Republik Ide, Pengorbanan, dan Kebangkitan Indonesia
Di tengah kebangkrutan moral di kalangan pemimpin, bangsa ini membutuhkan keteladanan moral yang luhur, yang dimulai dari para pemimpin, agar berdiri di garda terdepan dalam mewujudkan cita-cita negara Indonesia.
Oleh
SUKIDI
·3 menit baca
DOKUMENTASI
Sukidi
Demokrasi elektoral yang dikendalikan politik uang telah memproduksi banyak pemimpin yang berjiwa kerdil. Alih-alih memperjuangkan bangsa Indonesia yang bersih dari korupsi, sesuai amanah Reformasi, mereka justru bangga dalam memperebutkan kekuasaan dengan politik uang dan, konsekuensinya, menyelenggarakan negara dengan praktik korupsi. Keserakahan telah memperbudak mentalitas pemimpin untuk menumpuk kekayaan pribadi dengan mengorbankan hajat hidup rakyat banyak.
Padahal, sebagai ”proyek bersama”, demikian Benedict Anderson berpidato tentang Indonesian Nationalism Today and in the Future, di Jakarta, Kamis (4/3/1999), nasionalisme Indonesia ”menuntut pengorbanan diri [dari para pemimpin], bukannya malah mengorbankan orang lain. Inilah mengapa tidak pernah terlintas dalam pikiran para pejuang kemerdekaan bahwa mereka memiliki hak untuk membunuh warga Indonesia lainnya; sebaliknya, mereka harus memiliki keberanian untuk dipenjara, dianiaya, dan diasingkan demi kebahagiaan dan kebebasan sesama warga negara di masa depan”.
Pidato Ben Anderson ini seyogianya menyadarkan semua pemimpin sekarang bahwa Republik Indonesia ini dibentuk dan didirikan dengan amat susah payah oleh para pendiri bangsa dengan pergulatan ide, pengorbanan, dan perjuangan. Jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan dibacakan pada 17 Agustus 1945, ide Republik Indonesia sudah lama dipikirkan dan dirumuskan secara tertulis oleh Tan Malaka melalui Naar de Republiek Indonesia pada tahun 1925, oleh Hatta melalui Indonesia Merdeka pada tahun 1928, dan oleh Soekarno melalui Mencapai Indonesia Merdeka pada tahun 1933.
Ketiga bapak pendiri bangsa itu juga menunjukkan spirit pengorbanan diri (self-sacrifice), melalui pengasingan dan penderitaan hidup, hanya demi meraih kemerdekaan Indonesia, sekalipun dengan pilihan dan orientasi perjuangan yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Perjuangan bersama untuk menumbuhkan kesadaran nasionalisme Indonesia muncul, terutama karena memiliki apa yang dikonseptualisasikan secara sempurna oleh Ben Anderson (1999) sebagai ”sebuah tujuan bersama dan sekaligus masa depan bersama”, dengan disatukan oleh ikatan tali ”persaudaraan horizontal yang dalam”.
Pembicaraan antara Presiden Sukarno dengan Wakil Presiden Moh. Hatta sekitar pembentukan Kabinet. (Juni 1953).
Rasa persaudaraan yang dalam antarwarga, sebagai sesama koloni Belanda, dengan hasrat kuat untuk suatu tujuan dan masa depan hidup bersama secara merdeka dan makmur, akhirnya berhasil mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan. Di tengah pudarnya kesadaran sejarah tentang pergerakan nasionalisme Indonesia, para pemimpin sekarang harus sepenuhnya menjiwai pikiran, pengorbanan, dan perjuangan para pendiri bangsa agar mereka lebih mampu meneladani keteladanan moral yang luhur dari para pendiri bangsa.
Di tengah kebangkrutan moral di kalangan pemimpin, bangsa ini membutuhkan keteladanan moral yang luhur, yang dimulai dari para pemimpinnya sendiri, agar berdiri di garda terdepan dalam mewujudkan cita-cita negara Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Lebih dari itu, para pemimpin juga terikat pada mandat konstitusional untuk mewujudkan ide, cita-cita, dan perjuangan para pendiri bangsa tentang Indonesia sebagai negara yang ”merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”.
Kemerdekaan memang telah diraih lebih dari 76 tahun silam, tetapi persatuan, kedaulatan, keadilan, dan kemakmuran yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa justru makin jauh dari kenyataan. Inilah bentuk kesenjangan terbuka antara apa yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa dan kenyataan penyelenggaraan kehidupan berbangsa hari-hari ini.
Perayaan Hari Kebangkitan Nasional merupakan momentum yang tepat untuk meneladani perjuangan nasionalisme Indonesia modern yang telah dimulai sejak tahun 1908 melalui pergerakan Boedi Oetomo dan mencapai titik kulminasi pada terwujudnya impian kemerdekaan Indonesia yang dideklarasikan oleh Soekarno dan Hatta. Momentum bersejarah itu juga menjadi ”kompas” bersama bagi para pemimpin dalam etika penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara hari-hari ini dan ke depan.
KOMPAS/MADINA NUSRAT
Aktivis perempuan serukan Kebangkitan Nasional Jilid II di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, Sabtu (3/6).
Patut disadari sepenuhnya bahwa kebangkitan Indonesia hari-hari ini dan ke depan hanya terwujud jika muncul suatu kesadaran yang berskala nasional dan masif, terutama di kalangan para pemimpinnya, agar rela berkorban untuk kepentingan bangsanya, rela hidup sederhana untuk kesejahteraan rakyatnya, rela mengikatkan diri pada tali ikatan persatuan dan kesatuan demi kemajuan negerinya, dan rela mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di tengah kesenjangan yang makin memprihatinkan. Semua itu membutuhkan bukan sekadar komitmen dan janji, melainkan juga keteladanan moral yang luhur.
Di tengah kebangkrutan moral di kalangan pemimpin, bangsa ini membutuhkan keteladanan moral yang luhur, yang dimulai dari para pemimpinnya sendiri, agar berdiri di garda terdepan dalam mewujudkan cita-cita negara Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.