Menelusuri Peninggalan Kerajaan Galuh di Situs Karangkamulyan
Nama Karangkamulyan dalam naskah Babad Galuh bermakna “tempat yang mulia” atau “tempat dimuliakan”.

/https%3A%2F%2Ftaja.kompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2025%2F08%2Ff496c1a5e7c6c06efb3cbfa7869de55d-20250731_102001-1-720x405.webp)
Jalur menapaki jejak-jejak peninggalan Kerajaan Galuh di Situs Karangkamulyan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Kamis (31/7/2025).
Langkah kaki terasa ringan ketika menyusuri jalur tanah yang bersih di Situs Bojong Galuh Karangkamulyan atau yang populer disebut Situs Karangkamulyan, di Kampung Karangkamulyan, Desa Karangkamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Teduhnya suasana langsung menyambut sejak memasuki kawasan situs seluas 25,5 hektar ini. Rindangnya hutan dengan pepohonan langka berusia ratusan tahun, seperti beringin, kondang, ceuri, kapulaga, kimaung, rukem, karaminan, hingga burahol menciptakan ketenangan mendalam, seolah membawa pengunjung kembali ke masa keemasan Kerajaan Galuh.
Peninggalan Kerajaan Galuh
Nama Karangkamulyan dalam naskah Babad Galuh bermakna “tempat yang mulia” atau “tempat dimuliakan”. Menurut Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah BRIN, Lutfi Yondri, berbagai sumber menyebutkan Kerajaan Galuh terbentuk sekitar awal abad ke-7 Masehi, setelah runtuhnya Tarumanegara, dan berakhir sekitar abad ke-16 Masehi. Situs ini diyakini sebagai salah satu pusat pemerintahan kerajaan tersebut, yang dikenal sebagai salah satu kerajaan besar di tatar Sunda.
Salah satu peninggalan penting di kawasan ini adalah Situs Pangcalikan. Sebuah batu besar dengan panjang 28,5 meter dan lebar 10 meter yang berada di area seluas 25 meter persegi, dikelilingi pagar batu setinggi 60 cm dan lebar 80 cm.
/https%3A%2F%2Ftaja.kompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2025%2F08%2F056ae17780df6e1a45ebfbf743da030c-20250731_100904-720x405.webp)
Situs Pangcalikan, batu berukuran panjang 28,5 meter dan lebar 10 meter. Pangcalikan terletak di area seluas 25 meter persegi yang dibatasi pagar batu setinggi 60 cm dan lebar 80 cm, Kamis (31/7/2025). Pangcalikan dipercaya tempat penobatan raja-raja Galuh.
Menurut ahli Cagar Budaya Kabupaten Ciamis Budimansyah, Pangcalikan dipercaya sebagai tempat penobatan raja-raja Galuh. Batu ini menjadi simbol kekuasaan dan legitimasi seorang raja dalam tradisi kerajaan Sunda kuno.
Tak jauh dari Pangcalikan, terdapat Sanghyang Bedil, susunan batu berbentuk segi empat sepanjang 170 cm, lebar 130 cm, dan tebal 70 cm. Di tengahnya terdapat dua batu panjang, satu dalam posisi tegak dan satu lagi roboh. Batu yang roboh ini disebut Sanghyang Bedil, bentuknya menyerupai senapan.
“Dari tipologi strukturnya, tempat ini diyakini sebagai lokasi ritus keagamaan. Sanghyang merujuk pada sesuatu yang sangat dihormati dan dijaga,” ujar Budimansyah.
Di selatan Sanghyang Bedil, situs Panyabungan menjadi daya tarik tersendiri. Di area melingkar, terdapat tatanan batu sepanjang 5,22 meter dan lebar 5 meter. Lokasi ini diyakini sebagai arena sabung ayam milik tokoh legendaris Ciung Wanara.
“Legenda Ciung Wanara, putra mahkota yang tersisih, menantang raja menyabung ayam untuk merebut kembali haknya. Ayamnya menang, dan dia pun menjadi raja,” kata Budimansyah, mengaitkan warisan budaya ini dengan praktik demokratis pemilihan pemimpin pada masa itu.
Di titik lain, berdiri Lambang Peribadatan, peninggalan kepercayaan Hindu. Susunan batu seluas 4 meter persegi ini mengelilingi batu utama setinggi 50 cm dan diameter 20 cm. Batu utama berbentuk bulat tak beraturan ini menjadi pusat kegiatan spiritual masa lalu.
Sumber air
Sumber air Cikahuripan menambah kekayaan nilai situs ini. Airnya tidak pernah kering, bahkan pada musim kemarau. Sumber air ini diyakini sebagai Petirtan atau tempat mandi dan bersuci keluarga kerajaan. Hingga kini, pengunjung masih bisa meminum langsung dari mata air ini atau membasuh wajah untuk menyegarkan diri.
Tak jauh dari sana, terdapat Panyandaan, susunan batu tegak setinggi 1 meter dengan batu datar di sampingnya. Masyarakat setempat mempercayai batu ini sebagai tempat Dewi Naganingrum bersandar setelah melahirkan Ciung Wanara. Dalam bahasa Sunda, nyanda berarti bersandar, menjadi asal nama situs ini.
/https%3A%2F%2Ftaja.kompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2025%2F08%2F01343c24a19736e65e068fc17be1e007-20250731_102620-720x405.webp)
Panyabungan terletak di selatan Sanghyang Bedil. Pada sisi utaranya terdapat tatanan batu sepanjang 5,22 meter dan lebar 5 meter. Lokasi itu dipercayai tempat penyabungan ayam milik Ciung Wanara, Kamis (31/7/2025).
Menjelang akhir jalur, pengunjung akan tiba di Patimuan, tempat pertemuan dua sungai, yaitu Citanduy dan Cimuntur. Menariknya, pertemuan aliran ini menampilkan dua warna berbeda. Air Sungai Citanduy berwarna jernih, sementara Cimuntur cenderung kecokelatan. Fenomena ini menambah keunikan alami dari situs bersejarah ini.
Sebelum meninggalkan kawasan, pengunjung akan menemukan batu berbentuk seperti gada di lokasi Pamangkongan. Dalam tradisi Galuh, batu ini digunakan sebagai alat seleksi prajurit. Siapa yang mampu mengangkatnya, layak menjadi abdi kerajaan.
Tak jauh dari situ, berdiri situs Makam Adipati Panaekan, keturunan Raja Galuh yang kemudian diangkat menjadi wedana oleh Sultan Mataram di Tatar Sunda. Makam ini disusun dari batu melingkar dengan dua batu tegak di utara dan selatan.
Situs Karangkamulyan tidak hanya menyimpan sejarah panjang Kerajaan Galuh, tetapi juga menjadi ruang teduh untuk merefleksikan nilai-nilai leluhur. Dengan keheningan yang menyatu bersama alam, tempat ini menjadi simbol kemuliaan masa lalu dan inspirasi bagi generasi masa kini. Mengunjunginya, seolah menyusuri lorong waktu menuju akar budaya Sunda yang luhur.