logo Kompas.id
TajaJejak Lia Putrinda, Perempuan ...

Jejak Lia Putrinda, Perempuan Penjaga Garis Pantai lewat Konservasi Mangrove

Lia Putrinda Anggawa Mukti menjelma sosok inspiratif yang menjaga garis pantai Malang lewat konservasi mangrove.

Kementerian Kehutanan
Artikel ini merupakan kerja sama antara harian Kompas dan Kementerian Kehutanan.
· 7 menit baca
Lia Putrinda
DOK LIA PUTRINDA

Lia Putrinda Anggawa Mukti bersama ekowisata Clungup Mangrove Conservation (CMC) Tiga Warna.

Suatu sore pada 2004, seorang gadis kecil berjalan menyusuri pesisir Desa Tambak Rejo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, bersama ayahnya.

Hamparan pasir panas membentang di hadapan, nyaris tanpa teduh. “Dulu, di sini rimbun mangrove,” ujar sang ayah, Saptoyo, sembari menunjuk hamparan lahan yang kini gersang.

Si gadis berusia 12 tahun itu, Lia Putrinda Anggawa Mukti, terdiam. Pertanyaan lugu muncul di benaknya, “Kok aku enggak bisa lihat hutan mangrove yang ayah ceritakan?”

Sejak kecil, Lia memang akrab dengan alam. Ia gemar berjalan, menjelajah, dan bermain di sekitar kampung.

Namun, perbincangan dengan sang ayah di kawasan yang kini masuk dalam Clungup Mangrove Conservation (CMC) Tiga Warna itu membuatnya menatap dunia dengan cara berbeda.

“Saat itu, pantai gersang, panas, tanpa tumbuhan. Dari situ saya mulai bertanya, ‘Kenapa orang-orang tidak melakukan sesuatu untuk lingkungan?’ Itu momen saat passion saya lahir,” kenang Lia saat dihubungi tim penulis, Selasa (26/8/2025).

Sejak usia SD hingga SMA, Lia kerap mengunjungi kawasan pesisir itu. Dukungan keluarga membuatnya mantap menapaki jalur yang tak biasa, yakni mengabdikan diri di kampung halaman untuk konservasi lingkungan, bukan sekadar mengejar kehidupan di kota.

“Waktu teman-teman lain sibuk merantau, saya justru memutuskan untuk tidak lagi keluar-keluar. Saya memilih berkarya di lingkungan terdekat,” ujar Lia.

Keputusan itu bukan tanpa risiko. Seiring waktu berjalan, cibiran datang dari warga sekitar. Ada yang meremehkan, bahkan menolak. Apalagi, ia seorang perempuan muda yang berusaha menggerakkan perubahan di desa nelayan yang masih kental dengan budaya patriarki. Namun, Lia memilih jalan berbeda.

“Saya memilih sedikit bicara, (tapi) banyak aksi. Kalau saya yakin yang saya lakukan baik, suatu saat semesta akan menjawab semua keraguan,” kata Lia.

Lia Putrinda
DOK LIA PUTRINDA

Lia Putrinda Anggawa Mukti berupaya mengembangkan kawasan konservasi CMC Tiga Warna menjadi laboratorium hidup.

Keyakinan itu menjadi pegangan saat ia menghadapi pandangan negatif. Ibarat vaksin, cibiran dan penolakan justru membuatnya makin kebal dan kuat.

Lia juga punya cara unik dalam melibatkan masyarakat. Selain memberi teladan melalui konsistensi, ia tak segan “memaksa” warga untuk ikut terlibat.

“Memaksa ini tentu dalam hal positif. Misalnya, dulu ada warga yang sering merusak lingkungan. Saya ajak mereka ikut aksi tanam, dan ikut jaga kawasan. Awalnya terpaksa, lama-lama mereka sadar sendiri, lalu berubah jadi penjaga konservasi,” ceritanya.

Perubahan perilaku itu nyata. Warga yang dulu merambah kini ikut menjaga. Dari situ, tercipta ekosistem baru. Masyarakat pun merasakan manfaat ekologis, sosial, dan sekaligus ekonomi dari keberadaan mangrove.

Kelahiran ekowisata CMC Tiga Warna

Buah perjuangan bertahun-tahun itu tampak nyata di kawasan konservasi CMC Tiga Warna. Sejak berdiri, kawasan ini berkembang menjadi laboratorium hidup yang tak sekadar untuk menanam dan memulihkan mangrove, tapi juga membangun kesadaran bersama.

“Inovasi ikonik kami adalah sistem check list sampah. Awalnya banyak yang menolak, tapi sekarang jadi budaya. Setiap pengunjung wajib membawa pulang sampah mereka,” ujar Lia.

Kawasan konservasi CMC Tiga Warna mengusung konsep eduwisata. Pengunjung bisa menikmati keindahan pantai dan hutan mangrove sambil belajar tentang urgensi menjaga alam. Lia menyebutnya sebagai prinsip healing and learning.

Hasilnya, kawasan yang dulu gersang kini hijau kembali. Data mencatat, lebih dari 50 ha area pesisir berhasil direhabilitasi. Kehidupan biota laut pun perlahan pulih.

“Kami bersyukur, ekosistem mulai kembali sehat. Namun, ini baru awal. Tantangannya justru bagaimana menjaga agar konservasi terus berjalan seiring dengan kesejahteraan masyarakat,” kata Lia.

Lia Putrinda
DOK LIA PUTRINDA

Bersama Clungup Mangrove Conservation (CMC) Tiga Warna, Lia tidak sekadar menghijaukan pesisir, tetapi juga mendidik masyarakat luas agar rekreasi bisa berjalan beriringan dengan tanggung jawab.

Saat ditanya tantangan terberat, Lia tak ragu menjawab sumber daya manusia (SDM), baik lokal maupun eksternal. Sebab, Lia tidak sekadar menghijaukan pesisir, tetapi juga mendidik masyarakat luas agar rekreasi bisa berjalan beriringan dengan tanggung jawab.

Menurutnya, konsistensi menjadi kunci. Untuk itu, Lia dan tim mengadakan pertemuan mingguan dan bulanan. Pada momen khusus, seperti saat Lebaran atau Tahun Baru, CMC Tiga Warna ditutup. Hal ini dilakukan untuk menjaga semangat para local champion.

Selain itu, mereka juga berinovasi secara konsisten, mengikuti kompetisi, dan menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak. Penelitian dan data ilmiah pun dipakai sebagai bahan evaluasi dan pengembangan.

“Prinsip kami jelas. Tanam, pegang teguh, dan jalani prinsip konservasi itu. Jangan tergoda keuntungan sesaat yang bisa merusak tujuan,” tegas Lia.

Memayu hayuning bawono

Lia mantap menilai bahwa konservasi bukan sekadar pekerjaan. Ia menyebutnya sebagai bagian dari fitrah perempuan.

"Filosofi yang jadi kiblat saya adalah memayu hayuning bawono atau memperindah dunia yang sudah indah. Konservasi jadi darah dalam diri saya. Sebagai perempuan, tugas saya tidak hanya merawat anak atau keluarga, tetapi juga merawat kehidupan di luar rumah, termasuk hewan kecil dan tumbuhan,” ujarnya.

Ia meyakini, perempuan memiliki peran penting dalam menjaga bumi. Dari sifat merawat dan menghidupi, terlahir ketangguhan menghadapi tantangan.

Hal senada disampaikan Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni. Menurutnya, perempuan sering kali menunjukkan tingkat keuletan dan komitmen jangka panjang yang luar biasa.

“Mereka cenderung melihat konservasi bukan sebagai proyek sesaat, melainkan warisan untuk masa depan anak cucu mereka,” ujarnya melalui jawaban tertulis kepada penulis, Jumat (12/9/2025).

Raja Juli menilai bahwa perempuan memiliki jaringan komunikasi informal yang kuat di dalam komunitas. Tak heran, pesan-pesan konservasi dapat menyebar lebih cepat dan efektif.

Mereka adalah komunikator serta negosiator ulung yang mampu membangun konsensus dan mendorong aksi kolektif dari bawah.

Tangan dingin Lia membuktikan hal itu. Fokus konservasi CMC semula berada di kawasan hilir pesisir. Seiring waktu berjalan, warga menghadapi krisis air bersih. Dari situ, Lia memperluas konservasi ke arah hulu dengan menanam bambu.

“Sekarang, 25 persen dari pendapatan kami investasikan untuk program konservasi. Ada yang untuk rehabilitasi pesisir dan ada juga untuk konservasi bambu di hulu,” jelas Lia.

Tak hanya itu, Lia juga menggagas program Sinau lan Dolanan (Si Dolan), yakni wadah belajar dan bermain anak-anak dengan alam. Lewat program ini, anak-anak diajak memahami sejak dini bahwa konservasi adalah bagian dari hidup.

Lia Putrinda
DOK LIA PUTRINDA

Lia dan Clungup Mangrove Conservation (CMC) Tiga Warna menggagas program Sinau lan Dolanan (Si Dolan), yakni wadah belajar dan bermain anak-anak dengan alam.

Perkuat ekosistem kolaboratif

Berbagai inisiatif Lia di akar rumput pun mendapat apresiasi Kementerian Kehutanan (Kemenhut).

Raja Juli menganggap Lia sebagai "ujung tombak" dalam memahami permasalahan, potensi, serta kearifan lokal di tingkat tapak. Dengan demikian, ia mampu menemukan dan mengenali solusi yang tepat dalam pelaksanaan konservasi mangrove.

“Model seperti Lia ini sesungguhnya kami telah kembangkan secara nasional di daerah penyangga kawasan cagar alam, suaka margasatwa, dan taman nasional. Kerja-kerja konservasi tidak mudah dilakukan sendiri,” jelas Raja Juli.

Model tersebut juga akan terus didorong secara nasional. Tidak sekadar menciptakan satu program tunggal, tetapi memperkuat ekosistem kolaboratif. Ada pun penguatan tersebut berfokus pada fasilitasi, apresiasi, dan replikasi.

Saat ini, secara fundamental, kebijakan Kemenhut telah bergeser dari pendekatan yang bersifat top-down menjadi pendekatan kemitraan yang menempatkan masyarakat sebagai aktor utama konservasi.

Dengan pendekatan ini, konservasi tidak hanya menjaga kelestarian hutan, tetapi juga memberikan kesejahteraan bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya.

Kemenhut juga memastikan bahwa restorasi mangrove tidak hanya berorientasi pada angka luasan tanam, tetapi benar-benar mengembalikan struktur dan fungsi ekosistem mangrove.

“Restorasi dilakukan dengan sejumlah pendekatan, seperti ekologi, pemulihan ekosistem, monitoring dan evaluasi jangka panjang, keterlibatan masyarakat dan kolaborasi multipihak, serta integrasi dengan kebijakan nasional,” papar Raja Juli.

Bagi Lia, konservasi memiliki makna filosofis mendalam. Konservasi itu bukan cuma soal “Forest” (hutan), melainkan juga “For Rest”, yakni untuk istirahat.

“Dengan konservasi, kita memberi ruang pada alam untuk pulih dan pada manusia untuk belajar menghargai kehidupan,” katanya.

Lia menganggap karyanya sebagai warisan terbaik untuk generasi mendatang. Warisan ini berupa ekosistem sehat dan kuat yang bisa menopang kehidupan, bukan hanya manusia, melainkan seluruh makhluk.

“Jangan tunggu bencana alam terjadi. Jangan tunggu oksigen harus bayar. Jangan tunggu napasmu terhenti baru peduli,” pesan dia.

Lia juga mengingatkan bahwa bumi ibarat ibu dan angkasa adalah bapak. Keduanya merupakan sumber kehidupan yang setia memberi tanpa pamrih. Jadi, seyogianya manusia memberi balas dengan menjaga.

“Mulailah dari hal sederhana. Aksi kecil untuk mencintai lingkungan adalah bukti nyata bahwa kita mencintai diri sendiri,” kata Lia.

Dari seorang bocah 12 tahun yang bertanya ke ayahnya hingga kini menjadi konservator perempuan yang menginspirasi, perjalanan Lia Putrinda adalah kisah tentang keyakinan, ketekunan, dan cinta pada bumi.

Di bawah kepemimpinannya, kawasan gersang di pesisir Malang menjelma hutan mangrove rimbun yang menahan abrasi, menjaga garis pantai, dan sekaligus menghidupi masyarakat.

Lia membuktikan, menjaga bumi bukanlah mimpi besar yang mustahil. Upaya itu bisa dimulai dari langkah kecil, yakni dari desa sendiri, dengan keyakinan dan aksi yang konsisten.

“Bumi sudah cantik. Tugas kita adalah mempercantiknya, tidak merusaknya,” tutur Lia mantap.

Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699