia oleh manusia, khususnya terhadap kaum dina lemah miskin atau marhaen dari segala cabang penghidupan oleh manusia kaya-kuasa-tega.
Lima komponen sistem Orde Baru
Ada hal-hal positif dalam Orde Baru. Namun, karena itu sudah berpuluh-puluh tahun didengungkan (ada yang sungguh nyata ada yang hanya propaganda dan bualan belaka), esai ini ingin mengeksplisitkan yang negatif saja (yang sebagian sudah diketahui umum, sebagian belum banyak diwacanakan). Demi penemuan hal-hal yang harus dicapai bagi Indonesia yang lebih baik di hari depan. Ada lima komponen pokok negatif Orde Baru, yakni:
1) Feodalisme pribumi yang membelenggu, memperdungu, dan melayukan jiwa kawula kecil menjadi hamba-hamba bermental jongos, babu, dan kuli. Dengan segala akibatnya, khusus dalam hal kultural yang formal nonformal informal bukan main pengaruh-dan-dampaknya terhadap penyelenggaraan negara dan masyarakat.
2) Peniruan sistem dan struktur ekonomi eksploitatif kapitalisme Hindia Belanda yang sentralistik diatur mutlak oleh Factorij Batavia, tetapi lewat feodalisme pribumi, menyedot menguras seluruh kekayaan daerah ke pusat. Demi akumulasi kekayaan suatu lapisan tipis di pusat, tetapi mahakaya mahakuasa dengan mental lebih keji-tega-tak-tahu-malu daripada kaum kolonial asing dulu atau neo-kolonial global sekarang. Yang akhirnya pasti akan merupakan tumpukan lahar kebencian dan ledakan vulkanik amuk separatisme akibat ekses-ekses sentralisme yang akan berakselerasi menyeret bangsa kita ke tragedi macam Yugoslavia atau anarki massal.
3) Imitasi fasisme berupa paksaan dan kekerasan yang diwarisi dari sistem model pemerintahan dwifungsi-militer-serta-rekayasa-sosial Balatentara Pendudukan Dai Nippon. Dengan segala metode siksaan fisik dan teror mental dari pihak penguasa, yang menyebarkan kabut ketakutan di seluruh kalangan masyarakat; baik di kalangan atas serta cerdik-pandai maupun dan terutama di kalangan massa rakyat bawah dina lemah miskin.
4) Masih ditambah kontrol keras oleh berbagai visible and invisible networks of transnational super-powers yang beroperasi di Indonesia. Yang berperangai neokolonial-neoimperial dalam dimensi-dimensi ekonomi, sosial, dan budaya global lewat antara lain dan terutama teknokrasi big-industry serta big-business yang amat kompleks, apalagi dalam sistem kapitalisme-konco amat rahasia mekanismenya. Sehingga masyarakat umum semakin sulit mendeteksi, mana yang menguntungkan bangsa dan mana yang sebetulnya hanya penghisapan kaum buruh, petani, pegawai kecil, dan pedagang serta produsen kecil; ditambah segala bentuk penyedotan dan pengurasan sumber-sumber-daya-alam secara besar-besaran, yang munafik mengatasnamakan pembangunan nasional.
5) Komponen ke-5 ialah adat atau kebiasaan atau kebudayaan yang sudah ratusan mungkin ribuan tahun mendominasi seluruh kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya, yang tradisional sudah umum di Asia tetapi khususnya di arkipel Nusantara juga, yakni variabel organisasi-organisasi hitam di bawah tanah maupun terang-terangan dalam lingkup hukum-rimba-tropika jagoan/benggol/gentho kecu/”ninja” darat maupun perompak bajak laut dan sebagainya. Simbol paling menonjol ialah sosok Ken Arok.
Yang merupakan realitas dominator kehidupan sehari-hari Nusantara dengan koneksi-koneksi persekongkolan maupun saingan keras antara ”rekan-rekan seprofesi” mereka, para bajak laut China, Kamboja, Thailand, Melayu, dan sebagainya.
Yang arena operasional mereka kemudian dimasuki para bajak laut baru dari Spanyol, Portugal, Belanda, Inggris, Jerman, Denmark, dan lain-lain.
Yang akhirnya memuncak parahnya dalam fenomena datangnya para perampok Balatentara Dai Nippon waktu Perang Pasifik sampai sekarang dengan segala bentuk Triad dan Yakuza (yang pribumi Indonesia entah apa namanya).
Dan yang mengekspresikan diri juga dengan praktik-praktik model pendudukan Kantor Pusat PDI-Megawati dan pembakaran-pembakaran profesional gereja-gereja, Yogya Plaza di Jakarta, pusat pertokoan di Solo dan di tempat-tempat lain baru-baru ini. Jadi, fasisme yang berkolusi dengan banditisme.
Lima komponen pokok negatif tersebut harus kita hadapi dan entah bagaimana pun kita sudahi secara sistematis oleh dan dalam gerakan seluruh pembaruan tuntas Republik Indonesia. Tidak hanya dengan emosi dan demo. Tetapi terutama dengan pemikiran yang dingin dan pelangkahan praktis sistematis. Apakah itu bukan idealisme utopik yang tidak memperhitungkan bagaimana bobroknya seluruh lapisan Indonesia dalam hal korupsi, kolusi, dan nepotisme dari atas sampai bawah, bahkan di universitas-universitas sekalipun?
Idealisme mungkin ya, tetapi tidak dalam artian khayalan belaka tanpa dasar. Dasar penting ialah keyakinan, paling tidak harapan, bahwa sebagian terbesar rakyat biasa kita pada dasarnya masih menghendaki yang baik, dan niat walaupun hanya lemah, untuk memperbaiki diri.
Pasti mereka menghendaki suatu tanah air dan negara Indonesia yang baik dan dapat dibanggakan. Tidak dalam hal kekayaan dalam suatu gelembung kepongahan Indonesia Raya yang juara dalam membuat pencakar langit dan monumen Garuda serta gebyar-gebyar kesombongan bohong kosong, tetapi sederhana, dalam suatu republik yang manusiawi, adil, dan beradab.
Setiap kali saya melihat gadis dan ibu-ibu serba tertutup, dan biarpun itu hanya tanda lahiriah saja, akan tetapi saya tersenyum dalam hati: Indonesia abad ke-21 nanti, paling lambat tahun 2045, semoga lebih pagi, akan merupakan Republik Indonesia yang jujur fair play dan baik, benar-benar Pancasila, tanpa eksploitasi manusia oleh manusia lain, cerdas dan demokratis. Buah musyawarah suatu Sidang Konstituante yang arif. Jelaslah bukan perkara mudah, tidak segampang berteriak ”Gantung Soeharto! Turunkan Habibie!”. Namun, bukan mission impossible, walaupun still very very difficult.
YB Mangunwijaya, Budayawan