logo Kompas.id
TajaSemangat Generasi Muda Menjaga...

Semangat Generasi Muda Menjaga Warisan di Tengah Arus Modernitas

Generasi muda diajak untuk merangkul kembali warisan budaya Indonesia melalui pendekatan berkelanjutan, sebagaimana ditekankan oleh PT RGE Indonesia dan Harian Kompas dalam workshop inspiratif di Bentara Budaya Jakarta.

RGE Indonesia
Artikel ini merupakan kerja sama antara harian Kompas dan RGE Indonesia.
· 6 menit baca
Sustainability Workshop
CM KOMPAS/ADI YUWONO

Royal Golden Eagle (RGE) Indonesia bekerja sama dengan Harian Kompas/Kompas.id menggelar Sustainability Workshop “Menjaga Warisan Budaya dengan Praktik Berkelanjutan” di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (4/7/2025).

Di tengah hiruk pikuk modernitas dan laju perubahan yang tak terbendung, banyak dari kita, terutama generasi muda, dihadapkan pada pilihan besar, yaitu “Membiarkan tradisi memudar perlahan, atau merangkulnya dengan cara baru yang lebih lestari?”

Jumat (4/7/2025), di sebuah ruang hangat dan sarat nilai di Bentara Budaya Jakarta, puluhan mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi berkumpul bukan sekadar untuk belajar, tetapi juga merenung, bereksperimen, dan menyentuh kembali akar-akar budaya Indonesia.

Dalam Sustainability Workshop “Menjaga Warisan Budaya dengan Praktik Berkelanjutan” yang digelar oleh Harian Kompas/Kompas.id, melalui Kompas institute, dan Royal Golden Eagle (RGE) tersebut, suasana akrab dan antusias terasa sejak awal. Para peserta hadir dengan semangat yang sama, ingin menjaga bumi sekaligus melestarikan budaya.

Deputy Head of Corporate Communications PT RGE Indonesia Agus Hidayat menegaskan pentingnya peran gerenasi muda dalam menjaga nilai-nilai budaya dengan cara yang tepat dan lebih mengedepankan kelestarian.

“Hari ini kita akan melihat bagaimana kolaborasi yang dilakukan oleh industri seperti RGE Group turut melestarikan budaya Indonesia, tentu saja sesuai dengan porsinya. Kami meyakini, hasilnya akan semakin optimal ketika kita bisa berkolaborasi lebih kuat lagi dengan semua pihak, mulai dari industri, komunitas, pelaku budaya, mahasiswa, dan masyarakat. Teman-teman mahasiswa yang ada di ruangan ini harus ikut ambil bagian, karena masa depan negara ini ada di tangan kalian,” ujar Agus saat membuka sesi diskusi.

Agus juga mengungkapkan, RGE pada prinsipnya selalu menerapkan nilai-nilai 5C, yaitu melakukan apa yang baik bagi masyarakat (Community), negara (Country), iklim, (Climate), pelanggan (Consumer), dan dengan begitu akan baik bagi perusahaan (Company).

Deputy Head of Corporate Communications PT RGE Indonesia Agus Hidayat
CM KOMPAS/ADI YUWONO

Deputy Head of Corporate Communications PT RGE Indonesia Agus Hidayat mengajak generasi muda untuk terus menjaga warisan budaya dengan praktik-praktik berkelanjutan.

“Acara hari ini menjadi awalan dari berbagai macam kerja sama, dan semoga kolaborasi di masa depan akan lebih kuat lagi. Kami juga berharap agar kita bisa terus bekerja sama melakukan berbagai upaya untuk ikut mencerahkan Indonesia ke depannya,” tegas Agus.

Wakil Redaktur Pelaksana Harian Kompas/Kompas.id Andreas Maryoto juga mengatakan pentingnya upaya-upaya pelestarian. “Kerja sama Harian Kompas dengan RGE dan partner lainnya, di antaranya melalui workshop tentang praktik bekelanjutan ini, menjadi peluang menarik bagi generasi muda, termasuk mahasiswa, tanpa memandang bidang ilmu yang digeluti. Karena mereka yang bisa survive di masa depan adalah mereka yang mau belajar di luar bidang ilmu,” ujarnya.

Kesadaran sejak dini

Pada sesi diskusi, hadir sebagai narasumber di antaranya Co-Founder EcoTouch Christina Harjanto, Head of Corporate Communications Apical Group Prama Yudha Amdan, Head of Corporate Communications Asia Pacific Rayon (APR) Reviana Surya, dan Creative Director and Innovative Fashion Designer Andandika Surasetja. Sesi ini dimoderatori oleh Kepala Desk Budaya Harian Kompas Hilmi Faiq.

Christina mengungkapkan, anak-anak muda memegang peranan penting dalam gerakan keberlanjutan, termasuk dalam urusan pakaian. Mereka bukan hanya menjadi konsumen aktif, tetapi juga pembentuk tren yang sadar akan dampak lingkungan dari gaya hidup mereka.

Ia juga menekankan pentingnya kesadaran sejak dini, bahkan dari pemilihan bahan pakaian. Misalnya, katun biasa ternyata membutuhkan puluhan tahun untuk terurai dan selama prosesnya melepaskan kontaminan ke lingkungan. “Sayangnya, lebih dari 60 persen pakaian yang kita pakai hari ini berakhir di tempat pemrosesan akhir (TPA), bahkan setelah disumbangkan,” ungkap Christina

Hal-hal kecil seperti mengetahui bahan pakaian dan ke mana pakaian itu berakhir setelah tidak terpakai bisa menjadi langkah awal menuju perubahan besar. Anak muda kini semakin peduli terhadap apa yang mereka konsumsi dan cerita di balik barang-barang yang mereka beli.

Co-Founder EcoTouch Christina Harjanto
CM KOMPAS/ADI YUWONO

Co-Founder EcoTouch Christina Harjanto menekankan pentingnya kesadaran sejak dini dalam menjaga lingkungan, bahkan mulai dari pemilihan bahan pakaian.

“Mereka juga tidak ragu meluangkan waktu untuk mempelajari budaya dan praktik keberlanjutan lokal. Tanpa dukungan generasi ini, industri daur ulang tekstil pun sulit berkembang karena bergantung pada adanya permintaan pasar yang didorong oleh tren positif dari generasi muda,” jelas Christina.

Sebuah keharusan

Pada sesi diskusi, Andandika mengatakan, sustainability dalam industri fashion kini bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan yang tak terpisahkan. Sebagai salah satu penyumbang pencemaran lingkungan terbesar, fashion berada di bawah sorotan global. Karena itu, para pelaku industri seperti desainer, produsen, dan pembeli label dituntut untuk lebih bertanggung jawab dalam setiap prosesnya.

Ia juga mengungkapkan, meski awalnya tidak berangkat dari pendekatan berkelanjutan, banyak desainer kini mulai menyadari bahwa konsep sustainability mencakup spektrum yang sangat luas, mulai dari desain hingga praktik produksi yang etis.

“Dengan bekerja bersama komunitas kecil, memberdayakan perempuan, hingga melestarikan teknik tradisional seperti bordir dan sulam, kita secara tidak langsung menjaga warisan budaya sekaligus menciptakan produk yang relevan dengan masa kini. Inilah salah satu bentuk sustainability yang bersifat organik, tumbuh dari nilai, proses, dan kesadaran, bukan sekadar tren industri,” tegas Andandika.

Sustainability Workshop Kompas dan RGE
CM KOMPAS/ADI YUWONO

Masiswa dari berbagai perguruan tinggi antusias mengikuti sesi diskusi pada Sustainability Workshop “Menjaga Warisan Budaya dengan Praktik Berkelanjutan” yang digelar oleh Harian Kompas/Kompas.id dan Royal Golden Eagle (RGE).

Sementara itu, terkait dengan “malam” batik atau lilin yang digunakan dalam proses membatik, Prama menjelaskan, Apical Group tengah mengembangkan lilin batik berbasis kelapa sawit. “Malam batik yang kita produksi memberikan keunggulan bagi teman-teman UMKM karena lilin batik berbasis sawit ini dapat menghemat 50 persen dibandingkan malam batik berbasis parafin,” jelasnya.

Kehadiran malam batik berbasis sawit, lanjut Prama, bukan sekadar bentuk apresiasi kepada masyarakat atau UMKM, tetapi juga merupakan gerakan sustainability untuk melestarikan budaya Indonesia.

Ramah lingkungan

Di tengah meningkatnya kesadaran akan pentingnya keberlanjutan dalam industri fashion, kehadiran Asia Pacific Rayon (APR) menjadi angin segar. Berlokasi di Pangkalan Kerinci, Riau, APR merupakan produsen serat kain viscose rayon terintegrasi pertama di Asia yang 100 persen beroperasi di Indonesia.

Dengan kapasitas produksi mencapai 325 ribu ton per tahun, APR bukan hanya berkontribusi besar terhadap ekonomi nasional, tetapi juga terhadap upaya pelestarian lingkungan. Keunggulan utama APR terletak pada komitmennya terhadap prinsip keberlanjutan.

“Serat viscose rayon yang diproduksi oleh APR berasal dari sumber yang dapat diperbarui, menjadikannya bahan baku yang ramah lingkungan. Bahan bakunya sendiri berasal dari hutan tanaman industri bersertifikasi internasional. Selain itu serat viscose rayon APR juga bersifat biodegradable, dapat terurai secara alami,” ungkap Reviana dalam sesi diskusi.

Sustainability Workshop
CM KOMPAS/ADI YUWONO

Peserta memperlihatkan hasil karya membatiknya pada workshop membatik ramah lingkungan di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (4/7/2025).

Tak hanya memperhatikan bahan baku, proses produksi APR pun sepenuhnya mengandalkan energi terbarukan. Seluruh energi yang digunakan dalam pabrik berasal dari sumber energi berkelanjutan.

Bagi APR, praktik berkelanjutan bukan hanya soal lingkungan. Perusahaan ini juga menempatkan masyarakat sebagai mitra dalam kemajuan. Dengan pendekatan yang inklusif, APR aktif melibatkan ibu-ibu, pembatik, dan pelaku industri tekstil lainnya dalam rantai nilai yang berkelanjutan.

Pengalaman baru dan seru

Kegiatan membatik dengan bahan kain berbasis viscose kali ini juga memberikan pengalaman baru sekaligus edukatif bagi para peserta, termasuk bagi pelaku usaha batik seperti komunitas Rumah Batik Palbatu, Jakarta.

Mereka yang terbiasa menggunakan katun, kali ini melihat potensi bahan viscose sebagai alternatif ramah lingkungan yang layak dieksplorasi lebih lanjut dalam produksi batik. Tak hanya itu, informasi mengenai manfaat dari limbah malam kelapa sawit pun menjadi inspirasi untuk inovasi produk ke depan.

“Biasanya kita pakai katun untuk bahan batik. Ke depannya mungkin kami juga akan mengeksplor bahan-bahan lain, seperti viscose, untuk produksi batik. Pada acara ini kami juga bisa belajar ‘malam’ sawit untuk bisa diimplementasikan di produk kami,” ujar Ninuk, perwakilan dari komunitas Rumah Batik Palbatu.

Foto bersama di BBJ
CM KOMPAS/ADI YUWONO

Para peserta Sustainability Workshop "Menjaga Warisan Budaya dengan Praktik Keberlanjutan" berfoto di area Bentara Budaya Jakarta.

Ikut serta dalam workshop membatik juga menjadi pengalaman seru dan penuh nostalgia bagi peserta, termasuk Hayu. Mahasiswi salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta ini mengatakan, terakhir kali membatik saat masih di bangku SD.

Meski sempat kesulitan karena sudah lama tidak melakukannya, proses belajar membatik pada acara ini terasa menyenangkan dan bermakna. “Ini seru sekali bagi saya dan teman-teman. Saya berharap kegiatan ini dapat meningkatkan kesadaran generasi muda terhadap budaya Indonesia, khususnya batik, serta menumbuhkan ketertarikan lebih luas terhadap warisan budaya,” kata Hayu.

Melalui sesi diskusi dan workshop membatik ramah lingkungan ini Harian Kompas/Kompas.id dan RGE menunjukkan bahwa keberlanjutan tak hanya soal hutan dan energi, tetapi juga manusia, warisan, dan semangat untuk terus hidup dalam harmoni dengan bumi dan budaya. [BYU]

Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699