Gerbang jalan berbayar elektronik (ERP) di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (30/9/2014) mulai diujicobakan. Jalan berbayar elektronik tersebut rencananya diberlakukan hanya pada jam padat bagi semua jenis kendaraan yang melintas, termasuk sepeda motor dan truk.
Jalan Raya HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, diresmikan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik Ir Sutami. Jalan itu dibangun sejak 1973 untuk mengurangi kemacetan dan kepadatan lalu lintas. Diharapkan, dengan selesainya jalan tersebut, kepadatan lalu lintas di Jalan Jenderal Sudirman dapat berkurang 30 persen. Di jalan ini dibangun jembatan beton ”Latuharhary” yang melintasi kanal banjir, jalan raya, rel kereta api, dan waduk.
Kemacetan Jakarta Sudah Jadi Isu Sekian Dekade
Jalan HR Rasuna Said masih lengang saat diresmikan tahun 1976. Di kiri-kanan jalan masih banyak tanah kosong. Bahkan ke belakang lagi, di wilayah Kuningan, ketika itu masih cukup rimbun dengan pohon kecapi, kedondong, sukun, dan lainnya.
Penduduk, yang kebanyakan adalah orang-orang asli, masih banyak yang memelihara kambing, sapi, bahkan kuda. Susu segar yang dihasilkan dari peternak sapi di daerah itu dijual keliling dengan sepeda onthel. Jangkauan jelajah penjual susu itu antara lain sampai ke Kebayoran Baru. Adapun pemilik kuda menggunakan hewan peliharaannya untuk menarik delman.
Antisipasi yang dilakukan pemerintah dengan membuka Jalan Rasuna Said sudah sangat tepat. Dengan dilintasi 420.000 kendaraan, Jalan Sudirman-Thamrin sudah padat sehingga Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik Sutami meminta warga memanfaatkan Jalan Rasuna Said sebagai alternatif menuju pusat kota. Kepadatan atau kemacetan Jakarta agaknya sudah menjadi isu.
Isu itu terus relevan hingga kini. Dengan perkembangan yang ada sekarang, hampir tidak mungkin mengharapkan Ibu Kota tanpa kemacetan. Peringatan bakal mampetnya Ibu Kota sudah berulang-ulang disampaikan banyak pihak. Namun, lalu lintas bukannya semakin lancar, kemacetan semakin menjadi-jadi.
Kawasan Kuningan termasuk wilayah langganan macet. Data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan beratnya persoalan. Tahun 2015, jumlah mobil saja tercatat 3.469.168 unit. Jumlah sepeda motor malah lebih besar lagi, yakni 13.989.590 unit. Sebaliknya, angkutan umum sangat minim, hanya 60.465 kendaraan. Pertumbuhan jumlah kendaraan seperti tak terbendung.
Menurut BPS, pertumbuhan kendaraan pribadi 7,4 persen dan sepeda motor 8,2 persen. Yang mengenaskan, justru pertumbuhan angkutan umum minus 8,6 persen.
Kalau kecenderungannya seperti itu, siapa pun yang memimpin Jakarta, persoalan kemacetan tak bisa dipecahkan. Barangkali ide memindahkan Ibu Kota akan manjur mewujudkan Jakarta tanpa kemacetan. (RET)