Gerakan literasi yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat bukan baru belakangan ini marak di Tanah Air. Sejak tahun 1970-an, upaya penyadaran secara masif akan pentingnya membaca dan menghitung dengan aksara latin sudah dilakukan dengan berbagai pendekatan.
Harian Kompas edisi 18 September 1978 memberitakan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef menggalang partisipasi masyarakat untuk memberantas buta huruf melalui program “kejar Paket A”. Program yang dimaksud berupa kewajiban belajar bagi anak-anak usia 7-12 tahun. Di samping itu, digalakkan pemberantasan buta huruf melalui kegiatan bekerja dan belajar untuk mengejar ketertinggalan di bidang pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental pembangunan melalui wadah kelompok belajar di desa-desa seluruh Indonesia.
Pada masa itu, UNESCO (badan dunia urusan pendidikan dan kebudayaan), menyokong upaya pemberantasan buta huruf di Indonesia. Gerakan internasional ini mengusung misi memajukan masyarakat dunia lewat kemampuan baca tulis. Kemampuan ini diyakini dapat membuka cakrawala baru bagi manusia untuk lebih mengenal dunia-lingkungannya dan meningkatkan pengetahuan guna memperbaiki taraf hidup.
Menurut sensus tahun 1971, penduduk Indonesia yang tuna aksara sekitar 40 persen (usia 10 tahun ke atas). Diproyeksikan, pada tahun 1981 angka itu masih 21,6 persen atau 22,89 juta orang. Pada waktu itu (1981) jumlah penduduk yang berusia 10 tahun ke atas diperkirakan 106 juta (Kompas, 11/9/1978)
Mengenai program Paket A, pemerintah menyediakan buku Paket 1A-100, berupa bahan-bahan pelajaran yang mampu memberantas tiga kebutaan sekaligus, yakni buta aksara dan angka, buta bahasa Indonesia, dan buta pendidikan dasar. Di sejumlah daerah, kegiatan ini berjalan dengan memanfaatkan rumah ibadah. Di Aceh, misalnya, digalakkan melalui meunasah (surau). Pertimbangannya, jemaah dapat dengan mudah diajari mengenal huruf latin dengan medium huruf Arab.
Bahkan, di era Orde Baru, militer yakni Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI, kini TNI) dilibatkan untuk mengajarkan aksara sampai pelosok kampung. Program ini bertajuk Manunggal Aksara.
Esensi dari kegiatan itu disebut “literasi”. Istilah ini merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Seiring perkembangan teknologi dan target-target capaian global, literasi tidak hanya mencakup kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Sejak 2015, Forum Ekonomi Dunia mengenalkan literasi finansial, digital, dan kesadaran berkebudayaan serta berkewarganegaraan.
Begitulah, pendekatan yang digunakan untuk mencerdaskan bangsa mengalami perubahan istilah dan muatan sesuai situasi masyarakat dan tuntutan zaman. Dari sekadar pemberantasan buta huruf hingga multiliterasi. Cakupan literasi itu sendiri terus meluas, termasuk literasi media dan digital. Kecakapan baca tulis yang tidak ditopang dengan kearifan bermedia berpotensi menimbulkan hoaks.
Data Badan Pusat Statistik melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2018 menunjukkan masih ada 3,29 juta orang atau 1,93 persen dari penduduk Indonesia yang buta huruf. Umumnya, mereka berusia di atas 45 tahun, perempuan, miskin, dan tinggal di perdesaan yang jauh dari pusat kabupaten/kota. (NAR)