logo Kompas.id
TajaKisah Karni Sandabunga,...

Kisah Karni Sandabunga, Perempuan Tangguh Pengendali Api dari Manggala Agni Sulawesi

Kemenhut berkomitmen memberikan dukungan penuh kepada perempuan di Manggala Agni agar mendapatkan perlakuan setara dengan rekan-rekan laki-laki.

AQUA
Artikel ini merupakan kerja sama antara harian Kompas dan AQUA.
· 8 menit baca
https://assetd.kompas.id/cGFKb7t8KXNSrGu3xR18xZIgRh4=/1024x683/https%3A%2F%2Ftaja.kompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2025%2F09%2FKemenhut-1-720x480.jpg
DOK HUMAS KEMENHUT

Karni Sandabunga, anggota brigade pemadam kebakaran hutan dan lahan (karhutla) Manggala Agni yang bertugas sebagai Kepala Daerah Operasi (Kadaops) Manggala Agni Sulawesi II/Malili.

Nama Manggala Agni barangkali masih asing di telinga masyarakat. Brigade pemadam kebakaran hutan dan lahan (karhutla) ini memang jarang dibicarakan. Hal ini berbeda dengan pemadam kebakaran (damkar) yang kerap diperbincangkan di media sosial. Padahal, tugasnya tak kalah krusial.

Didirikan pada 13 September 2002, organisasi di bawah naungan koordinasi Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) tersebut memiliki tugas mencakup pencegahan, pemadaman, penanganan pasca-kebakaran, serta dukungan evakuasi dan penyelamatan.

Mereka juga melakukan edukasi dan pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran serta partisipasi dalam upaya pencegahan karhutla.

Di antara anggota Manggala Agni, ada satu sosok perempuan yang memikul beban sama beratnya dengan rekan-rekan laki-laki dalam penanganan karhutla di Indonesia, yakni Karni Sandabunga.

Bagi Karni, Manggala Agni sudah menjadi rumah keduanya. Di sini, ia sudah dianggap keluarga.

“Jadi, meski penuh risiko, saya merasa aman,” tutur Karni pada Kamis (28/8/2025).

Dari Selayar ke Malili

Sebelum bergabung dengan Mangga Agni, Karni mengawali karier sebagai CPNS pada 2000. Penempatan pertamanya adalah Taman Nasional Laut Taka Bonerate, Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan.

Selama hampir sepuluh tahun, ia mengabdi di kepulauan itu sebelum pindah ke Kabupaten Luwu Timur mengikuti suami yang bertugas di sana.

“Di situ, saya lihat ada petugas pakai baju oranye, masih oranye dulu. Saya tanya-tanya, ternyata itu Manggala Agni. Bukan cuma padamkan api, mereka juga bantu masyarakat waktu banjir, longsor. Wah, saya pikir seru sekali. Pada 2011, saya resmi masuk,” kenangnya.

Bagi Karni, bergabung dengan Manggala Agni bukan sekadar profesi. Dari caranya bercerita, terasa begitu jelas bahwa pekerjaan ini merupakan bentuk panggilan hati serta dedikasi yang menyatukan kepedulian pada hutan dan kemanusiaan.

https://assetd.kompas.id/tB-PC7Qt3r3FicDOpvxNld6AK_8=/1024x683/https%3A%2F%2Ftaja.kompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2025%2F09%2FKemenhut-2-720x480.jpg
DOK HUMAS KEMENHUT

Karni Sandabunga saat melakukan groundcheck hotspot di Desa Parumpanai, Kecamatan Wasuponda, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Lebih dari satu dekade bergabung membuat Karni hafal betul betapa keras medan yang dihadapi ketika bekerja sebagai pemadam kebakaran hutan.

“Terkadang kendaraan tidak bisa masuk. Jadi, kami angkat sendiri peralatan ke lokasi. Berat, tetapi harus jalan. Pernah juga logistik habis di tengah hutan, tetapi teman-teman tetap berbagi. Itu yang bikin saya kuat, rasa persaudaraannya,” katanya.

Sebagai perempuan, Karni mengakui sempat merasakan keraguan saat bertugas. Apalagi, sering kali ia menjadi satu-satunya perempuan dalam tim.

“Namanya perempuan, pasti ada rasa ragu. Akan tetapi, saya anggap teman-teman itu, seperti orangtua, saudara, atau adik-adik saya. Jadi, tidak ada pikiran aneh-aneh. Fokus saya kerja,” tegasnya.

Bagi Karni, kunci utama bertahan bekerja di lapangan adalah kesiapan mental dan fisik.

“Kalau ada permintaan bantuan, kami selalu siap. Namun, yang paling penting itu mental. Mental dulu, baru fisik. Karena kalau mental kuat, apa pun medannya bisa dilalui,” ujarnya.

Tantangan lain, kata Karni, kerap datang dari kondisi sumber daya manusia (SDM). Banyak personel Manggala Agni di wilayahnya kini berusia 40–50 tahun.

“Mereka tinggal menunggu beberapa tahun lagi pensiun. Meski begitu, semangatnya masih luar biasa. Itu yang bikin saya salut,” kata Karni.

Menjadi Kadaops

Pertengahan 2025 menjadi babak baru ketika Karni dipercaya sebagai Kepala Daerah Operasi (Kadaops) Manggala Agni Sulawesi II/Malili.

“Sebenarnya ini rotasi biasa, tapi mungkin pimpinan lihat saya bisa. Jadi, saya diberi amanah. Masih baru (menjabat), tetapi saya syukuri,” katanya.

Sebagai Kadaops, Karni tidak hanya mengatur satu wilayah kecil. Ia membawahi sembilan posko yang tersebar di tiga provinsi, yakni Sulawesi Selatan (Malili, Soroako, dan Masamba), Sulawesi Barat (Mamuju dan Majene), serta Sulawesi Tengah (Pasangkayu, Poso, Morowali, dan Palu).

https://assetd.kompas.id/LHrBd48evFrbDtRLtBPHdXoYwqw=/1024x683/https%3A%2F%2Ftaja.kompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2025%2F09%2FKemenhut-3-720x480.jpg
DOK HUMAS KEMENHUT

Karni Sandabunga memimpin apel kesiapsiagaan personel Manggala Agni Daerah Operasional Sulawesi II/Malili.

Hal itu berarti dari hutan pegunungan di Luwu Timur, pesisir Sulawesi Barat, hingga dataran tengah Sulawesi seluruhnya menjadi wilayah tanggung jawab Karni dan tim Manggala Agni.

Dengan cakupan luas itu, Karni punya dua fokus utama untuk kelancaran di daerah operasionalnya, yaitu peningkatan kapasitas tim dan peremajaan peralatan.

“Masih ada teman-teman yang belum ikut pelatihan resmi, jadi belum punya sertifikat kompetensi. Padahal, di lapangan, mereka sudah bisa. Saya ingin semua dapat pelatihan biar legalitasnya jelas. Lalu, kendaraan kami banyak yang sudah tua, padahal medan berat. Itu juga harus diperbarui,” jelasnya.

Kehidupan di posko

Menjadi anggota Manggala Agni berarti siap meninggalkan rumah dalam waktu lama. Karni bercerita, personelnya bisa ditugaskan selama tiga minggu hingga tiga bulan di posko.

“Pernah tahun lalu, teman-teman sampai hampir tiga bulan di posko. Memang ada rotasi, tapi lama sekali. Baru ditarik pulang ketika hujan turun pada November,” kisahnya.

Di posko, kehidupan berjalan sederhana. Mereka mengisi hari dengan patroli hutan, mengecek titik panas, menyiapkan peralatan, hingga latihan fisik agar selalu sigap. Malam hari, kelelahan terbayar dengan canda tawa kecil bersama rekan setim, meski logistik terbatas.

“Kalau logistik menipis, biasanya kita bagi-bagi apa yang ada. Yang penting, semua kebagian. Rasa kebersamaan itu yang bikin kuat,” kata Karni.

Namun, bukan hanya fisik yang diuji. Aspek mental jauh lebih berat. Menurutnya, pikiran menguras tenaga lebih banyak daripada kerja fisik.

https://assetd.kompas.id/b4PHh1DP0Uf2P8q8pT7fW2ZUNTE=/1024x683/https%3A%2F%2Ftaja.kompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2025%2F09%2FKemenhut-4-720x480.jpg
DOK HUMAS KEMENHUT

Pemadaman kebakaran lahan di Desa Wewangriu, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Oleh karena itu, ia selalu mengingatkan anggotanya untuk menjaga komunikasi dengan keluarga.

“Meski cuma kabari sudah tiba atau sudah makan, itu penting. Kalau komunikasi terjaga, energi kita tidak cepat habis. Jangan biarkan keluarga khawatir,” pesannya. Baginya, komunikasi sederhana dengan orang terdekat bisa menjadi penopang semangat.

“Kalau pikiran tenang, kerja juga lebih ringan,” ujarnya.

Tahun lalu, imbuhnya, menjadi salah satu periode tugas yang cukup berat. Kekeringan panjang membuat kebakaran hutan terus muncul hingga akhir tahun dan memaksa tim berjaga sampai hujan turun. Namun, tahun ini sedikit berbeda.

“Syukurlah, laporan dari lapangan bilang, intensitas kebakaran tidak seberat tahun lalu. Tahun ini kemarau basah, jadi masih ada hujan,” tutur Karni.

Perempuan dan konservasi hutan

Karni meyakini bahwa perempuan punya peran besar dalam konservasi. Ia sering bertemu ibu-ibu desa yang mengumpulkan kayu bakar di hutan tempatnya bertugas.

“Saya bilang, jangan tebang pohon, ya Bu. Mereka jawab, oh tidak, cuma ranting patah. Dari situ saya pikir, ibu-ibu ini bisa jadi agen. Mereka bisa jadi yang pertama tahu kalau ada api atau orang mau merusak hutan. Jadi, perempuan sangat berperan,” tegasnya.

Menurutnya, perempuan bisa menjadi mata dan telinga di lapangan. Mereka lebih teliti, lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Jadi, peran mereka bukan pelengkap, melainkan strategis.

“Perempuan bisa jadi mata dan telinga di lapangan. Mereka lebih teliti, lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Jadi, peran mereka bukan pelengkap, tapi justru strategis,” ujarnya.

Untuk perempuan lain yang ingin menapaki profesi serupa, Karni berpesan untuk jangan takut mencoba hal baru.

“Jangan berpikir perempuan hanya bisa kerja ringan. Kalau ada kendala, bisa belajar, bisa bertanya. Stigma itu bisa dipatahkan kalau kita berani. Jadi, coba saja dulu,” ucapnya.

Antara hutan dan rumah

Namun, di balik medan berat dan api yang dihadapi, ada medan lain yang tak kalah menantang, yakni menjaga keseimbangan peran sebagai istri dan ibu.  Di luar seragam merahnya, Karni punya kehidupan yang sama berharganya, yaitu keluarga yang menjadi sumber semangat dan tempatnya kembali.

Di hutan ia harus kuat secara mental dan fisik. Namun, di rumah, Karni dituntut untuk tetap hadir bagi anak-anak dan suami, meski kerap kali tenaganya sudah terkuras sehabis bertugas.

Di tengah pekerjaannya yang cukup berat, Karni bersyukur sang suami selalu memberikan dukungan penuh.

https://assetd.kompas.id/7Q1lVFpBmDNZ7r_o09VN7GQJNmA=/1024x683/https%3A%2F%2Ftaja.kompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2025%2F09%2FKemenhut-5-720x480.png
DOK HUMAS KEMENHUT

Karni Sandabunga bersama tim Manggala Agni Sulawesi II/Malili saat mengikuti upacara HUT Ke-80 RI di Lapangan Pendidikan, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

“Kadang saya tidak sempat masak, suami yang ambil alih. Kami berbagi tugas rumah. Komunikasi itu hal penting. Kalau saya di lapangan, saya selalu telepon atau SMS dan bilang sudah tiba, sudah makan. Hal-hal kecil, tapi penting untuk menjaga kepercayaan,” jelasnya.

Karni sendiri memiliki dua anak laki-laki. Putra sulungnya telah lulus kuliah dan baru mulai memasuki dunia kerja. Sementara itu, si bungsu masih berstatus pelajar SMA. Anak-anaknya pun sudah akrab dengan rekan kerja Karni.

“Mereka kenal om-om di Manggala Agni. Jadi, percaya kalau mama aman bersama mereka. Suami saya juga sudah anggap teman-teman seperti keluarga sendiri,” tuturnya.

Bagi Karni, komunikasi dan waktu berkumpul dengan keluarga tidak sekadar berbagi kabar, tetapi juga menjadi alat untuk mengisi ulang energi.

“Sering kali saat pulang sudah lelah sekali, tetapi begitu ketemu anak-anak, suami, rasanya energi kembali lagi,” ujarnya.

Dukungan Menhut untuk Manggala Agni

Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni melihat Karni sebagai simbol ketangguhan dan sekaligus bukti nyata bahwa tugas menjaga hutan bukan monopoli laki-laki.

“Perempuan seperti Karni membuktikan bahwa menjaga hutan bukan hanya tugas laki-laki. Mereka membawa ketangguhan mental, empati, dan kemampuan komunikasi yang sangat dibutuhkan,” ujarnya Jumat (29/8/2025).

Ia menegaskan, Kemenhut berkomitmen memberikan dukungan penuh kepada perempuan di Manggala Agni agar mendapatkan perlakuan setara dengan rekan-rekan laki-laki. Mulai dari akses pelatihan teknis, perlindungan keselamatan kerja, hingga kesempatan menempati posisi kepemimpinan.

“Kami ingin jumlah perempuan di Manggala Agni terus bertambah. Keberagaman gender tidak hanya memperkuat tim, tetapi juga membuatnya lebih adaptif dan tangguh. Sosok seperti Karni adalah inspirasi generasi muda,” tegasnya.

Lebih jauh, Raja Juli menyebut bahwa strategi penguatan Manggala Agni tidak berhenti pada rekrutmen. Kemenhut tengah menyiapkan modernisasi kelembagaan dan teknologi, mulai dari penggunaan drone, pemanfaatan data, hingga pengembangan kecerdasan buatan (AI) untuk deteksi dini titik api.

“Teknologi akan membuat tim lebih cepat dan efisien dalam merespons kebakaran,” jelasnya.

Menhut juga menyoroti signifikansi peningkatan kesejahteraan dan insentif bagi personel Manggala Agni. Menurutnya, risiko tinggi di lapangan harus diimbangi dengan jaminan sosial, perlindungan, dan penghargaan yang layak.

“Anggota Manggala Agni bekerja dalam risiko tinggi. Jadi, peningkatan kesejahteraan dan perlindungan sosial adalah prioritas kami,” katanya.

Ia juga menegaskan bahwa penegakan hukum tetap berjalan seiring upaya pencegahan kebakaran hutan. Pelaku pembakaran hutan dan lahan akan ditindak tegas agar ada efek jera.

“Jangan ada lagi membuka lahan dengan cara membakar. Hukum harus ditegakkan agar kebakaran tidak terus berulang,” ujarnya.

Ke depan, tambahnya, Kemenhut adalah memperkuat tiga jalur penegakan hukum, yakni administratif, perdata, dan pidana. Dengan begitu, setiap pelanggaran bisa ditindak secara komprehensif, mulai dari pencabutan izin, gugatan ganti rugi, hingga proses pidana bagi pelaku.

Selain itu, ia menitipkan pesan khusus kepada masyarakat. Menurutnya, sehebat apa pun Manggala Agni, pencegahan tidak akan berhasil tanpa partisipasi warga.

“Kami butuh partisipasi masyarakat untuk menjaga hutan. Tanpa kesadaran publik, sehebat apa pun Manggala Agni tidak akan cukup,” imbuhnya.

Bagi Raja Juli, kisah Karni tidak hanya inspirasi untuk perempuan, tetapi juga teladan bagi anak muda Indonesia.

“Kisah Karni menunjukkan bahwa menjaga hutan adalah kerja bersama. Ia bisa menjadi teladan untuk generasi yang ingin berkontribusi pada lingkungan,” tuturnya.

Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699