Pembunuhan Smissaert, Residen Bangka Belitung di masa Hindia Belanda, pada 14 November 1819 diselimuti banyak hoaks.
Oleh
Linda Christanty
·4 menit baca
Sejarah dunia tidak luput dari hoaks, begitu pula sejarah Indonesia. Penyebabnya bermacam-macam, mulai dari ambisi pengarang memasukkan informasi atau data yang belum terverifikasi hingga kesengajaan menghilangkan, merancukan, memalsukan, atau mengamputasi fakta dengan motif tertentu. Salah satu kisah sejarah yang didera hoaks adalah pembunuhan Smissaert, Residen Bangka Belitung di masa Hindia Belanda, pada 14 November 1819.
Orang Bangka percaya Batin Tikal memenggal kepala Smissaert dan membawanya sendiri ke Benteng Kuto Besak di Palembang untuk diserahkan kepada Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai tanda persekutuan sesama pejuang antikolonial. Ada saksi-saksi langsung peristiwa itu. Ada naskah-naskah yang ditulis keturunan para saksi. Namun, semua itu gagal menangkal hoaks.
Peneliti Asia Tenggara, Mary F Somers Heidhues, malah penyebut nama pelaku lain dalam bukunya, Bangka Tin and Mentok Pepper: Chinese Settlement on an Indonesian Island (1992). Dia mengutip memoar Frans Epp, Schilderungen aus Ostindiens Archipel (1841), yang mengisahkan pertemuan Epp dengan Depati Bahrin, orang Melayu yang mengaku membunuh Smissaert. Epp adalah dokter Jerman yang bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda di Pulau Bangka (1836-1838).
Meski mengutip memoar Epp, Somers sebenarnya ragu terhadap informasi itu. Dia lalu menulis bahwa Bahrin ”membunuh Smissaert atau menyuruh membunuhnya”. Kata ”membunuh” dan ”menyuruh membunuh” adalah dua kata kerja berbeda dengan pelaku-pelaku berbeda. Siapa pun pelaku pembunuhan pejabat tertinggi kolonial di suatu tempat di masa itu mustahil lolos dari hukuman berat, sedangkan Bahrin tidak dihukum sama sekali. Paling masuk akal adalah Bahrin bukan pelakunya dan tidak terlibat pembunuhan Smissaert.
Namun, Somers tidak ragu mengungkap fakta yang terverifikasi ini, ”Akhirnya Bahrin membiarkan diri untuk ’disuap’ dengan mendapat pensiun seumur hidup pada 1828. [….] Depati Bahrin menghabiskan hari-harinya dengan keluarganya dan meninggal pada 1848.”
Selama 20 tahun terakhir hidupnya Bahrin menikmati pensiun dari pemerintah kolonial. Epp mengingatnya ”senang berjudi”.
Farida R Wargadalem, pengajar sejarah di Universitas Sriwijaya, menulis catatan kaki tentang pembunuhan Smissaert dalam bukunya, Kesultanan Palembang dalam Pusaran Konflik (1804-1825), dengan mengabaikan fakta, tanpa melakukan verifikasi tentang peristiwa tersebut, dan membuat kesalahan fatal dengan menyatakan Smissaert dibunuh pasukan berkekuatan 150-200 orang yang dipimpin Batin Bahrin. Tidak sedikitpun dia menyebut tentang Batin Tikal. Buku ini disertasi doktoralnya di Universitas Indonesia pada 2012. Sumbangsih Farida tentu ada, yaitu dia memastikan gelar Bahrin bukan depati, melainkan batin.
Belasan tahun silam, adik saya Tubagus Budi Tikal, yang gigih mengumpulkan kisah para saksi sejarah Bangka Belitung bertemu seorang pensiunan jaksa di Pangkalpinang, yang memberi akses membaca naskah warisan keluarganya. Naskah itu ditulis Raden Ahmad, kakek kandungnya dari sebelah ayah, dan Abang Abdul Jalal, rekan sang kakek. Naskah bertahun 1925 itu cukup tebal. Lembar kertasnya seukuran folio.
Naskah itu berisi keterangan bahwa Batin Tikal memenggal kepala Smissaert lalu menyerahkannya sendiri kepada Sultan Mahmud Badaruddin II di Benteng Kuto Besak. Nasib Batin Tikal juga tercantum dalam naskah. Dia dibuang pemerintah kolonial Belanda ke Manado, Sulawesi Utara, bersama keluarganya dan sejumlah pengikutnya.
Raden Ahmad adalah cicit kandung dan pelanjut nasab Sultan Mahmud Badaruddin II, sekutu Batin Tikal dalam melawan kolonial. Batin Tikal yang dimaksud dalam naskah bernama asli Ahmad atau Syeh Ahmad, cicit kandung dan pelanjut nasab Syeh Yusuf Al Makassari, mufti agung Kesultanan Banten.
Keterangan janda Tumenggung Kertanegara I, yaitu perempuan Tionghoa asal kota Koba, yang mengetahui perlawanan Batin Tikal di Pulau Bangka, melengkapi naskah itu.
Mengapa naskah tersebut tidak diterbitkan sebagai buku? Kebenaran belum tentu menyenangkan semua pihak, kata sang pewaris naskah. Dia lalu memperlihatkan denah silsilah pada naskah lain, yang menunjukkan Sultan Banten dan Sultan Palembang merupakan satu keturunan dari garis laki-laki dan pelanjut nasab Sayyid Husein Jamaluddin Al Akbar, orang Yaman yang dikuburkan di Tosora, Kerajaan Wajo, sekarang dikenal sebagai Kabupaten Wajo, di Provinsi Sulawesi Selatan.
Hoaks paling fatal tercantum dalam naskah akademik yang dibuat untuk mengajukan Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III dari Kesultanan Riau Lingga) jadi pahlawan nasional Indonesia pada 2017. Naskah itu mengisahkan sang sultan mengirim bantuan pasukan bersenjata ke Kesultanan Palembang dan Bangka Belitung untuk memerangi kolonialisme Barat selama dia berkuasa (1770-1811). Omong kosong. Sultan ini lahir pada 24 Maret 1756 dan meninggal pada 12 Januari 1811. Palembang baru mulai berperang melawan kolonialisme Barat pada September 1811, ketika dia sudah jadi mayat dan digerogoti cacing.
Faktanya lebih mengerikan. Sultan Mahmud Riayat Syah justru memerintahkan agresi terhadap Kesultanan Palembang di masa Sultan Muhammad Baharuddin dan berlanjut di masa Sultan Mahmud Badaruddin II.
Perang terbesar Palembang dan rakyat Bangka melawan Riau Lingga berlangsung di Kurau, Bangka, pada 1805. Pasukan bajak laut yang dipimpin Panglima Raman, panglima perang Riau Lingga, terpaksa berlayar meninggalkan Bangka selamanya sambil membawa Anggur alias Depati Karim dan Bahrin, putra Anggur yang belum mumayyiz (di bawah usia 12 tahun). Anggur tewas di kapal di tengah pengejaran pasukan Kesultanan Palembang. Kejahatannya meliputi pengkhianatan terhadap negara, pencurian timah, dan bajak laut.*