Persoalan kebisingan ini tentunya tak hanya terkait dengan telinga. Kebisingan juga menyebabkan berkurangnya sikap menolong orang lain dan cenderung berperilaku agresif.
Oleh
Ahmad Najib Burhani
·5 menit baca
Lanskap (landscape)dan landmark sudah menjadi sesuatu yang umum dan bahkan normatif dalam membicarakan tentang penataan kota dan lingkungan. Namun, pembicaraan tentang soundscape atau sonic environment, soundmark dan smellscape masih belum menjadi sesuatu yang biasa, termasuk dalam diskusi di lingkungan akademik.
Apa yang dikategorikan sebagai sumber gangguan suara memang bisa beragam. Suara motor dengan knalpot tanpa peredam suara, pembangunan rumah dan gedung, klakson yang bersahutan dari patroli dan pengawalan (patwal) atau voorijder (polisi pembuka jalan), iringan motor gede (moge) di akhir pekan, azan dan puji-pujian (chanting) di rumah ibadah dengan menggunakan pengeras suara, dan juga musik dengan volume tinggi adalah beberapa contoh. Bahkan, sebagian orang terganggu dengan suara pedagang tahu bulat yang menjajakan dagangannya dengan pengeras suara dari satu perumahan ke perumahan lain. Jika tidak ada regulasi yang komprehensif, tak jarang hal ini akan menimbulkan konflik atau persoalan.
Memang ada pemahaman dan keberterimaan yang berbeda di setiap masyarakat terkait dengan isu suara. Di kampung-kampung tertentu yang cenderung homogen dalam keagamaan, misalnya, suara azan dan puji-pujian lima kali sehari melalui pengeras suara dianggap sebagai kenormalan, bukan kebisingan. Namun, bagi orang asing yang tak biasa dengan suara itu akan menganggapnya sebagai kebisingan atau gangguan dan bahkan menyebabkan kepindahan dari tempat itu.
Suara gonggongan anjing tidak dianggap sebagai gangguan suara pada masyarakat tertentu, tetapi sebagian orang menjadi tak bisa tidur atau nyaman bekerja ketika mendengarnya. Mereka yang hidup di samping rel kereta api barangkali sudah tak lagi menganggap deru suara kereta yang selalu berulang-ulang di samping rumahnya sebagai kebisingan.
Meski pemahaman terkait kebisingan itu relatif, nyatanya konflik terkait suara acap terjadi. Beberapa waktu lalu, misalnya, seorang pengusaha di Pondok Indah menodongkan pistol ke pekerja bangunan karena merasa terganggu dengan proses pembangunan rumah tetangganya itu. Pada 2016, Meliana yang mengeluhkan bunyi pengeras suara dari masjid yang ada di depan rumahnya di Tanjung Balai, Sumatera Utara, harus dipenjara selama dua tahun. Karena terganggu knalpot bising, Sijaya menikam tetangganya hingga tewas (Detik, 28/3/2018). Di Medan, seorang pria menganiaya tetangganya dengan batu dan tombak hingga tewas karena terganggu dengan suara musik yang terlalu keras (Kompas 28/7/2019).
Seperti dikemukakan oleh Christina Eviutama Mediastika dalam diskusi The Sound of Indonesian Cities yang diselenggarakan di Pusat Riset Kependudukan BRIN pada 22 Maret 2022, apa yang awalnya merupakan persoalan perdata, kadang berubah menjadi persoalan pidana.
Protes terhadap suara sering tak mendapat tanggapan seperti yang diharapkan. Bahkan, ketika ada protes terhadap suara, kadang jawabannya justru seperti menormalkan kebisingan itu. Beberapa orang merespons protes kebisingan dengan berkata: ”Kalau tidak mau terganggu dengan kebisingan, tinggal saja di kuburan” atau ”kalau mau sepi, ya tinggal di hutan saja” (Mediastika 2022). Jadi, ketika ada yang mengeluh tentang kebisingan, maka orang yang mengeluh itu yang justru dianggap aneh atau tidak normal. Akhirnya, kita makin lama dipaksa menerima kebisingan dan menganggap kebisingan itu sebagai sesuatu yang wajar dan tidak boleh dikeluhkan. Sebagian lagi memilih diam, tak bersuara atau mengeluh sendirian ketika mendengar suara bising yang ada di sekitarnya.
Data menyedihkan terkait rendahnya kepedulian terhadap isu suara ini diungkapkan Mediastika. Dalam 13 tahun terakhir hanya ada 180 kasus terkait kebisingan. Dari jumlah tersebut, 60 kasus di antaranya terkait suara knalpot. Sementara jumlah kasus suara yang dibawa ke pengadilan, dalam 11 tahun terakhir, hanya 41 kasus. Dari jumlah tersebut, 44 persen di antaranya berakhir dengan kekalahan karena dianggap tak mempunyai legal standing. Inilah di antaranya yang menyebabkan orang lantas main hakim sendiri jika menghadapi kasus suara, seperti menyerang mereka yang membuat kebisingan.
Persoalan kebisingan ini tentunya tak hanya terkait dengan telinga. Seperti ditulis Freek Colombijn dalam Toooot! Vroooom! The Urban Soundscape in Indonesia (2007), dengan mengutip sebuah studi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ia menyebutkan bahwa kebisingan bisa menyebabkan gangguan istirahat dan tidur yang berdampak pada naiknya tekanan darah, amplitude denyut jantung, cepat lelah, dan suasana hati yang tertekan. Jika orang terlalu sering mendengarkan kebisingan, maka bisa timbul hipertensi dan penyakit jantung. Secara perilaku, kebisingan juga menyebabkan berkurangnya sikap menolong orang lain dan cenderung berperilaku agresif.
Beberapa waktu lalu Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengeluarkan Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Pengaturan tentang pengeras suara ini diperlukan agar tidak mengganggu masyarakat sekitar. Panggilan untuk shalat atau ajakan untuk makan sahur di bulan Ramadhan yang merupakan kegiatan mulia akan berubah menjadi gangguan ke masyarakat jika disampaikan dengan cara tidak tepat, seperti berteriak sekeras-kerasnya pada pukul 02.00 pagi.
Sebagai respons terhadap suara dari masjid, ada kasus menarik di Manado. Seperti ditulis Colombijn, gereja di sana pun akhirnya memasang pengeras suara di puncak bangunannya. Tidak ada kepentingan dan tujuan khusus dari pemasangan itu kecuali to make sound too (sekadar membuat suara). Mirip dengan tempat ibadah di Indonesia, pada kunjungan penulis ke Qadian, India, pada 2016, beberapa Gurdwara (tempat ibadah Sikh) juga melantunkan chanting dengan pengeras suara setiap pagi hari sebelum subuh hingga matahari terbit.
Terakhir, melihat ragamnya isu suara, Surat Edaran Menteri Agama di atas menjadi terlihat sektoral dan menyasar satu aspek saja dari persoalan soundscape di Indonesia. Perlu aturan yang lebih luas. Jika tidak, kita lama-lama akan menormalkan kebisingan yang berdampak negatif pada kesehatan atau menjadi anarkistis dan main hakim sendiri setiap berhadapan dengan kasus suara.
Ahmad Najib Burhani
Profesor Riset di BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional)