Inflasi barang konsumsi bisa semakin tak terkendali jika kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen jadi diberlakukan pada 1 April 2022.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
Kebuntuan perundingan Rusia-Ukraina membuat pasar energi dunia semakin tertekan. Hal ini membuat harga minyak mentah terus tinggi. Harga minyak mentah jenis Brent, misalnya, tak pernah lebih rendah dari 110 dollar AS per barel sejak Februari 2022.
Selain lonjakan harga minyak mentah, dinamika geopolitik di belahan timur Eropa itu juga melilit rantai pasokan gandum global. Kedua komoditas ini terdampak karena Rusia merupakan negara penghasil minyak utama, sementara Ukraina adalah salah satu pemasok gandum terbesar di pasar dunia.
Dalam pidatonya di Sidang Terbuka Senat Akademik Dies Natalis Ke-46 Universitas Sebelas Maret (UNS), Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa pemerintah mulai mewaspadai risiko melonjaknya inflasi akibat gangguan rantai pasok global.
Tidak kunjung meredanya tensi geopolitik antara Rusia dan Ukraina telah mengerek inflasi pangan di Amerika Serikat (AS) hingga 6,9 persen, Rusia sebesar 12,3 persen, bahkan Turki mencapai 55 persen. Adapun di dalam negeri, Presiden mengatakan bahwa tingkat inflasi pangan terkendali di angka 3,4 persen.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pengendara sepeda motor mengisi bahan bakar di salah satu SPBU Pertamina di Jakarta Barat, Senin (7/3/2022).
Meskipun inflasi pangan di dalam negeri terlihat lebih rendah daripada negara-negara Eropa dan Amerika, pemerintah tetap perlu mewaspadai tren pergerakan inflasi ini untuk memastikan daya beli masyarakat tidak terganggu.
Perlu diingat, selain gangguan pasokan komoditas pangan, pasar global juga dihadapkan pada kelangkaan energi. Perundingan AS dengan Iran dan Venezuela untuk pembelian minyak masih buntu saat negara adidaya beserta sekutunya ini telah memberlakukan sanksi pelarangan impor minyak Rusia. Kondisi ini berisiko kian meningkatkan harga minyak dunia dan membatasi pasokan.
Situasi yang terjadi di dunia saat ini menjadi alarm bagi pemerintah karena efek gangguan rantai pasok global di sektor pangan dan energi sangat mudah memicu inflasi di dalam negeri.
Tren kenaikan inflasi yang demikian terjadi bukanlah penanda menguatnya permintaan atau daya beli masyarakat. Inflasi tersebut lebih disebabkan oleh dorongan kenaikan biaya produksi atau cost push inflation.
Untuk mencegah rembetan inflasi dari pasar global, pemerintah sejauh ini berupaya keras mempertahankan stabilitas harga pangan dan energi di dalam negeri.
Salah satunya adalah pemerintah masih menahan kenaikan harga jenis bahan bakar minyak (BBM) yang paling banyak dikonsumsi masyarakat, seperti pertalite dan pertamax. Namun, pemerintah tentunya memiliki keterbatasan untuk tetap menjaga stabilitas harga di tengah ketidakpastian ekonomi global saat ini.
Pemerintah telah menetapkan harga minyak dalam asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 sebesar 63 dollar AS per barel. Artinya, jika harga minyak mentah dunia tidak kunjung normal, APBN akan terbebani subsidi dan kompensasi energi sepanjang harga BBM tetap dipertahankan seperti sekarang.
Dari sisi bahan pangan, pergerakan harga beberapa komoditas pangan mengalami peningkatan sejak Februari 2022. Kondisi ini akan berdampak pada laju inflasi pada bulan ini dan April. Terlebih lagi terdapat pola musiman kenaikan harga bahan pangan, yaitu momentum Ramadhan dan Idul Fitri.
Inflasi barang konsumsi bisa semakin tak terkendali jika kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen jadi diberlakukan pada 1 April 2022. Jika ketentuan ini dijalankan, pelaku usaha akan merespons dengan melakukan penyesuaian harga.
Lalu, bagaimana solusinya untuk menghadapi ancaman lonjakan inflasi? Dari sisi fiskal, salah satu siasat dan mitigasi risiko untuk mengantisipasi lonjakan inflasi tentu dengan menunda kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen.