Integrasi Antarmoda, Jalan Panjang Mengurai Kemacetan dan Ongkos Hidup
Di Jakarta, meski tersedia berbagai moda transportasi publik, hanya sekitar 7,5 juta pergerakan sehari yang menggunakan angkutan umum.
/https%3A%2F%2Ftaja.kompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2025%2F08%2FTAJA-KEMENHUB-6-720x405.jpg)
Diskusi berjudul ”Masa Depan Mobilitas Kota: Integrasi Antarmoda Menuju Transportasi Publik yang Ramah dan Terhubung” menghadirkan narasumber (dari kiri ke kanan) pemengaruh transportasi Cecilia Novanca, Wakil Ketua Pengembangan dan Pemberdayaan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia Djoko Setijowarno, Direktur Jenderal Integrasi Transportasi dan Multimoda Kementerian Perhubungan Risal Wasal, serta Wali Kota Semarang Agustina Wilujeng Pramestuti, di Jakarta, Jumat (8/8/2025).
Suasana diskusi “Masa Depan Mobilitas Kota: Integrasi Antarmoda Menuju Transportasi Publik yang Ramah dan Terhubung” yang digelar Kementerian Perhubungan (Kemenhub) bersama Harian Kompas pada Jumat (8/8/2025), memotret satu kenyataan menantang, yakni jaringan transportasi yang belum terhubung membuat mobilitas perkotaan mahal, lambat, dan tidak ramah lingkungan.
Acara tersebut sekaligus menjadi arena menyampaikan rencana besar Kemenhub untuk menata ulang cara orang berpindah di kota-kota besar.
Data yang dipaparkan Ditjen Integrasi Transportasi dan Multimoda menunjukkan tantangannya cukup jelas, yaitu Indonesia memiliki puluhan juta kendaraan bermotor termasuk 140,9 juta sepeda motor, dan di kawasan Jabodetabek terjadi lebih dari 75 juta pergerakan per hari. Namun, porsi angkutan umum masih kecil. Dampaknya bukan hanya macet, beban biaya transportasi menekan kesejahteraan rumah tangga.
Kemenhub melihat integrasi antarmoda bukan sekadar soal armada, melainkan kunci pemulihan ekonomi dan keadilan akses. “Transportasi publik juga tulang punggung perekonomian bangsa,” kata Mohamad Risal Wasal, Direktur Jenderal Integrasi Transportasi dan Multimoda Kemenhub.
Ia menekankan bahwa jika pendapatan naik, masalah tarif akan terangkat dari prioritas utama warga. Kenyataan ini menggarisbawahi pendekatan ekonomi dalam kebijakan mobilitas.
Namun, realitas di lapangan memaksa pengakuan terhadap jurang antara rencana dan implementasi. Di Jakarta, meski tersedia berbagai moda, hanya sekitar 7,5 juta pergerakan sehari yang menggunakan angkutan umum. Sisanya masih mengandalkan kendaraan kecil, terutama sepeda motor. Ini menandakan bahwa integrasi fisik, jaringan, dan tarif belum cukup menggoda warga berpindah ke transportasi publik.
Salah satu akar masalah yang diulang berkali-kali dalam bahan paparan adalah fragmentasi berupa tarif berbeda-beda antar-operator, e-ticket yang tak saling kompatibel, dan simpul transportasi (stasiun/halte) yang belum saling terhubung. Ketiadaan sistem pembayaran terpadu dan layanan pengumpan yang memadai membuat first-mile dan last-mile tetap menjadi hambatan besar.
Cecilia Novanca, pemengaruh transportasi, menyebutkan, “Transportasi Jakarta termasuk yang paling baik di Indonesia. Namun, pembayaran juga perlu terintegrasi agar lebih memudahkan penumpang.”
/https%3A%2F%2Ftaja.kompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2025%2F08%2FTAJA-KEMENHUB-5-720x405.jpg)
Dirjen Integrasi Transportasi dan Multimoda Kemenhub Risal Wasal
Menutup celah
Kemenhub mengusung beberapa instrumen kebijakan untuk menutup celah itu. Program Buy the Service (BTS), saat pemerintah membeli layanan dari operator dan menanggung subsidi sambil menetapkan standar minimum layanan, disebut sebagai solusi pembiayaan dan operasional. Saat ini sudah berjalan di 11 kota dan didorong agar lebih banyak daerah mengalokasikan APBD untuk angkutan umum.
Contoh daerah yang berhasil menunjukkan bahwa political will menghasilkan perubahan nyata adalah Kota Semarang. Pemkot Semarang mengalokasikan anggaran Rp 292 miliar untuk angkutan publik sehingga warga ber-KTP Semarang dapat naik Trans Semarang gratis.
“Penggunanya sudah mencapai 36 ribu orang setiap hari dan 13 juta orang per tahun. Dan sudah ditetapkan perda. Jadi, siapa pun wali kotanya harus menjalankan itu,” ujar Wali Kota Semarang Agustina Wilujeng Pramestuti.
Di sisi regulasi, beberapa daerah mulai mengikat komitmen lewat peraturan daerah. Pekanbaru, misalnya, menerbitkan Perda No 2 Tahun 2024 yang mewajibkan alokasi pembiayaan angkutan umum sebesar 5 persen dari APBD.
Langkah itu, menurut pengamat transportasi Djoko Setijowarno, bisa menjadi model bagi daerah lain yang masih ragu menyediakan dana jangka panjang. “Persoalannya political will. Negara yang maju adalah negara yang transportasi publiknya juga maju,” ujarnya.
Teknologi juga dijajaki sebagai pengganda efek integrasi. Penerapan AIoT untuk manajemen lalu lintas, penggunaan automatic passenger counters, dan pengembangan Bus Information Management System (BIMS) ditampilkan sebagai upaya mengurangi waktu tunggu, menurunkan emisi, dan meningkatkan keselamatan. Bahkan sistem smart traffic light berbasis AI sudah diujicoba pada puluhan persimpangan di Jakarta.
Konsep Mobility as a Service (MaaS) muncul sebagai jawaban digital, yakni menyatukan berbagai layanan (angkutan umum, ride-sharing, bike-sharing) dalam satu platform sehingga pengguna mendapat kemudahan akses dan pembayaran terpadu. Ditambah roadmap e-mobility yang menargetkan elektrifikasi angkutan massal, strategi tersebut memadukan kenyamanan, efisiensi biaya, dan target Net Zero Emission 2060.
Argumen ekonomi turut memperkuat urgensi integrasi. Studi dampak proyek besar seperti KCJB Halim dan high-speed rail menunjukkan potensi pengganda ekonomi yang besar. Dengan kontribusi triliunan rupiah terhadap PDRB dan penghematan bahan bakar yang signifikan, menjadikan investasi pada simpul terintegrasi bukan biaya semata, melainkan modal pembangunan wilayah.
Akhirnya, semua titik persoalan kembali ke tata kelola: sinkronisasi kebijakan antarpemerintah, peran integrator yang jelas, mekanisme pembiayaan inovatif (melibatkan swasta), serta kampanye komunikasi publik yang menjelaskan manfaat dan perubahan perilaku yang diperlukan. Kemenhub menilai komunikasi public, termasuk kolaborasi dengan media, krusial untuk mendorong pemahaman dan dukungan masyarakat terhadap integrasi antarmoda.
Ada suatu pelajaran dari diskusi ini, yakni integrasi antarmoda bukan proyek infrastruktur tunggal, melainkan rekayasa kebijakan, teknologi, pembiayaan, dan budaya mobilitas warga. Tanpa kelima elemen itu berjalan berirama, janji kendali kemacetan, pengurangan biaya hidup, dan kota yang lebih hijau akan sulit diwujudkan.