Grab Business Forum 2024 : Membangun Ekonomi Digital, Membangun Negeri


(Dari kiri ke kanan) Chatib Basri, Ekonom Senior sekaligus Mantan Menteri Keuangan Republik Indonesia periode 2013-2014; Suahasil Nazara, Wakil Menteri Keuangan Republik Indonesia; Neneng Goenadi, Country Managing Director Grab Indonesia, dan Roy Nugroho, Director of Grab Indonesia
Teknologi digital semakin dibutuhkan bagi dunia usaha saat ini, terutama dalam kaitannya memperkuat perekonomian negara. Sektor ekonomi digital dapat menjadi pendukung perekonomian negara dalam menghadapi situasi dunia yang kian tak menentu ini.
Hal tersebut dikatakan ekonom senior Indonesia Chatib Basri saat menjadi pembicara kunci acara Grab Business Forum 2024 di Jakarta, Selasa (14/5/2024). Indonesia dan seluruh negara di dunia, menurutnya, akan menghadapi tiga tantangan global. Tantangan itu adalah likuiditas ketat di level global, perlambatan ekonomi China, dan tensi geopolitik.
Tantangan yang patut diperhatikan adalah melambatnya ekonomi China. Dulu China sempat tumbuh dua digit dan stabil di angka 7 persen-8 persen, tetapi saat ini hanya tumbuh di sekitar angka 4,5 persen. Menurut Chatib berdasarkan analisis sensitivitasnya, setiap penurunan 1 persen ekonomi China, punya dampak 0,3 persen pertumbuhan Indonesia.
“Jadi, kalau dia turun dari 5,2 persen menjadi 4,5 persen itu berarti 0,7 persen penurunan, maka kira-kira Indonesia mengalami penurunan 0,2 persen. Jadi seperti itulah dampaknya penurunan ekonomi China untuk kita,” katanya.
Selain perlambatan ekonomi China, Indonesia juga harus melihat kondisi politik global. Seperti diketahui kondisi global yang terus mengalami gejolak. Sebut saja perang di Ukraina dan konflik Timur Tengah yang tak kunjung usai. Selain itu, masih ada situasi Amerika Serikat yang akan menghadapi pemilihan umum pada kuartal ke-4 nanti. Namun, yang harus diperhatikan adalah geo-fragmentasi yang terjadi.
Menurut Chatib, kondisi politik global saat ini melahirkan apa yang disebut dengan the prisoner’s dilemma. Dalam konteks ini, Chatib mendefinisikan sebagai sebuah kondisi di mana setiap negara lebih mementingkan kepentingan negaranya sendiri daripada kepentingan global, padahal kondisi yang ideal adalah bekerja sama.
“Geo-fragmentasi saat ini yang terjadi adalah karena konsentrasi produksi dan munculnya restriksi-restriksi dari negara-negara yang memproduksi membuat munculnya persoalan global. Misalnya, sebuah negara ingin menahan ekspornya dengan maksud untuk mencukupi kebutuhan dalam negerinya, sehingga solusinya tidak optimal,” ujarnya.
Chatib melihat, Indonesia harus waspada terhadap nasionalisme teknologi yang terjadi. Ia memberikan contoh apa yang terjadi pada sistem teknologi China dan AS yang membuat orang harus memiliki dua sistem. Perbedaan sistem yang tidak terhubung inilah yang ke depannya bisa membuat biaya transaksi menjadi sangat mahal.
Kondisi yang juga patut diantisipasi adalah konflik yang terjadi di Timur Tengah yang bisa berimplikasi pada kenaikan harga minyak dunia sebesar 64 dollar AS per barel dari harga sekarang yang berdasarkan bujet di angka 90 dollar per barel dan average di 82 dollar AS. Jika ini naik, maka tekanan pada APBN akan terjadi karena beban subsidinya juga akan naik.
“Jika melihat dari analisis sensitivitas dari Kementerian Keuangan, jika terjadi kenaikan harga minyak sebesar 1 dollar AS maka Indonesia akan mengalami kenaikan defisit sebesar Rp 58 triliun. Tentu saja ini skenario terburuknya, jika benar-benar terjadi kenaikan sebesar 64 dollar AS maka tinggal dikalikan saja. Apakah ini akan terjadi? Kita tidak akan pernah tahu, tetapi kita harus prepare untuk itu,” ungkapnya.
“Potensi defisit juga terjadi jika fenomena ‘dollar kuat’ (strong dollar) terjadi. Jika rupiah melemah sekitar Rp 100 saja, maka implikasinya akan ada kenaikan defisit sekitar Rp 3,1 triliun,” katanya.
Chatib melihat dalam tahun ini, The Fed juga tidak akan menurunkan interest rate-nya karena jelang pemilihan umum. Selain itu, angka perkiraan resesi di Amerika Serikat juga sangat kecil, sehingga tidak ada alasan mendasar untuk The Fed menurunkan bunganya. Kondisi inilah yang membuat Bank Indonesia meresponsnya dengan menaikkan bunga menjadi 25 basis poin agar Rupiah tetap kuat.
“Dengan mempertahankan tingkat bunga di level yang tinggi oleh Bank Indonesia, maka likuiditas akan ketat dan punya implikasi kepada perusahaan teknologi,” ujarnya.
Walaupun demikian, perekonomian Indonesia terus tumbuh baik di tengah berbagai gejolak tersebut dengan mencatatkan pertumbuhan 5,11 persen pada kuartal pertama 2024. Jika dibandingkan dengan Singapura, Indonesia masih yang terbaik di Asia Tenggara. Sebagai info, Singapura hanya tumbuh 2,7 persen.
“Ada dua alasan, yaitu good policy response dan good luck. Kenapa saya katakan good luck? Karena rasio ekspor kita terhadap PDB itu relatif kecil, hanya sekitar 25 persen. Sementara, Singapura punya rasio 180 persen. Jadi, jika globalnya ‘kena’, Singapura pasti ‘kena’. Sementara Indonesia tidak terlalu berdampak. Tapi, the otherside of the coin, saat pasar global recover, Singapura akan tumbuh lebih cepat daripada Indonesia. Namun, di luar dari kondisi ketidakpastian itu, Indonesia telah tumbuh sangat baik dan sudah sesuai target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan 5,2 persen,” jelasnya.
Ekonomi baru lewat digital

Chatib Basri, Ekonom Senior sekaligus Mantan Menteri Keuangan Republik Indonesia periode 2013-2014 memberikan paparan tentang dampak teknologi terhadap ekonomi Indonesia pada Grab Business Forum 2024
Kondisi saat likuiditas sangat ketat dan cost of fund masih tinggi membuat mau tidak mau perusahaan teknologi harus mengarah ke path of profitability. Menurut Chatib, opsinya ada dua, yaitu mencari area pertumbuhan baru atau konsolidasi biaya.
Stabilitas perusahaan teknologi Indonesia sangat penting bagi Indonesia karena mampu membantu Indonesia mencapai target Indonesia Emas 2045. Sementara menurut Bappenas, agar bisa lepas dari middle income trap, Indonesia harus mencapai pertumbuhan 6-7 persen sebelum pada 2050, tatkala Indonesia mulai masuk ke dalam aging population.
“Umur produktif itu berada di 15-65 tahun. Maka, jika target tersebut tidak tercapai maka risiko yang terjadi adalah menjadi tua sebelum kaya. Di mana saat tua pendapatan sudah tidak ada, tetapi biaya kesehatan menjadi mahal. Oleh karena itu, jika mengacu pada perencana keuangan, kekayaan itu harus diakumulasi. Maka, kembali ke dalam konteks, sebelum aging population itu datang, Bappenas memiliki 5 strategi, di mana dua di antaranya adalah teknologi. Hal ini tidak bisa terhindarkan,” sebutnya.
Chatib mencontohkan apa yang terjadi pada India. Negara tersebut berhasil menumbuhkan perekonomiannya hingga 8,4 persen, dengan masalah yang hampir sama dengan Indonesia, yaitu salah satunya dengan ketidakpastian yang terkait dengan regulasi. Di India, hal ini bisa ditanggulangi dengan teknologi. Sekadar info, India adalah negara dengan transaksi digital terbesar di dunia saat ini.
India melakukan transformasi digital dengan single identification number, biometrik, dan semuanya sehingga perilaku masyarakatnya menjadi sangat familiar dengan teknologi (technological diffusion). Hal inilah yang menyebabkan produktivitas masyarakatnya meningkat.
Maka dari itu, Chatib melihat Grab bisa menjadi solusi atas kebutuhan ekonomi digital tersebut. Kemampuan Grab untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan transportasi, layanan pengantaran barang, dan lainnya menghadirkan peluang baru. Selain itu, perilaku orang dalam hal membeli barang atau makanan termasuk waktu pembeliannya bisa membantu dalam hal credit scoring dan profiling.
Grab juga bisa membantu UMKM. Permasalahan UMKM yang kerap muncul adalah unbankable karena tidak adanya catatan pengeluaran. Tidak hanya itu, Grab bisa membantu perempuan meningkatkan taraf hidupnya dengan cukup bekerja dari rumah. Jadi, sebenarnya digital melahirkan banyak profesi baru.
“Namun, pekerjaan sebenarnya tidak hilang, hanya didefinisikan ulang. Kita tetap akan butuh pengacara, akuntan, atau ekonomis, dan lainnya. Walaupun pekerjaan akan tergantikan AI, ‘permainannya’ akan menjadi berbeda. Jadi, ke depan profesi manusia bukan lagi memberikan jawaban, tetapi membuat pertanyaan yang AI atau Google Search tidak punya jawabannya. Inilah tugas dosen ke depannya, yang tidak lagi memaksa mahasiswa untuk menjawab pertanyaan, tetapi mengajukan pertanyaan yang tidak terpikirkan sebelumnya,” terang Chatib.
Ke depannya, level permainan bisnis menjadi berbeda. Namun, dari sekian banyak tantangan yang ada, hal yang muncul ke depannya adalah ketidaksetaraan dalam hal kemampuan dan pengetahuan pekerja, dan hal tersebut sangat penting. Cara yang bisa dilakukan hanya upscaling dan training untuk mengatasi berbagai tantangan untuk mewujudkan ekonomi digital yang berkontribusi positif bagi perekonomian Indonesia.